tirto.id - “Goblok kamu! Kenapa saya disuruh coba?”
Polisi itu bertanya kesal. Azwar, bukan nama sebenarnya, lalu menjawab agar orang yang menangkap, menginterogasi, dan menahannya itu tahu rasa tembakau Gayo, barang yang ia bawa dan dikonsumsi Senin sore 13 Juli 2020 itu, sebelum polisi memaksanya ikut ke polsek daerah setempat. (Azwar menolak menyebut lokasi persis demi alasan keamanan).
Sebelumnya, sekira pukul 1 siang, Azwar singgah di warung Baros, adiknya, sekadar singgah sebelum pergi ke rumah sang ibu. Ia mulai tingwe tembakau Gayo, daun kawung jadi kertasnya. Kelar tingwe, dia masukkan barang itu ke jok motor.
Kurang lebih 2,5 jam dia di sana, tiga polisi menghampiri. Polisi mula-mula meringkus Baros, menanyakan soal tramadol dan menuduh pemuda itu sebagai pengedar, padahal dia bukan bandar. Polisi beraksi dalam rangka pengembangan perkara narkotika yang terjadi pekan sebelumnya. Polisi lantas bertanya ke Azwar, mulai menggeledah pria berusia 27 tahun itu, lalu menyita ponselnya.
Azwar mencoba mengambil kembali ponselnya, tapi dilarang polisi. Ia lalu menegaskan dirinya tak bersalah. “Tapi kamu ada di lokasi [penangkapan] itu,” ujar Azwar kepada reporter Tiro, Jumat (17/7/2020), menirukan polisi.
Polisi lalu penasaran dengan motor Azwar. Ia meminta kuncinya dan menggeledah jok. Polisi menemukan tembakau Gayo, tapi mereka bersikeras itu adalah tembakau sintetis alias gorila, disebut-sebut efeknya lebih berbahaya dari ganja, ramai dibicarakan pada 2017 lalu.
Merasa menemukan bukti, polisi lekas menyuruh Azwar masuk ke mobil. Dia bilang tiga polisi itu tak membawa surat penangkapan. Di sana dia tetap ngoceh tak bersalah dan meyakinkan polisi bahwa itu adalah tembakau biasa.
“Kepala saya dipukul dari belakang,” aku Azwar.
Sementara polisi terus mencecar Baros dan memintanya membuktikan diri dia pengonsumsi tramadol, obat yang biasa dipakai untuk meringankan rasa sakit, mirip dengan analgesik opioid (narkotika).
Mereka tiba pukul 16.30. Aparat lalu membuat berita acara pemeriksaan bagi Baros, sedangkan Azwar tidak dibikinkan. Di sana polisi berubah omongan: tembakau Gayo yang dimiliki Azwar akan disemprot dengan zat kimia untuk dijadikan ganja sintetis. “Kok disemprot? Saya enggak tahu soal semprot,” terang Azwar.
Azwar mencoba negosiasi. Ia meminta polisi membuka ponselnya, mengecek pembelian daring tembakau, menelusuri kerabat dan kolega yang juga pengisap tembakau. Polisi tetap tak mau ponsel itu dikuasai sepenuhnya Azwar, padahal jika mereka mau menuruti, maka Azwar akan terbukti tak bersalah.
Kemudian istri dan ibu Azwar datang ke polsek usai dikabarkan oleh warga sekitar warung Baros. Mereka kaget karena tembakau Gayo jadi alasan penangkapan.
“Bukan [narkoba], pak. Wong saya juga nyicip,” kata istri Azwar ke polisi. Tapi polisi, lagi-lagi, berdalih tembakau itu bakal disemprot zat kimia.
Azwar lantas melinting tembakau itu di depan polisi, lalu ia bakar dan isap. Polisi menginstruksikan Azwar untuk push-up--sebagai pengetesan apakah dia akan mabuk atau tidak. Hasilnya, tentu saja, dia tak roboh.
Tapi toh Azwar dan Baros tetap diminta masuk sel. Dengan bercelana dalam saja.
Usai magrib, datang personel polres yang menurut Azwar ingin mengecek keaslian tembakau. Azwar menantang dilakukan tes urine. Polisi itu hanya mau membawa sekantung tembakau itu saja, tapi Azwar menolak keras. “Barang bukti di sini saja, enggak mungkin saya ganti. Saya di dalam sel. Saya takut kalau itu dibawa, nanti diganti [dengan tembakau sintetis atau ganja].”
Azwar juga minta polisi ke rumahnya. Dia ingin menunjukkan stok tembakau lain seperti Kasturi, Besuki, dan Mole. Bahkan orang tua Azwar mau mendatangkan saksi guna memperkuat kesaksian bahwa anaknya bukanlah seperti yang dituduhkan polisi. “Istri, kakak, om, guru mengaji saya, itu ngelinting [tembakau] semua.”
Sekira pukul 21.30, istri Azwar datang sambil menunjukkan bukti pembelian tembakau, dialog Azwar dengan sesama penikmat tembakau, dan foto mereka tingwe. “Tetap polisi enggak percaya,” katanya.
Culasnya polisi, kata Azwar, mereka memberi syarat bayar Rp15 juta sebagai biaya pembebasan untuk dirinya dari Baros. Hasil negosiasi, keluarga merogoh Rp8 juta dibagi dua. 90 menit kemudian mereka diperkenankan pulang.
Azwar tentu kesal dengan peristiwa itu. Maka ia mencuit di Twitter. Ia ingin memperingatkan semua penikmat tembakau agar “hati-hati Gayo disebut narkoba.” “Mungkin [polisi] masih tabu, masih kurang edukasi. Sebelum adanya rokok, masyarakat Indonesia sudah coba tingwe. Kalau sekarang masih ada nenek-nenek yang merokok, artinya masih melestarikan budaya kretek,” katanya.
Menurut Azwar, semestinya polisi bisa membedakan tembakau dan ganja/ganja sintetis. Mencicip adalah salah satu cara untuk mengetahui barang tersebut. “Kenapa enggak coba saja dulu? Atau bedakan dari warna,” katanya. “Mereka (polisi) tahunya sintetis, gorila. Itu terus yang diulang-ulang.”
Polisi Harusnya Belajar
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto berpendapat kewenangan polisi dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia kontrolnya sangat lemah. Itu, katanya kepada reporter Tirto, Jumat (17/7/2020), yang “mengakibatkan muncul arogansi sehingga seringkali melakukan pelanggaran yang mencederai rasa keadilan.”
Ia menyarankan Azwar untuk melaporkan ke Divisi Propam dan Itwasum Polri atau pihak eksternal seperti Komnas HAM dan Ombudsman, meskipun hal tersebut kadang tidak efektif. “Upaya terakhir melaporkan kepada Presiden,” katanya.
Sementara Ketua Komunitas Kretek Aditia Purnomo menegaskan “kepolisian harusnya belajar kalau tembakau Gayo itu bukan ganja meski memang memiliki aroma yang mirip. Ia bukan ganja baik yang alami atau sintetis yang dicampurkan zat kimia.” Semua ini harus dilakukan agar kejadian serupa tak terulang.
“Kasus salah tangkap karena ada masyarakat membawa tembakau Gayo tidak boleh terjadi, apalagi hingga dipukuli demi mendapat kesaksian,” ujarnya kepada reporter Tirto, Jumat (17/7/2020).
Namun Adit juga menduga polisi memang berencana memeras Azwar. Terlebih kasus seperti ini kerap terjadi.
==========
(Revisi 18 Juli pukul 19:45: kami mempertegas soal Rp15 juta sebagai 'biaya pembebasan' Azwar dan Baros, bukan untuk Azwar saja. Revisi 20 Juli 2020 pukul 12.24: keterangan tanggal ditambahkan di paragraf dua).
Penulis: Alfian Putra Abdi & Adi Briantika
Editor: Rio Apinino