tirto.id - Pada 22 November 1986, tepat hari ini 33 tahun lalu, hook kiri Mike Tyson tepat menghantam rahang Trevor Berbick dalam laga perebutan gelar juara tinju kelas berat WBC yang berlangsung di Las Vegas. Hook kiri itu amat bertenaga dan membuat Berbick ambruk tiga kali dalam waktu berdekatan.
Berbick, sang juara bertahan, pertama kali ambruk sekitar sepersekian detik setelah hook kiri Tyson mengenainya. Ia sempat berdiri mematung sebelum menghantam kanvas dengan cara mengenaskan: tubuhnya terlentang dan matanya menatap nanar langit-langit gedung Las Vegas in Paradise.
Tak ingin gelar juaranya melayang, Berbick tentu ingin bangkit. Namun, ia tak tahu bahwa ada yang tak beres dengan tubuhnya. Ketika ia berdiri, kaki Berbick mendadak tak kuat untuk menahan beban tubuhnya. Ia kehilangan keseimbangan. Dan, alih-alih bangkit, petinju kelahiran Jamaika itu justru runtuh untuk kedua kalinya.
Setelah itu adalah yang kali ketiga. Dari dekat tali ring, Berbick secara gagah berani kembali mencoba untuk bangkit. Sayangnya, ketahanan tubuh Berbick ternyata tak sebesar nyalinya. Ia kembali ambruk setelah nekat mencoba berjalan meskipun belum mampu berdiri secara sempurna.
William F. McNeil dalam The Rise of Mike Tyson, Heavyweight (2014) meringkas kejadian itu secara emosional: “Itu adalah pemandangan yang sangat menakutkan. Berbick meronta-ronta di atas kanvas seperti ikan yang baru keluar dari dalam air. Tyson benar-benar menghancurkan keseimbangannya.”
Kemenangan Legendaris
Hari itu Mike Tyson menjadi favorit semua orang. Sekitar 8.500 penonton di Las Vegas in Paradise, termasuk Muhammad Ali, legenda tinju dunia, mendukung Tyson untuk menang. Ali bahkan secara terang-terangan mengatakan kepada Tyson bahwa “ia ingin Tyson menghancurkan Berbick untuknya.” Tyson hanya bisa mengangguk tapi tak sepenuhnya yakin dengan dirinya.
Saat Berbick berjalan menuju ke arah ring dengan mengenakan setelan hitam dari atas hingga bawah, Tyson mondar-mandir di atas ring seperti orang kebingungan. Keringat dingin mulai menetes dan pikirannya mulai melayang ke mana-mana. Padahal ia sudah mempersiapkan segalanya untuk menyambut pertandingan penentuan itu, termasuk mengatur pola makannya.
“Pada hari pertandingan, aku makan pasta pada pukul satu. Pada pukul empat, aku makan steak. Sekitar pukul lima, aku kembali makan pasta. Di ruang ganti aku menyiapkan Snickers dan jus jeruk,” tulis Tyson dalam biografinya, Undisputed Truth (2013).
Selain itu, rekor pertarungan Tyson seharusnya juga bisa membuat kepalanya tetap berdiri tegak. Sebelum menghadapi Berbick, Tyson menjalani 27 pertandingan tanpa sekalipun mengalami kekalahan. Ia mencatatkan 25 KO (19 dilakukan secara berurutan) dan menang angka 2 kali. Dave Jaco, Mike Jamison, dan Jesse Ferguson ia pukul jatuh. Sementara saat menghadapi Marvis Fraizer pada 26 Juli 1986, Tyson bahkan mencatatkan kemenangan KO tercepat di sepanjang karier tinjunya, yakni hanya dalam hitungan 30 detik.
Kemudian Berbick naik ke atas ring. Beberapa saat setelah itu, Mills Lane, wasit yang memimpin jalannya pertandingan, memberikan instruksi terakhirnya. Tyson kini hanya berjarak sejengkal dengan Berbick. Mata berbalas mata. Dan pada saat itulah kepercayaan diri Tyson kembali tumbuh: ia ingat petuah Cus D’Amato, bapak angkat sekaligus mantan pelatihnya, yang sudah meninggal dunia pada 1985.
Setelah Tyson babak belur di Olimpiade 1982, Cus pernah kecewa setengah mati terhadap Tyson. Saat itu Cus mengatakan bahwa ia berharap Tyson bisa mempunyai tubuh sekekar Mike Weaver atau Ken Norton. Ia mengatakannya secara blak-blakan dengan alasan, “Kalau fisikmu seperti mereka, lawan akan langsung terintimidasi ketika melihatmu.”
Tyson, yang memiliki perawakan kecil, tentu saja langsung marah. Namun, sebelum Tyson berkomentar, Cus tahu betul perasaan Tyson. “Kamu mau menangis? Apakah kamu seorang bocah? Bagaimana kamu bisa menghadapi pertarungan besar jika kamu tidak memiliki hati sekeras baja?”
Soal dampak percakapan tersebut, Tyson menyatakan dalam Undisputed Truth: “Aku benar-benar berhasil menjadi pria 100% setelah obrolan tersebut [...] Aku bahkan mulai berfantasi: jika aku harus membunuh orang di atas ring untuk mengintimidasi lawan, aku akan melakukannya.”
Segera setelah pertarungan ronde pertama dimulai, Tyson pun langsung bertarung seperti seorang serigala yang haus darah. Ia selalu bergerak maju dengan mata pemburu yang terpaku ke arah wajah dan dada Berbick. Untuk menjaga jarak, ia kemudian mengirim jab kiri, sebelum hook kanannya mengenai wajah Berbick. Dan saat ronde pertama tersisa 1 menit 15 detik, pukulan Tyson membuat sang juara bertahan sedikit limbung.
Penonton lantas bersorak, tapi Berbick hanya tersenyum mengejek ke arah Tyson, seolah-olah ingin mengatakan bahwa pukulan Tyson tak akan mampu melukainya.
Setelah itu Berbick mulai menggunakan pengalamannya untuk meredam agresivitas Tyson. Petinju yang pernah mengalahkan Muhammad Ali tersebut selalu mencoba untuk merangkul Tyson. Pertarungan sempat berjalan membosankan, sampai akhirnya Tyson mampu kembali mendapatkan jarak ideal untuk melancarkan serangannya: saat pertarungan ronde pertama tersisa 18 detik, sebuah uppercut kanan dari Tyson berhasil menghantam wajah Berbick.
Penonton kembali bersorak, bel tanda berakhirnya babak pertama berbunyi dan kali ini Berbick berada dalam ancaman nyata. McNeil, masih dalam The Rise of Mike Tyson, menulis: “Berbick berusaha menjulurkan lidah ke arah Tyson saat ia terhuyung-huyung berjalan ke sudut ring, tapi tak punya cukup tenaga untuk melakukannya. Kesia-siaan usaha ini mencerminkan kesia-siaan strategi Berbick di sepanjang ronde pertama.”
Sementara itu, Angelo Dundee, pelatih Berbick, menyampaikan pernyataan yang lebih tegas. “Berbick,” kata Dundee, “bertarung seperti seorang amatiran.”
Berada di atas angin, Tyson tidak lengah sedikit pun di pertarungan ronde kedua. Segera setelah bel berbunyi, ia langsung mengangkat kedua tangannya untuk menutupi wajahnya, menerapkan teknik “peek-a-boo” ajaran Cus D’Amato. Ia lantas membiarkan beberapa jab Berbick mengenai wajahnya hanya untuk membuka pertahanan sang lawan. Berbick terpancing. Tyson langsung membalas jab-jab itu dengan jauh lebih dahsyat: pukulan kombinasi hook kanan-kiri Tyson yang sukses bikin Berbick jatuh terjungkal.
Mills pun mulai menghitung maju, Berbick bangkit pada hitungan kedelapan.
Setelah itu, Tyson tampak tinggal menunggu waktu untuk kembali menjungkalkan Berbick. Ia menguasai pertarungan, sementara Berbick hanya bisa menghindar sebisanya. Namun ini tak berjalan lama. Tepat saat pertarungan ronde kedua tersisa 2 menit 13 detik lagi, hook kiri Tyson itu muncul, menjungkalkan Berbick tiga kali, dan membuat penonton bergemuruh hebat.
Tyson, yang saat itu masih berusia 20 tahun 5 bulan lebih 22 hari, dinobatkan sebagai juara tinju kelas berat termuda dalam sejarah. Ia mematahkan rekor Floyd Patterson, sang juara dunia berusia 21 tahun, pada 1956. Barry Tompkins, komentator HBO, pun menandai kemenangan legendaris Tyson itu secara terang benderang.
“Ini sudah berakhir[...] Dan kita mempunyai era baru dalam dunia tinju,” teriak Thompkins.
Setelah Berbick
Di hadapan para jurnalis, Tyson mengatakan ia mempersembahkan kemenangan tersebut untuk Cus D’Amato. Ia percaya bahwa tanpa bantuan Cus dirinya tak akan pernah menjadi juara dunia. Maka para jurnalis kemudian ingin tahu hubungan Tyson dan Cus lebih dalam.
“Cus pertama kali melihat Anda ketika Anda masih berusia 13 tahun. Ia lalu mengatakan, ‘Tinggalah bersamaku dan kamu akan menjadi juara dunia tinju kelas berat.’ Saat itu, apakah Anda benar-benar menjawab seperti ini: ‘Bagaimana Anda bisa mengetahuinya?’” tanya seorang jurnalis kepada Tyson.
Tyson menjawab enteng bahwa ia tidak berkata seperti itu. “Aku bilang kepadanya, ‘Dasar kau orang kulit putih gila,’” kata Tyson. “Tapi dia ternyata benar-benar jenius. Semua yang ia katakan benar-benar bisa terjadi.”
Yang menarik, sekitar satu tahun setelah kemenangan tersebut, ramalan Cus ternyata melangkah lebih jauh lagi. Tyson tidak hanya menjadi juara kelas berat WBC, tapi juga berhasil menjadi “juara tinju kelas berat sejati", mengumpulakan gelar WBC, WBA, dan IBF. Sementara ia berhasil meraih gelar juara kelas berat WBA setelah mengalahkan James Smith pada 7 Maret 1987, ia berhasil meraih gelar IBF berkat kemenangan KO atas Tony Tucker pada Agustus 1987. Namun, prestasi itu ternyata tak bertahan lama.
Kehidupan pribadi Tyson yang kacau balau lantas mengusik segalanya. Ia malas latihan dan lebih senang hura-hura. Semakin hari, tindakan Tyson semakin sulit dikontrol dan secara perlahan mengikis kedigdayaannya. Kulminasinya, pada 1992, Tyson dijebloskan ke penjara setelah terbukti melakukan pemerkosaan terhadap Desiree Washington, Miss Black Amerika 1991.
Sejak saat itu, Tyson bukan lagi Si Leher Beton. Karier tinjunya pun pelan-pelan meredup.
Editor: Ivan Aulia Ahsan