tirto.id - Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperingati tanggal 3 Maret sebagai World Hearing Day setiap tahunnya. Pada 2019, mereka mengampanyekan “Check Your Hearing” sebagai upaya meminimalisir gangguan pendengaran di dunia, karena sejatinya 60 persen gangguan pendengaran pada masa anak-anak dapat dicegah.
WHO memperkirakan saat ini terdapat 466 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan pendengaran, setara dengan 5 persen jumlah populasi dunia. Sebanyak 34 jutanya, atau sekitar 7 persen adalah anak-anak. Jumlah ini meningkat sebanyak 360 juta dari tahun 2013. Penderita gangguan pendengaran paling besar adalah laki-laki, yakni sebanyak 56 persen, dan sisanya perempuan sebesar 44 persen.
Gangguan pendengaran bisa dikategorikan dalam tiga kelompok. Pertama: orang disebut mengalami “gangguan pendengaran” ketika tidak dapat mendengar suara normal, dengan ambang suara 25 dB. Kategori kedua adalah “sulit mendengar”, mengacu pada individu dengan gangguan pendengaran ringan hingga parah, namun masih bisa berkomunikasi melalui bahasa lisan. Kelompok ini juga masih bisa dibantu dengan alat bantu dengar, implan koklea, dan alat bantu lainnya.
Kelompok terakhir, yakni “tuli” yang kebanyakan menderita gangguan pendengaran sangat dalam, sangat sedikit suara yang bisa didengar, atau malah tidak ada sama sekali. Kelompok ini menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi.
Pada 2050 nanti, WHO memprediksi akan ada 900 juta orang, setara satu dari setiap sepuluh orang mengalami gangguan pendengaran.
“Mayoritas orang dengan gangguan pendengaran hidup di negara berpenghasilan rendah dan menengah,” tulis laporan WHO.
Mirisnya, di negara-negara tersebut, gangguan pendengaran justru seringkali dianggap remeh, sehingga penderita kehilangan peluang mendapat perawatan dini. Walhasil, biaya pendukung yang dikeluarkan akibat gangguan pendengaran semakin tinggi. Di negara-negara berkembang, anak-anak dengan gangguan pendengaran dan tuli jarang mengecap pendidikan layak dan mengalami masalah sosial serta psikologis karena tertekan oleh keadaan.
WHO memperkirakan kasus gangguan pendengaran yang tak tertangani ini menelan biaya sekitar 750 miliar dolar per tahun. Jumlah itu terdiri dari biaya sektor kesehatan (tidak termasuk biaya alat pendengaran), biaya dukungan pendidikan, hilangnya produktivitas, dan biaya sosial.
Gangguan Pendengaran Anak
Sebelas tahun dari sekarang, WHO menargetkan tiap negara bisa mengurangi gangguan pendengaran yang dapat dicegah hingga 90 persen. Sejatinya, 60 persen gangguan pendengaran pada anak di bawah 15 tahun dapat dicegah.
Ada banyak penyebab orang bisa menderita gangguan pendengaran. Beberapa di antaranya bisa dicegah. Sekitar 31 persen penyebab berupa infeksi seperti gondok, campak, rubela, meningitis, infeksi sitomegalovirus, dan otitis media kronis, sebenarnya bisa diobati dan dicegah.
Kurang lebih 17 persen lainnya disebabkan oleh komplikasi pada saat kelahiran, seperti kelahiran asfiksia, berat badan lahir rendah, prematur, dan penyakit kuning. Dan sekitar empat persen lain adalah akibat dari penggunaan obat-obatan ototoxic pada ibu hamil dan bayi.
Sedangkan pada anak, ada empat faktor yang memengaruhi gangguan pendengaran. Pertama, tuli bawaan sejak lahir (tuli kongenital). Ini bisa diatasi jika diperiksakan sejak dini, maksimal ketika bayi berusia 6 bulan. Menurut Hably Warganegara, dokter spesialis Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala, dan Leher dari RSPI, sebanyak 25 persen penyebab keterlambatan bicara pada anak, diidentifikasikan sebagai tuli kongenital, sisanya baru gangguan psikologi atau gangguan otak.
“Kesalahan selama ini, orangua cenderung memeriksakan speech delay ketika anak sudah berusia 1-2 tahun,” kata Hably.
Ada cara sederhana untuk mendeteksi tuli kongenital pada anak umur 0-1 bulan, yakni refleks moro. Cara ini dilakukan dengan memperdengarkan suara kencang pada anak. Jika anak merespons suara dengan banyak berkedip, bernapas cepat, detak jantung bertambah, berhenti atau justru lebih cepat dalam menyusu, dan mengerutkan wajah, maka orangtua harus langsung memeriksakan anak ke fasilitas kesehatan terdekat.
“Biasanya dia kaget kalau dengar klakson mobil, pintu ditutup, atau tepuk tangan di belakangnya," tambah Hably.
Selain faktor bawaan, gangguan pendengaran anak juga dapat disebabkan karena paparan, termasuk suara bising. Bising keras, dengan ambang maksimal 85 dB hanya bisa didengarkan sebanyak 8 jam per hari. Lebih dari itu, waktu paparannya juga harus diperkecil. Tempat hiburan anak biasanya punya paparan bising setinggi 96,2-128 dB. Artinya, suara-suara di wahana permainan itu sebaiknya cukup didengar maksimal 45 menit saja.
Prediksi WHO menyebut sebanyak 1,1 miliar individu berusia antara 12-35 tahun berisiko kehilangan pendengaran karena terpapar kebisingan di tempat hiburan. Terapi kebisingan akibat earphone pada tuli saraf 110 dB juga tak bisa membuat pendengaran kembali normal. Paparan bising hiburan, jika terjadi terus menerus akan menurunkan daya dengar dari lebih 60 tahun, menjadi sekitar 40 tahunan.
Penyebab gangguan pendengaran lain adalah Otitis Media Akut (OMA). Ini adalah infeksi akut telinga tengah yang disebabkan bakteri dan virus, serta serumen/kotoran telinga. Kasus ini cukup sering dialami anak-anak, dan pencegahannya cukup dengan membersihkan kotoran telinga maksimal sedalam 1/3 bagian luar liang telinga, karena secara biologis, serumen dapat keluar dengan sendirinya tanpa perlu didorong kapas pembersih.
Editor: Nuran Wibisono