tirto.id - Tembakau gorila sedang ramai diperbincangkan. Banyak yang mengusulkan agar tembakau gorila dimasukkan sebagai sebagai narkoba. Tembakau ini sempat marak pada sekitar 2015 lalu dan banyak diperdagangkan bebas melalui media sosial seperti Twitter dan Facebook. Efek menenangkan seperti ganja namun legal membuat tembakau ini laris diserbu para pecandu zat-zat sedatif.
Di laman Youtube, kata kunci “Efek Tembakau gorila” dengan mudah akan menyodorkan video-video yang menunjukkan bagaimana konsumen tembakau sintetis ini memperlihatkan prilaku seperti orang yang tidak tidur berhari-hari.
Video teratas, misalnya, menunjukkan seorang pria berkaus merah duduk bersila, asyik menghisap tembakau gorila. Dua orang teman yang lain merekam aktivitas pria tersebut, hingga beberapa menit kemudian kepala si pria berkaus merah menunduk dan terus jatuh ke bawah seiring makin kuatnya efek tembakau gorila di tubuh. Tubuhnya sama sekali tak bergerak saat salah satu temannya mencoba membangunkan. Posisi badannya yang semula duduk tegap di akhir video sudah berubah hingga seluruh badannya menyentuh lantai.
“Seperti tertimpa gorila,” begitulah pengakuan beberapa konsumen tembakau ini tentang efek yang dirasakan tubuhnya.
Komposisi Ganja Sintetis
Tembakau gorila mulai ramai diperbincangkan lagi ketika video pilot Citilink yang diduga mabuk menyebar di dunia maya. Ada yang menduga pilot tersebut berada di bawah pengaruh alkohol, namun ada juga yang menduga ia menghisap tembakau gorila. Namun, kedua asumsi tersebut telah dibantah dengan hasil tes yang negatif.
Tembakau lintingan ini bisa dikatakan mudah diperoleh karena diperjualbelikan bebas. Tirto menemukan salah satu akun di Facebook yang cukup aktif mempromosikan jual-beli tembakau gorila. Di laman tersebut terpampang jelas nomor telepon yang bisa dihubungi untuk memesan barang tersebut. Bahkan penjualnya menawarkan pengiriman yang dapat dilakukan melalui agen pengiriman seperti Tiki dan JNE atau jasa ojek online.
Di galeri foto akun tersebut, terdapat beberapa bungkus tembakau yang dipajang sebagai promosi. Di kemasannya tertulis “Tembakau Super Cap gorila” sebagai judul, di bawahnya tertulis komposisi berupa: cengkeh, Lion’s Tail, Wild Dagga. Di bagian caption, penjual memampang harga tembakau gorila kemasan 2-3 gram tersebut sebesar Rp250 ribu.
“Jadi ini tembakau biasa yang dicampur dengan powder AB-Chminaca, sebagai salah satu turunan ganja sintetis,” ujar Kombes Pol Slamet Pribadi, selaku Humas BNN DKI Jakarta kepada Tirto, Kamis (12/1/2017).
Menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), lembaga PBB yang khusus menangani kejahatan narkoba, synthetic cannabinoid (ganja sintetis) berbentuk serbuk kristalin yang berwarna putih, abu-abu bahkan coklat kekuningan. Umumnya larut dalam pelarut organik seperti metanol, etanol, acetonitril, etil asetat dan aseton sehingga setelah larut akan dengan mudah disemprotkan ke dalam bahan lain, semisal daun-daunan herbal ataupun tembakau.
Synthetic cannabinoid adalah zat sintetis (hasil sintesa di laboratorium) yang menimbulkan efek pemakaian seperti ganja karena memungkinkan pengikatan dengan reseptor, yaitu CB1 atau CB2 pada sel manusia. Reseptor CB1 terletak terutama di otak dan sumsum tulang belakang dan bertanggung jawab atas efek psikoaktif sama halnya seperti ganja.
Sedangkan reseptor CB2 terletak terutama di limpa dan sel-sel sistem kekebalan tubuh dan dapat memediasi efek kekebalan. Zat-zat inilah yang kemudian berpengaruh menyebabkan menurunnya fungsi otak dan menyebabkan halusinasi pemakainya.
Beraneka macam komposisi tumbuhan yang tertera dalam kemasan Tembakau gorila tersebut sejatinya adalah jenis daun-daunan yang tidak berbahaya. Jenis dedaunan yang sering digunakan untuk disemprotkan ganja sintetis menurut UNODC adalah Pedicularis densiflora, Nymphacea caerulea, Leonotis leonurus, Leonurus sibiricus, Carnavalia maritima dan Zornia latifolia.
Jika ditelusuri, Leonotis leonurus inilah yang biasa disebut ekor singa atau dagga liar, tanaman asli Afrika Selatan yang tumbuh liar di antara bebatuan padang rumput Afrika Selatan. Tinggi tanaman yang memiliki bunga berwarna oranye ini bisa mencapai 2-3 meter dengan lebar 1,5 meter. Selain di Afrika, biasanya dagga liar juga ditemukan di iklim subtropis dan mediterania seperti California dan Hawaii.
Synthetic cannabinoid yang sama dan terkandung di dalam tembakau gorila ternyata juga ditemukan pada herbal blend dengan merk Good Shit. Kemunculannya, diduga sebagai subtitusi dari ganja karena ganja semakin sulit didapatkan.
Efek Samping
“Banyak pasien saya menuturkan efeknya seperti ditimpa gorila, sulit bergerak, halusinasi, ngantuk,” ujar dr Benny Ardjil, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa & Minat khusus Adiksi Narkoba, kepada Tirto, Kamis (12/1/2017).
Dalam laman Badan Narkotika Nasional disebutkan juga, efek tembakau gorila yang sangat toksik yang lebih parah dari ganja sehingga dapat membuat pemakainya mengalami kerusakan ginjal dan paru-paru yang parah. Jika tidak berhenti, pemakainya bisa mengalami tremor atau gemetaran. Efek yang dirasakan tidak lama hanya beberapa menit saja, namun pemakainya seperti sudah lama tidak sadar terhadap sekelilingnya.
Sintetik cannabinoid mulanya disintesa oleh seorang doktor di bidang kimia organik yang bernama Jhon W. Huffman, seorang ahli riset dari Universitas Clemson di Amerika. Jhon W. Huffman dan timnya pada 1990-an telah berhasil mensintesa sekitar 20-an jenis sintetik cannabinoid.
Latar belakang penelitiannya adalah pencarian terhadap obat-obatan sintetis yang mampu menyembuhkan penyakit multisklerosis, pereda nyeri pada pasien HIV/AIDS maupun pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Dalam buku The Challenge of New Psychoactive Substances telah dipublikasikan 60 jenis synthetic cannabinoid. Dari jumlah tersebut, di Indonesia saat ini sudah beredar 8 jenis syntehtic cannabinoid yaitu JWH-018, XLR-11, 5-fluoro AKB 48, MAM-2201, FUB-144, AB-Chminaca, AB-Fubinaca dan CB-13.
Diusulkan Masuk UU
Terkait diusulkannya tembakau gorila masuk ke dalam Undang-undang Narkotika, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon meminta kajian lebih mendalam kepada BNN. Ia tak ingin, penggolongan tembakau ini dilakukan secara terburu-buru. Namun begitu, bila tembakau gorila memang menimbulkan dampak membahayakan dan berimplikasi mirip dengan produk psikotropika lain, maka ia mendukung penggolongannya dalam UU.
"Tetapi kita juga jangan tiba saat tiba akal, perlu memang riset dan pengembangan untuk menentukan bahayanya, agar jangan sampai ada dampak-dampak ekonominya. Saya tidak tahu juga, apakah berdampak terhadap petani tembakau, tapi kalau membahayakan tentu bisa dicegah," katanya.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 2 tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika yang memasukkan tembakau gorila sebagai salah satu narkotika jenis baru. Identifikasi BNN menemukan ada sebanyak 46 narkotika jenis baru,18 diantaranya sudah masuk lampiran Permenkes Nomor 13 Tahun 2014, sedangkan 28 lainnya masih dalam tahap pembahasan.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra