Menuju konten utama

Facebook Mengubur Para Pesaing dan Membuat Depresi Para Pengguna

Alih-alih berbenah, Facebook memilih diam. Membiarkan penggunanya terkubur efek-efek buruk pelbagai layanan Facebook.

Facebook Mengubur Para Pesaing dan Membuat Depresi Para Pengguna
Seorang pria melewati layar facebook di Gamescom di Cologne, Jerman, Selasa, 20 Agustus 2019. AP Photo/Martin Meissner

tirto.id - “Ketika kuliah, saya pernah berpikir bahwa internet adalah sesuatu yang menakjubkan karena Anda dapat memperoleh apapun yang diinginkan. Anda dapat membaca berita, mengunduh musik, menonton film, mencari informasi melalui Google, dan memperoleh bahan rujukan dari Wikipedia," terang Mark Zuckerberg dalam acara Die Welt/Welt am Sonntag yang digelar pada 2016 lalu.

"Sayangnya," lanjut Zuckerberg, "hal terpenting bagi kehidupan manusia, yakni orang lain, tidak ada di dunia internet."

Ketika Zuckerberg berstatus mahasiswa baru di Harvard University, dunia world wide web (www) masih terlalu statis, kaku, yang tak memungkinkan interaksi antarpengguna. Karena tak ingin internet hanya digunakan untuk bermacam kegiatan statis, maka Zuckerberg melahirkan Facebook. Sebelumnya dia berhasil menciptakan Synapse (aplikasi sugesti musik), Course Match (aplikasi yang membantu mahasiswa menentukan kelas yang akan dipilih), Six Degrees to Harry Lewis (aplikasi penghormatan pada Prof. Harry Lewis), dan FaceMash.

Facebook sukses besar. Namun, karena persaingan di dunia teknologi sangat sengit, seperti Friendster yang terhempas oleh MySpace dan MySpace hancur lebur oleh Facebook, sebagaimana dituturkan Steven Levy dalam Facebook: The Inside Story (2020), Zuckerberg takut nasib yang menimpa Friendster dan MySpace juga dialami Facebook.

Zuckerberg kemudian menancapkan strategi perang bernama "buy-or-bury." Jika muncul situsweb/aplikasi pesaing yang mungkin dapat menghancurkan Facebook, maka Facebook akan bergegas membelinya. Namun jika situsweb/aplikasi itu tak mau dibeli, maka Zuckerberg memerintahkan anak buahnya membuat layanan serupa.

Melalui strategi "buy-or-bury," Facebook membeli Instagram dan WhatsApp. Snapchat yang tak mau diakuisisi, "diserang" dengan Strories: fitur yang memungkinkan pengguna mengunggah status baik berupa teks, foto, atau video yang terhapus secara otomatis dalam tempo 24 jam. Strories dirilis Facebook ke seluruh aplikasi miliknya: Facebook, Instagram, dan ataupun WhatsApp.

Selain strategi "buy-or-bury", sebagaimana dipaparkan Sheera Frankel dalam An Ugly Truth: Inside Facebook's Battle for Domination (2021) Zuckerberg juga menjalankan strategi lain, yakni memberi hak akses kepada seluruh teknisinya terhadap data pengguna Facebook, termasuk data lokasi (GPS). Strategi ini menurut Zuckerberg dapat mendorong seluruh teknisinya menciptakan fitur baru yang langsung dapat diujicobakan. Tanpa perlu tetek bengek manajerial, tanpa perlu izin dari siapapun, termasuk Zuckerberg sendiri.

Namun, nyatanya banyak teknisi Facebook yang tak bertanggung jawab ketika diberi keleluasaan mengakses data pengguna. Alex Stamos, Kepala Keamaan Digital (Chief Security Officer) Facebook pada 2015-2016, seperti diungkap Frankel dalam bukunya, menemukan fakta bahwa 16.744 teknisi Facebook mengakses data pengguna Facebook. Meski mayoritas mengakses data demi kepentingan Facebook, tetapi tak sedikit yang memanfaatkan keleluasaan akses itu untuk tujuan pribadi, seperti memata-matai pasangan hingga menguntit perempuan yang mereka taksir.

Usaha Stamos untuk memperbaiki hal tersebut ditentang banyak petinggi Facebook. Jay Parikh, Kepala Teknisi Facebook, misalnya, menentang keras usaha Stamos membendung akses teknisi pada data pengguna karena dianggap dapat menghambat inovasi. Akhirnya usaha Stamos gagal karena strategi itu telah mendarah daging dalam tubuh Facebook, dalam alam pikiran Zuckerberg.

"DNA Zuckerberg sendiri," terang salah satu mantan teknisi Facebook yang diwawancarai Frankel.

Kebusukan-Kebusukan Facebook

Selain dua strategi itu, seperti dicatat dalam seri laporan investigasi The Wall Street Journal berjudul "The Facebook Files", Facebook juga merilis XCheck. Fitur ini untuk melindungi pengguna-pengguna khusus Facebook, seperti politikus, selebritas, hingga jurnalis dari cengkeraman algoritma yang dapat menghapus atau banned unggahan seandainya mereka dianggap menyalahi aturan untuk ditinjau secara langsung oleh moderator.

Masalahnya, bukannya menjadi fitur pengendali kualitas (quality control), XCheck justru menjadi fitur "yang benar-benar melindungi" pengguna-pengguna khusus dari apapun yang diunggah, entah fakta, hoaks, atau perundungan, tanpa tindakan apapun dari moderator. Ini dilakukan karena Facebook ingin para pengikut mereka dari kalangan warga biasa terus memantau Facebook.

Melalui XCheck, unggahan Neymar yang memajang foto perempuan telanjang yang telah menuduhnya melakukan kekerasan seksual, misalnya, tersebar luas berhari-hari tanpa tersentuh moderator. Juga tuduhan Donald Trump yang menyebut bahwa vaksin berbahaya dan Hillary Clinton adalah seorang pelindung pedofilia bertengger tak terusik di laman Facebook.

Masih menurut laporan The Wall Street Journal, Facebook meminta BuzzFeed menggenjot penciptaan berita-berita clickbait demi meninabobokan penggunanya yang menarik banyak "like" dan komentar. Selayaknya jati diri berita clickbait, hanya sensasi yang diutamakan. Bahkan, tak sedikit konten yang seksis, rasial, menyulut permusuhan. Salah satu konten BuzzFeed yang disukai Facebook, misalnya, berjudul “21 Things That Almost All White People are Guilty of Saying".

Laporan The Wall Street Journal itu dibuat atas andil mantan Manajer Produk di bagian integritas sipil Facebook bernama Frances Haugen yang berani mengungkap kebenaran.

Di samping strategi-strategi busuk ala Facebook demi mempertahankan pengguna, keberanian Haugen membocorkan rahasia mantan perusahaannya berhasil mengungkap fakta mengerikan lain dari perusahaan ini.

Meskipun Facebook-Instagram-WhatsApp bermanfaat untuk berkomunikasi, studi yang dilakukan Emily Christofides berjudul “Risky Disclosures on Facebook: The Effect of Having a Bad Experience on Online Behavior” (Journal of Adolescent Research 2012), misalnya, menyebut bahwa Facebook menyebabkan “pengalaman buruk” bagi 26,7 persen dari 256 penggunanya.

“Pengalaman buruk” yang dimaksud sangat beragam, seperti perundungan, pelecehan dari teman dekat, hingga ancaman. Dihubungi oleh orang tak dikenal adalah satu contohnya. Lebih jauh, tertuang dalam “Feeling Bad on Facebook: Depression Disclosures by College Student on a Social Networking Site" (Journal of Depress Anxiety 2011) yang ditulis Megan A Moreno. Ditemukan fakta bahwa 25 persen dari 200 pengguna Facebook yang mengunggah status terbaru, terkandung ciri-ciri depresi, yang berbahaya jika dibaca, baik oleh si pengunggah atau teman-teman dalam jaringannya.

infografik upaya facebook bertahan hidup

infografik upaya facebook bertahan hidup

Bagi Facebook, awalnya studi-studi yang menyebutkan bahwa Facebook menghasilkan efek negatif hanya dianggap angin lalu. Dibantah dan selalu dibantah. Padahal dalam laporan penelitian internal Facebook, termuat kalimat yang menyebut bahwa "32 persen perempuan remaja mengatakan tak percaya diri dengan bentuk tubuh mereka. Instagram membuat mereka merasa lebih buruk.” Lalu, "remaja menyalahkan Instagram atas peningkatan tingkat kecemasan dan depresi."

Namun, alih-alih berbenah, Facebook memilih diam. Membiarkan penggunanya terkubur efek-efek buruk pelbagai layanan Facebook. Mengapa? Terang Haugen dalam wawancaranya di acara 60 Minutes: segala pembiaran efek negatif serta strategi-strategi busuk ala Zuckerberg dilakukan karena Facebook "lebih mementingkan keuntungannya, seperti menghasilkan uang melalui iklan", alih-alih memberikan rasa aman dan nyaman bagi para penggunanya.

Atas terbitnya laporan "The Facebook Files" yang sukses mengungkap wajah sesungguhnya Facebook, Zuckerberg memilih membantahnya.

"Banyak klaim [dalam laporan The Wall Street Journal] yang tidak masuk akal. Jika kami ingin mengabaikan penelitian [kami sendiri], mengapa kami membuat program penelitian terkemuka di industri ini untuk memahami masalah sepenting ini?" terangnya.

Dia menambahkan, "jika kami tidak peduli untuk memerangi konten berbahaya, mengapa kami mempekerjakan lebih banyak orang yang berdedikasi untuk menangani masalah ini? Jika media sosial bertanggung jawab atas polarisasi di tengah masyarakat seperti yang diklaim beberapa orang, mengapa kita melihat peningkatan polarisasi di AS, tetapi mengalami penurunan atau bahkan tidak terjadi di banyak negara? Padahal, media sosial digunakan di seluruh dunia, tak hanya di AS."

Baca juga artikel terkait FACEBOOK atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi