tirto.id - Sejak debat pertama Pilpres 2019 selesai pada 17 Januari lalu, banyak spekulasi muncul mengenai kecenderungan elektabilitas yang didapat oleh kedua pasangan calon, baik Jokowi-Ma'ruf Amin maupun Prabowo-Sandiaga.
Hal tersebut memang bukan barang baru jika merujuk pada Pilpres 2014. Survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia [PDF] sebelum dan sesudah debat, misalnya, menghasilkan data bahwa debat bisa mengubah persepsi calon pemilih.
Sebelum debat dilakukan, survei yang didapat Jokowi-JK saat itu hanya 47,6 persen, sementara Prabowo-Hatta 36,2 persen. Sedangkan yang menjawab tidak tahu/tidak menjawab masih menyentuh angka 16,1 persen.
Namun, sesudah debat dilakukan, survei elektabilitas para paslon naik. Jokowi-JK menjadi 51,4 persen dan Prabowo-Hatta jadi 40,9 persen, ini karena yang tidak tahu/tidak jawab menurun drastis jadi 7,7 persen.
Survei lainnya juga tak menunjukkan hasil yang berbeda jauh. Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga menghasilkan persentase elektabilitas paslon naik dan masih tetap memenangkan Jokowi-JK.
Direktur Puskapol Universitas Indonesia Aditya Perdana menilai debat pilpres bisa mempengaruhi persepsi publik mengenai pilihan politiknya, kendati memang perlu dikaji kembali signifikan atau tidaknya.
"Ya memang ada keterkaitan pengaruh opini pemilih publik dari debat yang berlangsung, namun persoalannya signifikan atau tidaknya itu harus dilihat lagi lebih detail," kata Aditya saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (22/1/2019).
Menurut dia, banyak faktor yang memengaruhi perubahan persepsi tersebut. Di antaranya, kata Aditya, adalah suasana debat, relevansi pembahasan debat ke rakyat, hingga seru atau tidaknya debat tersebut.
"Jadi, jika debat kemarin tanggal 17 [Januari] tidak terlalu istimewa dan seru, ini bisa jadi mengubah persepsi publik dan berbeda dari sebelum debat,” kata Aditya.
"Jadi memang ada perubahan, namun tidak banyak dan tentu debat ini menjadi sangat krusial bagi para paslon. Karena posisi presentase yang relatif tidak jauh antara dua paslon, jadi memungkinkan bisa saling salip presentase,” kata Aditya.
Opini yang berjudul “Efek Elektoral Debat Capres” yang ditulis Burhanuddin Muhtadi di Kompas, pada 17 Januari 2019, menjelaskan salah satu hal yang paling mempengaruhi elektabilitasi dari debat, yaitu medium televisi. Hal itu yang membuat Michael Bauman mengeluarkan teori tele-politics pada tahun 2007.
Pengajar politik dan pemerintahan di UGM Yogyakarta Arya Budi sepakat dengan Burhanuddin Muhtadi. Ia menilai televisi memang menjadi salah satu alasan mengapa elektabilitas bisa naik-turun karena adanya debat pilpres.
“Sangat mungkin. Industri penyiaran pada awal 60-70an sedang masif di dunia, elektoral bisa ditentukan lewat politic boardcasting, karena publik bisa melihat dan mendengar lewat televisi. Publik bisa melihat langsung bagaimana para calon menyelesaikan masalah dan solusi, bahkan bertingkah,” kata Arya.
Arya menilai banyak survei yang dilakukan membuktikan bahwa televisi masih menjadi satu-satunya sumber informasi yang masif bagi agenda elektoral. Sebab, Arya menilai medium itu menembus ragam usia, kelas sosial, pendidikan, dan geografis.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz