tirto.id - Sengketa status Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang sebagai caleg DPD RI menuju babak akhir. Rabu (9/1/2019) siang, Badan Pengawas Pemilu RI bakal memutus apakah gugatan Oesman terhadap Komisi Pemilihan Umum diterima atau tidak.
Jika gugatan diterima, Bawaslu bisa mengubah status OSO, demikian panggilan Oesman, dari 'tidak memenuhi syarat' menjadi 'memenuhi syarat' caleg DPD. Jika tidak, maka tertutup sudah kesempatannya berkompetisi di Pemilu 2019.
Sengketa administratif bermula dari surat bernomor 1492 yang dikirimkan KPU kepada OSO pada 8 Desember 2018. Dalam surat tersebut, KPU memberikan tenggat hingga Jumat, 21 Desember, agar OSO mundur dari jabatannya sebagai pengurus Hanura. Ini adalah syarat mutlak jika ingin tetap masuk ke dalam Daftar Calon Tetap (DCT) caleg.
Bagi KPU, ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang melarang ketua umum partai politik mana pun rangkap jabatan sebagai anggota DPD. OSO sendiri sejak 2017 hingga sekarang menjabat Ketua DPD RI.
Sementara bagi OSO, surat dari KPU bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung bernomor 65/P/U/2018 tanggal 25 Oktober 2018 yang menyatakan putusan MK baru berlaku pada Pemilu 2024. Putusan MA itu diperkuat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-Jakarta tanggal 14 November 2018.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengibaratkan perkara OSO seperti skandal pengaturan skor yang melibatkan PSSI. Bagi Feri, KPU bagai PSSI karena sejak awal meloloskan OSO di Daftar Calon Sementara (DCS)—satu tahap sebelum DCT.
Feri menduga KPU awalnya meloloskan OSO dan kemudian mencoretnya dengan harapan ada putusan yang beda dengan yang dinyatakan MK.
"Dengan begitu terbuka kesempatan mendapatkan putusan yang berbeda dengan putusan MK," ujar Feri kepada reporter Tirto, Selasa (8/1/2019).
Feri tak hanya menyalahkan KPU. Baginya Bawaslu juga lalai mengawasi KPU yang meloloskan nama OSO ke DCS. "Padahal menurut UU Pemilu, Bawaslu dapat melakukan pengawasan agar KPU menjalankan tugasnya."
Pertaruhan Integritas Bawaslu
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, menilai kasus OSO jadi semacam pertaruhan nama baik Bawaslu. Jika Bawaslu menerima gugatan OSO, maka integritas mereka akan dipertanyakan publik.
"Kami melihat ini adalah pertaruhan Bawaslu," kata Donal dalam diskusi yang digelar di kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2019).
Agar tetap dipercaya, Donal berharap Bawaslu konsisten mengacu pada putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang melarang ketua umum partai politik rangkap jabatan sebagai anggota DPD. Dia juga mengingatkan bahwa Bawaslu pernah bersandar pada putusan MK ketika menangani kasus caleg bekas koruptor.
Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 memutus eks napi koruptor bisa mencalonkan diri kembali dengan syarat tertentu. Dengan dasar aturan ini Bawaslu memutuskan bekas koruptor bisa jadi caleg kembali. Putusan ini bertentangan dengan keinginan KPU yang hendak melarang sama sekali bekas koruptor kembali ke lembaga legislatif.
"Menurut saya wassalam Bawaslu, kalau melihat satu perkara dengan putusan MK, satu perkara lain diabaikan," tegasnya.
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan OSO tak perlu dimenangkan karena toh dia sebetulnya sudah diberi kesempatan untuk mundur dari Hanura. Tapi OSO memilih melawan. OSO bahkan melaporkan dua komisioner KPU ke Bareskrim Polri.
Oleh karena itu ia mengatakan Bawaslu tak perlu ambil pusing. Pertama karena kesempatan yang diberikan KPU tak ditanggapi, kedua karena aturannya sudah jelas.
"Kalau semua stakeholder penyelenggara konsisten dengan putusan MK, tentu tidak akan lama seperti ini," kata Fadli.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino