tirto.id - Lindsay Rothschild-Cross berdiri di samping bawah panggung, saat Lamb of God tampil di Austin, Texas, pada 20 Juni 2018. Memakai kaos hitam, warna yang juga dikenakan oleh seluruh personel band tersebut dan para penggemarnya, Rothschild-Cross tampil begitu energik.
Ia tak hanya menerjemahkan lirik lagu ke dalam bahasa isyarat untuk dimengerti para penonton yang sebagian Tuli, tapi juga bergerak lincah seolah sedang memainkan gitar, menggebuk drum, dan berteriak menirukan sang vokalis.
Rothschild-Cross adalah seorang guru SMA yang mencintai musik hard rock dan metal. Ia tumbuh dengan mendengarkan Guns N ‘Roses, Alice in Chains, dan Iron Maiden. Meski terbiasa mendengarkan musik-musik keras, tapi saat ia didapuk sebagai salah seorang juru bahasa isyarat pada konser Lamb of God, ia tak bisa menyembunyikan kegugupannya.
“Pada awalnya saya benar-benar sangat gugup, karena saya tidak pernah menafsirkan musik metal,” ujarnya kepada Spencer Kaufman, yang dimuat dalam Consequence of Sound. “Kuncinya adalah harus meniru si penyanyi. Makna dari lagu tersebut adalah tentang kemarahan. Aku baru saja merasakan perasaan itu, pada seseorang yang telah menyakitiku sebelumnya."
Kehadiran para juru bahasa isyarat dalam konser Lamb of God diapresiasi oleh sang vokalis, Randy Blythe. Menurutnya, meski saat itu ada beberapa beberapa juru bahasa isyarat yang tampil bergantian dan semuanya bekerja keras serta melakukan pekerjaan hebat, tapi karena interpretasi Rothschild-Cross terhadap penampilan mereka yang paling menonjol, ia akhirnya melompat dari panggung dan sempat bernyanyi di samping juru bahasa isyarat tersebut.
Tampil sebagai juru bahasa isyarat pada konser musik juga dilakukan oleh Laura M. Schwengber yang tampil pada konser Keimzeit, band dari Postdam, Jerman.
Penampilannya yang energik dan ekspresif membuatnya tak hanya menjadi penerjemah rangkaian lirik, tapi juga berusaha menghadirkan semesta gelora dan atmosfer konser kepada para hadirin yang sebagian Tuli dengan gerakan yang kadang meliuk dan setengah jingkrak.
“Saya ingin memberi kaum Tuli sensasi yang luar biasa dari sebuah konser layaknya mereka yang bisa mendengar,” ujarnya, seperti dikutip Deutsch-Welle.
Tanggapan dari hadirin Tuli, yang hadir pada konser tersebut cukup positif. Hal ini diungkapkan oleh Maren Kirschke yang tuli sejak usia 14 tahun.
“Pengalaman yang luar biasa, dan saya cukup terkejut betapa banyaknya orang yang bertanya kepada saya setelah konser tentang ketulian dan bahasa isyarat. Juru bahasa isyarat di atas panggung menjadi atraksi tambahan, bahkan bagi penonton yang bisa mendengar,” tuturnya.
Sejumlah musisi, seperti Eminem, Red Hot Chili Pappers, Kendrick Lamar, Waka Flocka Flame, dan Snoop Dogg, belakangan memang menyertakan para juru bahasa isyarat pada gelaran konsernya.
Bagaimana Seorang Tuli Mendengarkan Musik?
Menurut Adhi Kusumo Bharoto, seorang Tuli kolega Laboratorium Riset Bahasa Isyarat Departemen Linguistik FIB UI, seperti disampaikan oleh kepala laboratorium tersebut kepada Tirto, sebagian Tuli masih menikmati musik meski tidak tahu apa yang dinyanyikan. Biasanya mereka merasakannya melalui getaran ketimbang suara.
“Sebagian Tuli yang dikenal sebagai HoH (Hard of Hearing/kurang pendengaran) biasanya masih dapat menikmati musik,” ujarnya.
Sementara menurut Adhika Irlang, sejawat Silva, kemampuan menangkap suara atau musik pada Tuli tergantung dari sisa pendengaran mereka. Menurutnya, setiap mereka memiliki tingkat desibel dan frekuensi pendengaran yang berbeda. Jika ada yang masih bisa menangkap suara, itu pun berbeda-beda daya tangkapnya.
“Jika memang total tidak mendengar, cara menikmati musik yang saya tahu adalah melalui getaran. Volume yang dinaikkan akan menghasilkan getaran suara yang keras juga. Mereka bisa menikmatinya dari sana,” tuturnya.
Novitiara, mahasiswa S2 Jurusan Pendidikan Khusus UPI berkisah kepada Tirto, bahwa saat ia melakukan praktik lapangan, ia melihat ada seorang murid Tuli-nya memakai headset yang biasa digunakan untuk mendengarkan musik. Ketika ia tanya untuk apa headset tersebut, muridnya dengan cepat menjawab, “untuk dengerin musik.”
Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan mendengar para Tuli berbeda-beda. Ada yang ringan, ada yang sedang, dan ada yang berat, juga dipengaruhi oleh desibel suara yang didengarkan.
Dalam konser musik yang tentunya mengeluarkan suara yang sangat keras, para Tuli yang hadir dengan kemampuan pendengaran berbeda-beda, tentu akan merasakan getaran yang lebih besar dibandingkan dengan suara musik di luar konser, artinya peluang mereka untuk mengikuti musik lebih terbuka.
“Mereka tampak, saya dapat merasakan musiknya dengan baik,” ujar Emily, seorang gadis Tuli yang telah melihat konser Sam Smith, Taylor Swift, Justin Bieber, dan lain-lain.
Selain getaran yang lebih hebat, kehadiran para juru bahasa isyarat dalam sejumlah konser musik seperti disampaikan Maren Kirschke pada konser Keimzeit, tentu akan membantu para Tuli untuk menikmati gelaran musik tersebut.
Tunarungu atau Tuli?
Di luar pembahasan juru bahasa isyarat dan musik, di Indonesia, istilah untuk mereka yang mempunyai keterbatasan pendengaran biasanya disebut Tuli atau tunarungu. Menurut Silva Tenrisara Pertiwi Isma, Kepala Laboratorium Riset Bahasa Isyarat Departemen Linguistik FIB UI, masih ada perdebatan dalam penggunaan kedua istilah tersebut.
Berdasar pengalamannya berdiskusi dengan kawan-kawannya yang mempunyai keterbatasan pendengaran, istilah “tunarungu” dan “tuli” terdapat perbedaan rasa bahasa dan perspektif makna keduanya. “Tunarungu” terdiri atas dua bagian: “tuna” dan “rungu”. Jika melihat maknanya, tambah Silva, “tuna” berarti rusak atau cacat, sedangkan “rungu” berarti pendengaran.
“Dari makna itu bisa dilihat bahwa ‘tunarungu’ berkonotasi negatif karena ada makna cacat dan rusak yang menempel padanya. Selain itu, istilah ini menandakan seolah-olah yang menjadi fokus adalah fungsi fisik pendengaran,” tuturnya.
Istilah “tuli”, tambahnya, meski terasa lebih kasar untuk kaum yang memiliki pendengaran prima karena sering dijadikan kata ejekan, tapi kata ini tidak terasa kasar bagi yang tuli sebab tidak mengandung makna negatif di dalamnya. Kata tersebut dianggap sebagai penanda identitas yang netral dan istilah tuli dapat “diisi” oleh makna ikutannya, seperti budaya, bahasa isyarat, dan cara hidup, yang dicakupi istilah itu.
“Soal dua istilah ini, bisa dipadankan dengan penggunaan ‘hearing-impaired’' dan ‘deaf’ dalam bahasa Inggris. Orang Tuli yang sepenuhnya mengidentifikasi dirinya sebagai Tuli akan cenderung menyebut dirinya ‘deaf’, bukan ‘hearing-impaired’ karena istilah itu mengindikasikan adanya kerusakan dan kecacatan. Orang Tuli tidak menganggap ketuliannya sebagai kerusakan atau kecacatan, tetapi hanya perbedaan,” katanya.
Perbedaan penggunaan istilah tuli dan tunarungu didapatkan oleh Novitiara, mahasiswa S2 Jurusan Pendidikan Khusus UPI. Menurutnya, di kampus tempat ia belajar istilah yang pakai justru kata “tunarungu”. Hal ini dipilih karena mengacu pada sangkaan mayoritas orang yang merasa penyebutan tuli terasa kasar, sama halnya dengan sebutan buta untuk penyandang tunanetra.
Menurut Adhika Irlang, dari sudut pandang sosial, penyebutan istilah Tuli dengan "T" besar digunakan karena seorang Tuli dipandang sebagai manusia seutuhnya dengan kebiasaan yang berbeda: kebudayaan, bahasa, juga identitas mereka sebagai sebuah komunitas.
"Tuli merujuk pada seseorang atau komunitas yang sepenuhnya normal hanya berbeda dari cara berkomunikasi dan kebiasaan-kebiasaan tertentu, misalnya: cara panggil, cara bangun yang tidak menggunakan alarm bunyi tapi cahaya atau getaran, dan sebagainya," tambah Adhika.
Ia menambahkan bahwa dari sudut pandang medis, berdasarkan pengamatannya terhadap kawan-kawannya yang beraktivitas di dunia kesehatan, mereka lebih terbuka untuk menggunakan kata Tuli.
“Bahkan ada yang mempelajari bahasa isyarat agar bisa melayani pasien Tuli mereka,” pungkasnya.
Penulis: Irfan Teguh Pribadi
Editor: Maulida Sri Handayani