tirto.id - Untuk perkara nasi Padang, pilihan utama saya selalu jatuh ke tim jeroan. Setiap datang ke warung nasi Padang, saya biasa clingak-clinguk mencari gulai otak. Kalau otak kosong, pilihan kedua akan jatuh pada limpa atau hati sapi. Rendang atau dendeng lambok akan ada di pilihan berikut kalau semua sumber kolesterol itu tak ada.
Ada beberapa makanan yang seingat saya tak pernah --atau jarang sekali-- saya pilih di restoran Padang. Ayam goreng, misalnya. Menurut saya, ayam goreng ini makanan yang relatif mudah ditemukan. Tak harus ke restoran Padang. Seingat saya, dalam sejarah mengunjungi rumah makan Minang, saya mengganyam ayam goreng hanya di Pondok Djaja.
Ketika awal datang ke Jakarta pada 2014 dan kerja di kawasan Menteng, seorang teman memberikan rekomendasi rumah makan ini, memberikan dua jempol sekaligus memberi gambaran yang mungkin dianggap tak jamak bagi banyak orang.
“Itu rumah makan Padang, salah satu yang tertua di Jakarta. Tapi yang punya orang peranakan,” ujar kawan perempuan yang juga peranakan Jawa- Tionghoa ini.
Pondok Djaja didirikan oleh Sofyan Chaedir pada 1969. Saat itu dia membuka rumah makan Padangnya di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat. Pendirian itu sepertinya bukan tanpa alasan. Kawasan ini sejak abad 19, menurut wartawan cum sejarawan Alwi Shahab, menjelma jadi kawasan mangkuk salad para manusia dari berbagai etnis. Di sana banyak pedagang dari Cina dan India --yang kerap dijuluki manusia Bombay oleh warga Betawi.
“Pasar Baru dan Pasar Glodok sampai tahun 1960-an merupakan pasar paling bergengsi di Jakarta,” tulis Shahab di buku klasiknya, Betawi: Queen of the East.
Maka tak heran kalau salah satu pusat keramaian Jakarta era itu ada di Pasar Baru. Shahab juga mencatat bahwa Grup Matahari yang sekarang menjelma jadi gurita bisnis ritel itu, menghela napas pertamanya pada 1958 dari toko kecil di Pasar Baru. Saat itu namanya masih De Zoon, bahasa Belanda yang artinya matahari.
Setelah bertahan di Pasar Baru selama lima tahun, Pondok Djaja pindah ke kawasan Hayam Wuruk pada 1974. Tempat itu masih bertahan hingga sekarang. Kalau kamu berkunjung ke sana, rasanya nyaris tak ada yang berubah. Mulai fasad dari seng lawas berwarna cokelat, papan nama di plang kuning yang masih memakai ejaan Soewandi, hingga meja panjang berwarna putih.
Sejak awal berdiri, semua hidangan di Pondok Djaja dimasak oleh istri Sofyan. Sayang, beliau meninggal pada 2017 tahun silam. Kini, dapur rumah makan ini dijalankan oleh tiga orang anggota kabinet dapur. Resepnya masih memakai warisan istri Sofyan. Selain punya andalan rendang dan tahu tauco, ayam gorengnya kerap disebut sebagai hidangan kampiun di kelasnya.
Ayam goreng di Pondok Djaja adalah ayam kampung yang dipotong per bagian, digoreng garing, diberi taburan serundeng, dan didampingi kondimen berupa sambal merah yang lebih menonjol cita rasa manis-asamnya ketimbang pedas. Farida menyebutnya sebagai sambal ayam goreng.
Selain di Pondok Djaja, seingat saya, ayam goreng tak pernah jadi pilihan saya tiap mengunjungi rumah makan Padang.
Beda lagi dengan ayam pop. Ia menjadi salah satu hidangan ayam yang tak jarang saya ambil ketika lauk dihidang di meja. Potongan yang kecil --karena memakai ayam kampung/ pejantan-- cocok sebagai lauk tambahan atau sekadar dikudap bareng sambal merahnya.
Namun kali pertama berkenalan dengan ayam pop, saya melihatnya begitu liyan. Di antara jejeran lauk dengan warna-warni yang cerah dan mencolok mata --sekaligus memancing terbitnya liur-- ayam pop tampak inferior: pucat, seperti tak punya gairah hidup.
Sepanjang yang saya tahu dan baca, ada dua versi sejarah ayam pop.
Yang pertama: ayam pop konon lahir di rumah makan Family Benteng Indah, Bukittinggi. Restoran yang terletak pas di sebelah Benteng Fort de Kock ini sudah berdiri sejak 1947. Dari berbagai sumber cerita, menu ayam pop mulai dikenalkan pada pertengahan 1950.
Versi kedua: ayam pop dikenalkan oleh rumah makan Simpang Raya yang berdiri pada 1969. Ayam pop langsung jadi andalan di rumah makan ini. Saking jadi ikon, Simpang Raya lantas memasang jargon Istana Ayam Pop.
Meski tampak lesi kurang gairah, ayam pop jadi salah satu makanan ikonik rumah makan Minang. Herannya, tak semua rumah makan Minang punya ayam pop sebagai menunya. Padahal, cara pembuatannya relatif mudah.
Beda dengan ayam goreng, ayam pop direbus dalam air kelapa yang dicampur berbagai bumbu dan juga santan. Setelah matang, ayam akan didiamkan agar bumbu makin meresap. Ketika akan dihidangkan, barulah ayam ini akan digoreng sejenak dalam minyak kelapa, dengan api kecil. Hasilnya adalah ayam lembut yang mudah disobek, dengan aroma minyak kelapa yang menguar kuat.
Ayam pop enak dimakan begitu saja. Bumbunya terasa ringan. Meski memakai santan, tak ada rasa eneg yang seringkali ditemukan ketika makan ayam bergulai. Teksturnya yang lembut juga kontras dengan ayam goreng Padang yang digoreng garing.
Namun, sambal ayam pop juga punya kekuatan sendiri. Rasa asam dari tomat yang dominan, membuat sambal ini terasa berbeda dengan sambal-sambal lain dari ranah Minang. Ditambah dengan santan, sambal ayam pop ini memberi spektrum gurih yang melengkapi rasa ayam pop yang sedikit manis.
Setelah beberapa kali menjajal ayam pop di berbagai rumah makan, termasuk di Simpang Raya yang sudah punya puluhan cabang di berbagai kota, kemarin saya menjajal ayam pop di Family Benteng Indah.
Ada yang menarik di sini. Ketika hidangan lain datang dalam piring putih, ayam pop datang belakangan dalam piring cokelat transparan. Seakan mengabarkan kalau ini hidangan istimewa, maka piringnya pun harus berbeda.
Ayamnya terlihat berkilau karena baru saja diangkat dari penggorengan, wangi kelapanya samar. Ayam dihidangkan bersama sepiring kecil sambal halus yang digenangi minyak. Di dalamnya ada potongan tomat dan petai. Menarik.
Ketika ayam popnya dimakan begitu saja, rasa gurih dan asin tampil paling depan. Sedikit berbeda dengan ayam pop yang biasanya punya rasa manis lamat-lamat. Ayam pop di Family Benteng Indah ini lebih pas jika disantap bareng nasi, tapi akan terasa terlalu asin jika di-kudok. Ketika dicocol ke sambal, barulah ada sodokan rasa asam yang bikin semua jadi imbang. Lagi-lagi, perpaduan ayam dan sambal ini akan lebih cocok jika disantap bareng nasi, bukan sebagai lauk yang berdiri sendiri.
Di Family Benteng Indah siang itu, saya menyantap dua potong ayam pop, dan berhasil menahan diri untuk tak menyikat potongan ketiga. Mengingat kapan hari saya rutin menyantap tiga potong dendeng batokok dalam sekali duduk, hanya makan dua potong ayam pop ini sungguhlah sebuah prestasi mengesankan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi