Menuju konten utama

Bagaimana Bastian Zebua Mengalami Bullying SARA?

Pernyataan Bearo Zalukhu tentang bullying berbau SARA yang menimpa keponakannya sempat dituduh hoax. Apa yang sebenarnya terjadi?

Bagaimana Bastian Zebua Mengalami Bullying SARA?
Ilustrasi bullying. Getty Images/iStockPhoto

tirto.id - Bonivasius Bearo Zalukhu berbicara pelan. Pada Selasa (31/10), di sebuah warung nasi di depan Kepolisian Sektor (Polsek) Pasar Rebo, Jakarta Timur, laki-laki yang akrab dipanggil Boni itu sedang beristirahat usai memberikan keterangan selama lebih dari 3 jam kepada Polsek Pasar Rebo terkait pernyataannya di Facebook.

Pada Senin (30/10) pagi, melalui akun Facebooknya, perantau asal Nias itu mengungkap perisakan (bullying) berbasis SARA yang dialami keponakannya, Josep Sebastian Zebua, murid SDN 16 Pekayon, Jakarta Timur.

Boni mendapatkan informasi saat bertandang ke rumah kakaknya, Albina Averina Zalukhu – ibu Joseph Sebastian Zebua – di daerah Ciracas, Jakarta Timur, Senin (30/10). Averina yang bercerita Sebastain tidak mau masuk sekolah karena kerap dirisak teman-temannya. Melalui Averina itulah, Boni mendapat cerita Sebastian sering dipanggil “Ahok”, “Kafir”, dan puncaknya telapak tangan Sebastian ditusuk dengan pulpen oleh temannya.

Baca juga: Anak-anak Rentan Terpapar Virus SARA dan Radikalisme

Kata Boni, dia tidak berpikir untuk langsung melaporkan kepada KPAI atau instansi terkait karena ketiadaan akses.

“Saya nggak punya akses dan kepintaran untuk ke sana, atau yang menemani saya ke sana. Lebih baik saya menulis di Facebook sambil menyebut pihak terkait. Semoga mereka tahu dan mereka tindak lanjuti. Ternyata ada hasilnya saat ini,” ujar Boni. “Biar ngga ada lagi korban selanjutnya. Bukan ingin buat gaduh, atau ingin viral,” tegas Boni.

Dua puluh satu jam setelah diunggah, 3500-an komentar memenuhi pernyatan Boni – beberapa di antaranya menyebut Boni sedang menyebar hoax. Sementara itu, pernyataan Boni telah disukai (like) oleh 6.500-an akun dan 5.271 kali dibagikan.

Perisakan Memang Terjadi

Ketidaksinambungan atau perubahan pernyataan dalam unggahannya di Facebook membuat beberapa akun menuduh Boni telah menyebar hoax.

“Saya memang tambahkan beberapa hal. Awalnya saya hanya tulis kepada ‘Negara Republik Indonesia’. Lalu saya tambahkan ‘Presiden Republik Indonesia’ dan ‘Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan’. Terus saya masukkan ‘KPAI’. Itu tidak saya kurangi tetapi saya tambahkan, supaya menjadi lengkap,” ungkap Boni sambil sesekali meghisap rokok yang dibakarnya beberapa menit yang lalu pelan-pelan.

Boni juga mengakui, dia sempat salah menuliskan keterangan tentang pendidikan Sebastian. Mulanya Boni menulis Sebastian adalah murid kelas IV SDN 16 Ciracas, padahal Sebastian merupakan murid kelas III SDN 16 Pekayon. Kepada Tirto, pihak SDN 16 Pekayon mengonfirmasi bahwa Joseph Sebastian Zebua merupakan salah satu murid di sana.

Baca juga:Mencegah Anak-anak Melakukan Bullying Berbasis SARA

“Itu salah satu kesalahan. Saya juga memohon maaf atas kesalahan itu karena dalam pemikiran saya hanya ‘SDN 16’ saja. Wilayah ‘Ciracas’ saya sebut karena saya ingat rumah Sebastian ada di wiayah Ciracas. Setelah itu saya edit menjadi ‘SDN 16 Pekayon’. Saya juga salah menulis soal kelas Sebastian. Saya tulis Sebastian kelas IV, padahal kelas III,” ujar Boni.

Boni menyatakan kejadian itu bukan untuk membohongi, tetapi semata-mata karena kurang teliti saja.

“Tetapi yang mau saya tekankan, yang saya tulis itu (perisakan terhadap Sebastian) benar adanya,” tegas Boni.

Perisakan karena Hiperaktif?

Kala Averina sedang dimintai keterangan oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Polsek Pasar Rebo, Sebastian berlari ke sana ke mari.

Sebastian sukar diam. Kadang dia menghampiri seorang anggota tim investigasi Polda Metro Jaya, kadang dia pergi ke area berkumpulnya anggota keluarganya. Tirto sempat menanyakan alasan Sebastian ingin pindah sekolah. Sembari tersenyum dia hanya menjawab, "Mau pindah saja", tidak kurang tidak lebih.

Menurut Averina, Sebastian tidak mau melanjutkan bersekolah di SDN 16 Pekayon karena diolok-olok, tidak hanya dengan kata "kafir" tetapi juga dengan kata “Ahok” yang merujuk penampakan fisik yang dinilai menyerupai orang-orang Tionghoa (padahal marga Zebua pada nama Sebastian menandakan dia keturunan Nias).

“Sebastian itu tidak sekolah kurang lebih dua minggu ini. Seminggu ini saya rayu agar dia mau sekolah. Tapi Sebastian bilang ‘Aku takut’. Dia dikatai 'Ahok', 'kafir'. Saya juga sudah nasehati dia, saya bilang kalau kamu itu Nias,” ujar Averina.

Salah seorang guru di SDN 16 Pekayon mengungkapkan insiden antara Sebastian dan teman-temannya pada mulanya adalah peristiwa sehari-hari yang kerap terjadi di dunia anak-anak. Tendensi perisakan memang terjadi sebagai respons dari, menurut pihak sekolah, perangai Bastian yang cenderung sangat aktif. Namun eskalasinya menjadi lain karena melibatkan ekspresi yang menghidupkan sentimen SARA.

Baca juga: Anak yang Doyan Jumpalitan adalah Anak Cerdas

Tirto mendapatkan keterangan tentang perangai Bastian yang "hiperaktif". Perangai itu disebutkan oleh pihak kepolisian maupun beberapa guru SDN 16 Pekayon yang hadir di Polsek Pasar Rebo. Perangai Sebastian yang sangat aktif dan tidak bisa diam dinilai sebagai prakondisi yang memancing temannya merisak.

Amanda Morin, dalam “Understanding Your Child’s Trouble With Hyperactivity”, menerangkan salah satu penyebab seorang anak hiperaktif adalah attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD), kondisi yang ditentukan oleh otak yang sering menyebabkan anak bergerak dan berbicara tanpa henti. Menurutnya 30 sampai 50 persen anak-anak dengan ADHD yang juga memiliki oppositional defiant disorder (ODD) bermasalah mengatur emosinya. Mereka sering berdebat dengan orang dewasa dan teman sebaya, menolak melakukan apa yang diminta, dan terkadang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan gagasan umum tentang apa yang benar dan salah.

Wiener menambahkan, anak-anak dengan ADHD lebih rentan menjadi korban perisakan ketimbang menjadi pelaku karena perangainya dapat mengganggu teman sebaya. Anak-anak dengan ADHD digambarkan belum dewasa secara sosial, karena mereka sering tidak memiliki keterampilan sosial seperti fleksibilitas dan kemauan berkompromi.

Namun anak-anak yang aktif menjelajahi ruangan ke sana ke mari tidak serta merta langsung dapat dinilai hiperaktif atau menyandang ADHD. Karena label hiperaktif itu mudah dipakai, anak-anak yang mungkin gelisah atau memiliki gerakan berlebihan saat melakukan hal-hal kecil pun mudah dibilang anak dengan ADHD.

Padahal menilai seseorang sebagai anak ADHD tidak sesederhana itu. Perlu serangkaian tes dan diagnosa untuk memastikan anak yang tidak bisa diam sebagai penyandang ADHD. Selain mengumpulkan keterangan dari orang tua dan guru, gejala ADHD juga perlu diuji melalui tes seperti CPT-TOVA (Continuous Performance Test- Test of Variable of Attention).

Infografik Dirundung Karena Agama

Sebastian Pindah Sekolah

Tak lama setelah pernyataan Boni viral di media sosial, anggota Banser NU Ustad Abu Janda memanggil (mention) Boni melalui kolom komentar. Dia memohon klarifikasi kasus Sebastian. “Akhirnya saya kirim (inbox) nomor ponsel saya kepada ustad. Dia bilang akan ada orang LBH (Lembaga Bantuan Hukum) GP Ansor yang akan mendampinginya untuk (proses) hukum,” ingat Boni.

Dari situlah Boni dan Averina dipertemukan dengan anggota LBH GP Ansor Achmad Budi Prayoga yang akhirnya menjadi kuasa hukumnya. Kepada Tirto, Achmad menjelaskan pendampingan utama yang dilakukan bertujuan agar Sebastian bisa melanjutkan sekolahnya.

“Dari pihak keluarga ingin Sebastian untuk pindah sekolah karena Sebastian sudah merasa tidak nyaman bersekolah di SDN 16 Pekayon. Pihak sekolah sudah dipanggil, kita sudah bicara banyak. Ini hanya perlu komunikasi yang intens dari pihak sekolah dengan para wali murid,” ujar Achmad.

Rencananya Sebastian akan pindah ke SD Ignatius Slamet Riyadi. Pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Wiyono menjelaskan komunikasi antara kepala sekolah SDN 16 Pekayon dengan SD Slamet Riyadi sedang dilakukan. Proses pindah sekolah itu pun akan dibantu oleh Pastur Paroki Cijantung Romo Andreas.

Baca juga: Yuk Jadi Pendamping Membaca Bagi Anak-anak

“Karena pelakunya sesama anak-anak, kami melihat anak-anak perlu edukasi dan sosialisasi mengenai kebhinekaan di Indonesia. Harapannya tidak ada lagi sentimen-sentimen SARA di sekolah-sekolah. Kita mengupayakan penyelesaian kekeluargaan. Saya kira itu hal yang terbaik. Keluarga Sebastian sendiri juga menginginkan diselesaikan secara kekeluargaan,” ujar Achmad.

Achmad menduga kasus-kasus serupa sebenarnya banyak terjadi, akan tetapi tidak terungkap secara masif.

Kendati perisakan tidak dibenarkan, tetapi "kenakalan" memang bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak. Bagaimana "kenakalan" diekspresikan itulah yang, dalam kasus Bastian, mencerminkan bagaimana dunia anak-anak terimbas oleh apa yang terjadi di dunia orang-orang dewasa.

“Ini perlu jadi perhatian kita bersama supaya kepala sekolah dan wali murid memberikan edukasi mengenai toleransi dan kebhinekaan,” ujar Achmad.

Selepas magrib, Sebastian, Averina, dan Boni bertemu dengan para murid yang diduga melakukan perisakan terhadap Sebastian. Masing-masing didampingi para orang tuanya. Pertemuan tersebut dimediasi oleh Kepolisian Pasar Rebo, KPAI, dan pihak SDN 16 Pekayon. Sejumlah poin disepakati, antara lain kedua pihak berdamai dan tidak akan membawa kasus ini ke ranah pengadilan.

Baca juga artikel terkait BULLYING atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS