Menuju konten utama

Bagaimana Para Pelapor Memandang Rencana Revisi UU ITE?

Muannas yang kerap melaporkan dugaan pelanggaran UU ITE menilai UU ini sudah cukup bagus, di lain pihak Novel Bamukmin menganggap UU ini tumpul.

Bagaimana Para Pelapor Memandang Rencana Revisi UU ITE?
Sekjen DPD FPI Jakarta Novel Bamukmin (tengah) memberikan keterangan pers saat tiba di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (5/1). Kedatangannya tersebut untuk melaporkan terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, terkait dugaan pencemaran baik soal "Fitsa Hats". ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/pras/17.

tirto.id - Presiden Joko Widodo memberi sinyal akan merevisi Undang-Undang Nomor UU Nomor 19 Tahun 2016 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pernyataan ini disampaikan ketika mengikuti Rapat Pimpinan TNI dan Polri pada 15 Februari 2021 di Istana Negara.

“Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya, saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama [pemerintah] merevisi UU ini,” kata Jokowi.

Revisi yang dimaksud mencakup “pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak.” Rencana itu ia lontarkan usai sejumlah warga baku lapor menggunakan UU ITE dalam beberapa waktu terakhir.

Ketua Umum Cyber Indonesia Muannas Alaidid tidak sepakat dengan usul ini. Menurutnya, UU ITE versi terkini adalah yang terbaik setelah beberapa kali revisi. Revisi terakhir terjadi pada 2016. DPR mengesahkan UU Nomor 19 Tahun 2016 sebagai perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Ia mengatakan, karena KUHP tidak menjangkau tindak pidana yang terjadi di internet, regulasi itu perlu penyesuaian.

“Sebutan pemberlakuan UU ITE merugikan masyarakat itu hanya framing, tak beda dengan penggunaan istilah kritik yang katanya dianggap telah terjadi ‘kriminalisasi’ dengan penerapan UU ITE,” ujar dia kepada reporter Tirto, Jumat (19/2/2021).

Menurutnya, klaim bahwa ITE dapat mengancam kebebasan berpendapat karena pasal-pasalnya karet terlalu mengada-ada. “Kritik adalah kebebasan berpendapat yang dijamin undang-undang. Bukan tindak pidana. Sedangkan yang dilarang UU ITE itu bukan kritik, tapi fitnah, penghinaan, berita bohong dan kebencian SARA, batasannya sangat jelas,” tutur dia.

Muannas kerap menggunakan UU ITE untuk memperkarakan seseorang. Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu pernah melaporkan Ratna Sarumpaet perihal dugaan informasi penganiayaan pada 3 Oktober 2018. Ratna disangkakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 soal penyebaran berita bohong dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Dilanjutkan dengan mengadukan Jonru Ginting pada 19 September 2017 atas tudingan Muannas anak dari tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit. Jonru dianggap melanggar Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (1) dan/atau Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) UU ITE.

Terakhir, 27 Mei 2020, Muannas melaporkan jurnalis Farid Gaban karena mengkritik kerja sama Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah dan Blibli.

Ketimbang merevisi UU ITE, Muannas meminta kepolisian berhati-hati dalam menerima pengaduan perkara ITE sebagai upaya mengantisipasi fenomena saling lapor.

Namun, jika benar revisi direalisasi, dia berharap perubahannya tidak membuat “UU ITE dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk bebas menjadi saling fitnah, saling hina, dan caci maki sesama anak bangsa.”

Pendapat berbeda disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Persaudaraan Alumni 212 Novel Bamukmin, yang juga pernah menggunakan UU ITE. Ia pernah melaporkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama, akan tetapi penegak hukum tak menjerat mantan Gubernur DKI Jakarta itu dengan UU ITE.

“Saya pelapor beberapa tokoh, tak diproses satu pun kecuali Ahok yang UU ITE-nya juga dibuang. (Ahok) cuma kena pasal 156a. Justru Buni Yani malah kena UU ITE selaku pengunduh,” terang dia.

Menurutnya, UU ITE adalah perangkap jitu untuk mengkriminalisasi lawan politik para penguasa. “UU ITE rentan digunakan oleh rezim ini. Terlihat para buzzer Istana mempertontonkan kekebalan hukum atas jeratan UU ITE,” katanya.

Oleh karena itu sebaiknya undang-undang ini memang harus direvisi, katanya.

Rencana Penindakan Dunia Maya

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan kepolisian akan selektif dalam menangani kasus perihal ITE dalam rangka menindaklanjuti arahan Presiden. Sigit meminta petugas yang berwenang untuk membuat semacam surat telegram yang bertujuan sebagai pedoman para penyidik.

“Bila perlu, laporan tertentu yang bersifat delik aduan, yang melapor harus korbannya. Jangan diwakili. Tidak asal lapor, kemudian kami yang kerepotan,” ujar dia dalam Rapat Pimpinan Polri, Selasa (16/2/2021).

Hal berikutnya yang ia tekankan yakni jika orang tersebut tak berpotensi menimbulkan konflik horizontal, maka tidak perlu ditahan. Pun sebaliknya. Namun mediasi dan edukasi harus dilakukan dulu sebelum polisi membiarkan orang tersebut melenggang.

Sigit juga memerintahkan kepada Direktorat Siber Bareskrim Polri untuk membuat ‘polisi virtual’ yang mengedepankan edukasi penggunaan ruang siber di masyarakat serta mengutamakan imbauan sebelum penindakan. Nantinya polisi virtual akan menegur tindakan dan menjelaskan potensi pelanggaran pasal di UU ITE sebelum memproses terduga pelanggar.

Polri juga akan berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk membentuk satuan khusus digital. Polisi virtual akan turun tangan terlebih dahulu sebelum polisi siber.

Sigit berharap agar polisi dunia maya ini bisa melibatkan influencer yang disukai publik dan berpengikut banyak. “Sehingga proses edukasi dirasakan nyaman, tidak sekadar menakuti,” sambung Sigit.

Baca juga artikel terkait UU ITE atau tulisan lainnya dari Adi Briantika & Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika & Alfian Putra Abdi
Penulis: Adi Briantika & Alfian Putra Abdi
Editor: Restu Diantina Putri