Aksi berdiri diam di depan Istana Negara pertama kali dilakukan pada hari Kamis 18 Januari 2007. Tak ada orasi, tak ada suara bising dari pengeras suara. Puluhan orang berjejer hanya diam dan menatap ke arah Istana dari kejauhan untuk menanti keadilan yang seadil-adilnya. Kamisan sebagai bentuk perlawanan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia dalam melawan lupa kini telah berlangsung selama 10 tahun.
Aksi tersebut dilakukan oleh keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Keluarga untuk Keadilan (JSKK) bersama sejumlah pegiat HAM. Mereka adalah keluarga korban Semanggi I, keluarga korban Tanjung Priok, korban ’65, dan korban pelanggaran HAM masa lalu.
Mereka datang dengan atribut baju dan payung berwarna hitam yang bertuliskan berbagai macam tuntutan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Payung hitam ini menjadi simbol harapan atas segala kehilangan, kedukaan, dan tuntutan keadilan. Hujan dan panas tak menyurutkan perjuangan mereka.
Gerakan memerangi impunitas, aksi yang dikenal dengan “Aksi kamisan” inilah sebagai bentuk mengingat, menolak kebisuan dan pembungkaman suatu kejahatan kemanusiaan. Kejahatan yang dilakukan oleh rezim orde baru (Soeharto), maupun pemerintahan masa reformasi atau pasca kejatuhan Soeharto. Aksi Kamisan dilakukan keluarga korban karena dianggap sebagai jalan terakhir yang bisa ditempuh untuk mendapatkan keadilan, setelah berbagai macam cara dilakukan dan tak ada tempat lain lagi yang bisa didatangi.
Apa boleh buat, langit HAM Indonesia masih mendung hingga saat ini. Negara masih tuli terhadap suara-suara mereka. Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) dan korban pelangaran HAM terus bertekad, semakin berani dan semakin solid untuk terus menyuarakan ketidakadilan.
Foto dan Teks: Andrey Gromico
Aksi tersebut dilakukan oleh keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Keluarga untuk Keadilan (JSKK) bersama sejumlah pegiat HAM. Mereka adalah keluarga korban Semanggi I, keluarga korban Tanjung Priok, korban ’65, dan korban pelanggaran HAM masa lalu.
Mereka datang dengan atribut baju dan payung berwarna hitam yang bertuliskan berbagai macam tuntutan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Payung hitam ini menjadi simbol harapan atas segala kehilangan, kedukaan, dan tuntutan keadilan. Hujan dan panas tak menyurutkan perjuangan mereka.
Gerakan memerangi impunitas, aksi yang dikenal dengan “Aksi kamisan” inilah sebagai bentuk mengingat, menolak kebisuan dan pembungkaman suatu kejahatan kemanusiaan. Kejahatan yang dilakukan oleh rezim orde baru (Soeharto), maupun pemerintahan masa reformasi atau pasca kejatuhan Soeharto. Aksi Kamisan dilakukan keluarga korban karena dianggap sebagai jalan terakhir yang bisa ditempuh untuk mendapatkan keadilan, setelah berbagai macam cara dilakukan dan tak ada tempat lain lagi yang bisa didatangi.
Apa boleh buat, langit HAM Indonesia masih mendung hingga saat ini. Negara masih tuli terhadap suara-suara mereka. Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) dan korban pelangaran HAM terus bertekad, semakin berani dan semakin solid untuk terus menyuarakan ketidakadilan.
Foto dan Teks: Andrey Gromico