tirto.id - Saya percaya bila Awkarin lahir di era 1950-an dan tumbuh muda di masa 1960-an, ia pasti turun ke jalan bersama pemuda-pemudi sebaya untuk memprotes kebrengsekan politik dunia saat itu.
Jika ia tinggal di Amerika Serikat, ia bakal bergabung dengan Generasi Bunga yang memenuhi jalanan San Francisco untuk menentang keras Perang Vietnam, sembari menyanyikan satu-dua lagu balada protes dengan gitar kopong.
Sementara bila hidup di Perancis, Awkarin kemungkinan besar bakal turut serta dalam aksi jutaan buruh dan puluhan ribu mahasiswa yang muak terhadap pemerintahan konservatif Charles de Gaulle.
Apa poin yang bisa diambil? Tak peduli di mana demonstrasi itu berlangsung, entah di AS, Perancis, maupun Indonesia, Awkarin boleh jadi ikut ambil bagian. Karena, bagaimanapun, aktivisme adalah hal yang tak bisa dilepaskan dari sosoknya—disadari atau tidak.
Muda dan Bebas
Nama Awkarin pertama kali muncul ke publik tiga tahun silam, ketika video yang berisi curhatan sehabis putus cinta dari pacarnya, Gaga, viral. Dalam video tersebut, perempuan bernama asli Karin Novilda ini menangis sesenggukan. Tangisnya begitu emosional, mengingatkan saya pada tangis Marion Cottilard sewaktu memainkan karakter Édith Piaf di film La Vie en Rose (2007).
Dalam video yang sudah dihapus tersebut—tapi jejak digitalnya masih dapat Anda jumpai dengan mudah di YouTube—Awkarin berbicara tentang banyak hal: dari rasa sesalnya ditinggalkan, permintaan maaf karena belum jadi “pasangan yang baik”, hingga harapan agar sang mantan bahagia.
Sebelum curhat, Awkarin lebih dulu memberi surprise untuk mantannya yang tengah ulang tahun. Saat bertemu Gaga, tangis Awkarin pecah sejadi-jadinya. Ia langsung memeluk erat mantannya itu dan sayup-sayup terdengar perkataan:
“Maaf, aku belum jadi seperti yang kamu mau. Maaf, aku enggak sempurna, enggak cantik. Maaf, akhlakku enggak baik buat kamu.”
Kata-kata Awkarin membuat saya nggerus dan langsung segera mencari tisu untuk menyeka air mata yang telah tumpah membasahi pipi.
Sejak video viral itu, ditambah berkat eksistensi media sosial macam Instagram maupun Snapchat yang tengah digandrungi anak-anak muda, nama Awkarin lekas melambung. Statusnya pun juga berubah jadi selebgram—sebutan untuk sosok selebriti di Instagram—dengan jumlah followers yang bejibun.
Namun, di saat bersamaan, kritik—berujung cercaan—terus dialamatkan kepadanya. Awkarin dinilai oleh sebagian masyarakat mempromosikan gaya hidup yang kelewat liberal karena unggahannya di media sosial tak jauh-jauh dari pesta, pesta, dan pesta. Sebagian lainnya menganggap Awkarin tak pantas jadi panutan hanya sebab ia sering berfoto memakai bikini dan punya tato di lengan tangannya.
Pendeknya, di tengah hidup masyarakat yang puritan dan konservatif, kehadiran Awkarin serupa ancaman yang mesti dibasmi sampai akar-akarnya.
Maka, ketika beberapa waktu belakangan namanya kembali mencuat ke permukaan berkat aktivisme sosial-politiknya, publik langsung bersuara. Ada yang berpendapat Awkarin melakukan semua itu demi kebutuhan akan konten, ada pula yang berkata ia sedang cari sensasi.
Berani Ambil Sikap
Pembicaraan tentang Awkarin kembali ramai sejak ia memutuskan untuk membagi tiga ribu nasi kotak kepada mahasiswa yang ambil bagian dalam aksi #ReformasiDikorupsi pada 24 September lalu. Di tengah lautan massa, dengan wajah yang senantiasa tersenyum simpul, Awkarin bergerilya menyebar nasi kotak. Militansinya terasa memukau.
“Perjuangan banget mau nganterin 3.000 nasi kotak buat kakak-kakak yang lagi demo. Hari ini sepertinya semua kerjaanku harus di-postpone demi mengantarkan makanan untuk mereka yang sudah hebat dan lelah seharian di jalan. Doakan kami!” demikian tulisnya.
Dari Jakarta, Awkarin lalu terbang ke Palangkaraya guna berpartisipasi dalam upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang melanda kawasan itu sejak beberapa bulan silam. Aksi Awkarin ini direkam dengan apik dalam video berdurasi 22 menit.
Dengan video tersebut, Awkarin ingin mengabarkan secara langsung bahwa kebakaran di Kalimantan memang parah, di samping membuka ruang adanya bantuan dari pihak-pihak lain.
Tak hanya concern pada isu-isu besar, Awkarin juga menaruh kepedulian pada hal-hal kecil yang kerap masyarakat abaikan. Ia, misalnya, mengajak para followers-nya di Twitter untuk membersihkan sampah di sekitar yang dibalut dalam program giveaway—memberi hadiah tertentu bila berhasil menuntaskan tugasnya.
Di luar hal-hal di atas, Awkarin masih kritis terhadap masalah-masalah faktual, seperti ketika ia melayangkan kritiknya kepada salah satu media online yang dinilainya bikin berita hanya demi page views sehubungan dengan kasus tewasnya Sulli, mantan personel girl band asal Korea Selatan, f(x).
“Media itu harusnya menjadi pembantu masyarakat yang butuh suara bukan malah jadi alat politik atau sekedar ngejar page views,” cuitnya.
Jika ingin dirunut, aktivisme Awkarin sebetulnya tidak lahir kemarin sore. Kritisisme serta keberaniannya dalam bersikap sudah muncul sejak bertahun-tahun yang lalu.
Dalam wawancaranya bersama Vice Indonesia (2016), Awkarin pernah menyatakan bahwa apa yang dilakukannya lewat media sosial merupakan sebuah wujud berekspresi. Ia tak ingin dikekang oleh aturan, apalagi omongan orang-orang. Baginya, anak muda punya kebebasan untuk berekspresi.
“Ini cara berekspresi. Dengan power [di media sosial] yang ada, aku ingin shift the culture. Mencoba ngubah mindset mereka,” tegasnya.
Karena, untuknya, Indonesia adalah negara yang menganut demokrasi dan oleh sebab itu setiap orang bebas menyalurkan ekspresinya.
“Apakah bebas bersuara itu berarti ngikutin yang pemerintah bilang?” tanyanya retoris.
Masih dalam momen yang sama, Awkarin juga menolak gambaran perempuan yang ideal adalah perempuan yang menggunakan hijab. Menurutnya, gambaran tentang perempuan ideal ditentukan dari apa yang ia lakukan dengan hidupnya, alih-alih apa yang ia kenakan.
“Indonesia bukan negara Islam. Memakai jilbab bukan standar jadi perempuan yang baik,” katanya yakin.
Sekali tarikan napas, Awkarin mendukung demokrasi, kesetaraan perempuan, menolak khilafah, dan, yang paling penting, ia tak peduli omongan orang-orang yang tidak membiayai hidupnya. Dahsyat.
Awkarin terus vokal. Kali ini, ia menyuarakan kritiknya lewat lagu. Di lagu berwarna hip-hop berjudul “Badass”, ambil contoh, Awkarin menegaskan kepada semua orang bahwa ia tak bisa diremehkan begitu saja. Awkarin bilang, “My favorite position, I told that btch, CEO.” Aura kemarahan memang terasa sepanjang lagu manakala kata-kata kasar ia ucapkan tanpa jeda.
Bahkan, dalam video musiknya yang sudah memperoleh 11 juta viewers di Youtube itu, Awkarin berdandan ala Pussy Riot—mengenakan tutup muka berwarna hitam dan pakaian dalam yang ditutupi jaket kulit. Sembari menaiki kuda, Awkarin seolah ingin berkata lantang, seperti ucapan Rhett Butler kepada Scarlett O'Hara dalam Gone with the Wind:
"Frankly, my dear, I don't give a damn!"
Awkarin kembali lantang bersuara di lagu “Bad” yang ia bawakan bersama Young Lex. Lagu ini adalah jawaban atas kritik (masyarakat) yang dialamatkan kepada Awkarin dan teman-temannya. Kendati jumlah dislikes video tersebut lebih banyak ketimbang likes-nya, dari total 35 juta viewers, pesan lagunya jelas: “tatoan tapi enggak pakai narkoba” dan “kalian semua suci aku penuh dosa.”
Segala kiprah yang sudah disebut di atas memperlihatkan bahwa keberanian Awkarin dalam bersikap sudah muncul sejak jauh-jauh hari. Awkarin tak sedang mengikuti tren yang ada. Ia hanya melanjutkan apa yang telah jadi tradisinya: bersuara vokal terhadap permasalahan sosial.
Maka dari itu, tak mengagetkan bila Awkarin aktif dalam demonstrasi mahasiswa, turun gunung membantu korban bencana, sampai (berani) mengulik segala hal yang bermasalah—dari penerapan hukum syariat sampai eksistensi LGBT—di daerah yang begitu konservatif seperti Aceh.
Terus Melaju
Dalam perspektif yang lebih luas, Awkarin adalah representasi dari apa yang disebut “Generasi Z”: sebuah kelompok demografi yang diisi oleh mereka yang lahir di antara pertengahan 1990-an sampai 2010-an. Oleh Merriam-Webster, Oxford, sampai Urban Dictionary, Generasi Z didefinisikan sebagai generasi yang muncul setelah Milenial. Awkarin sendiri tahun ini belum genap berusia 22 tahun.
Majalah Newsweek, dalam laporan khusus yang diberi tajuk “Gen Zs are Anxious, Entrepreneurial and Determined to Avoid Their Predecessor’s Mistakes” (2019), menjelaskan bahwa narasi yang melekat pada Generasi Z adalah apolitis, mudah cemas, tak berani ambil risiko, serta pragmatis secara ekonomi.
Skeptisisme itu tidak lahir dari ruang kosong. Generasi Z dianggap apolitis—dan cenderung manja—karena lahir dan hidup pada masa yang cukup nyaman. Di AS, misalnya, mereka tak mengalami peristiwa-peristiwa tragis macam serangan 9/11, maupun kebijakan Perang Melawan Teror-nya Bush.
Pertanyaannya: benarkah demikian? Bila melihat realitas yang ada, narasi itu bisa jadi keliru. Pasalnya, anak-anak dari kelompok Generasi Z sudah membuktikan bahwa mereka bisa bersikap—dan turut mengubah keadaan. Termasuk Awkarin.
Aktivisme merupakan bagian yang tak bisa dilepaskan dari eksistensi Generasi Z. Alih-alih tumbuh menjadi kelompok yang apolitis, Generasi Z justru peduli terhadap permasalahan sosial-politik di sekitar.
Laporan Pew Research Center menjelaskan penyebab munculnya aktivisme itu adalah karena internet. Generasi Z tumbuh ketika internet sedang berkembang secara pesat: WiFi, iPhone, sampai media sosial hadir menemani perjalanan mereka.
Implikasinya: Generasi Z menjadi generasi yang “hidup”. Teknologi telah mengubah perilaku, sikap, gaya hidup, hingga pandangan terhadap dinamika sosial di era kiwari. Faktor inilah yang kemudian mendorong Generasi Z untuk lebih terbuka. Arus informasi yang begitu besar telah berkontribusi dalam terciptanya beragam perspektif.
Kendati tak merasakan ketakutan dunia pasca-9/11, Generasi Z di AS, katakanlah, nyatanya juga menghadapi masalah yang tak kalah pelik: terorisme sayap kanan, rasisme, ledakan pengungsi, kebijakan imigrasi yang diskriminatif, maupun perubahan iklim.
Di Indonesia, sederet permasalahan tersebut bisa diganti dengan persekusi terhadap minoritas, anggota parlemen yang keblinger, sampai tindak-tanduk aparat yang represif dalam menekan kebebasan berpendapat.
Aktivisme maupun inisiatif yang dilakukan Awkarin, atau dalam hal ini anak-anak Generasi Z, seringkali ditanggapi sebelah mata oleh mereka yang lebih tua—dan mengaku lebih berpengalaman. Budiman Sudjatmiko, politikus PDIP dan mantan aktivis 1998, misalnya, merespons aktivisme Awkarin dengan cuitan seperti berikut:
“2 contoh kebaikan oleh 2 perempuan: 1. Awkarin & 2. Tri Mumpuni. Yang pertama basisnya sensasi, yang ke-2 esensi. Kebaikan harus sensasional, tapi yang lebih penting juga esensial. Tak cukup salah. 1. Budaya kita lebih suka yang pertama, meski tubuh kita butuh yang ke-2.”
Cuitan Budiman sontak dianggap sebagai bentuk serangan terhadap Awkarin. Ia menganggap apa yang dilakukan Awkarin hanya sebatas mencari sensasi dan luput akan esensi. Tapi, Awkarin tak perlu ambil pusing. Generasi yang lebih tua merisak generasi yang lebih muda adalah hal yang wajar belaka.
Generasi The Lost Generation mengejek Baby Boomers sebagai generasi lembek yang membuang waktu untuk hal sia-sia seperti narkoba. Baby Boomers mengejek generasi X sebagai generasi muram. Hingga sekarang generasi Z yang diejek dengan berbagai macam sebutan: bodoh, suka foya-foya, terlalu bergantung pada teknologi, tak peka lingkungan sekitar, gemar cari sensasi, hingga dipandang tak punya rencana jelas untuk masa depan.
Di era 1970-an, publik AS—dan dunia—dikagetkan dengan aktivisme Jane Fonda, aktris Hollywood, yang lantang menolak Perang Vietnam. Ia bahkan punya panggilan khusus bernama “Jane Hanoi.” Dalam kariernya, Jane juga pernah membikin film berjudul Tout va bien (1972) yang mengangkat kritik atas kapitalisme, narasi perjuangan kelas, hingga gerakan anti-perang, bersama sutradara Perancis, Jean-Luc Godard.
Apa yang dilakukan Jane Fonda—sebelum akhirnya ia meninggalkan dunia pergerakan dan lebih memilih mengisi konten aerobik—membuktikan bahwa semua orang bisa terjun dalam aktivisme, sekalipun ia selebgram seperti Awkarin. Sejauh ini, Awkarin sudah menjalaninya dengan baik.
Pertanyaannya: akan bertahan sampai kapan?
Editor: Eddward S Kennedy