Menuju konten utama

Auditor BPK Dalam Pusaran Suap Predikat WTP

Sebanyak 23 auditor BPK terlibat dalam kasus suap. Mereka memberikan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) laporan keuangan lembaga negara dengan ganjaran sejumlah uang.

Auditor BPK Dalam Pusaran Suap Predikat WTP
Auditor BPK Ali Sadli (kanan) dengan rompi tahanan meninggalkan Gedung KPK usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Sabtu (27/5). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (26/5/2017) pekan lalu, menambah daftar panjang kasus suap yang melibatkan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Operasi itu mengungkap sederet kebobrokan para oknum auditor tentang pelicin untuk membuat laporan keuangan pemerintah daerah ataupun kementerian terlihat kinclong.

Salah auditor BPK yang terlibat adalah Djapiten Nainggolan. Mantan Ketua Tim Audit BPK untuk Komisi Pemilihan Umum 2004 itu pernah disebut dalam kasus dugaan korupsi dilakukan Nazaruddin Sjamsudin pada tahun 2005. Auditor yang terlibat menerima Rp555 juta dari KPU saat melakukan audit pengadaan logistik Pemilihan Umum Tahun 2004.

Dana itu kemudian digunakan untuk ongkos 15 orang anggota BPK yang sedang melakukan audit di KPU. Auditor yang menerima uang itu adalah Mochamad Priono, Djapiten Nainggolan, Haedar Rahman, Hilmy, dan Wati. Mereka diberi "ongkos" sebesar Rp 11 juta per minggu. Sayang, kasus suap ini tak dibawa ke meja hijau, 15 auditor itu hanya diberi sanksi oleh BPK.

Pada 2010, kasus melibatkan auditor BPK kembali terulang, kali ini terjadi di daerah Jawa Barat. Kasus tersebut melibatkan Suharto, Kepala Sub Auditoriat III BPK perwakilan Jawa Barat dan Kepala Seksi BPK Wilayah Jawa Barat III B, Enang Hermawan. Keduanya menerima uang suap uang sebesar Rp200 juta dari Kepala Inspektorat Kota Bekasi Herry Lukamanto Hari, serta pejabat Dinas Pendapatan Daerah Kota Bekasi Herry Supardjan. Uang itu diguyurkan agar Suharto dan Enang memberikan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Kota Bekasi Tahun 2009.

Kasus suap itu menyeret para auditor ke dalam bui. Keduanya divonis 4 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp200 juta oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pindana Korupsi Jakarta. Mereka terbukti menerima suap Rp400 juta untuk memberikan opini wajar tanpa pengecualian terhadap laporan keuangan Pemkot Bekasi tahun 2009. Mereka juga melanggar Pasal 12 Huruf (a) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Kesatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pemberian opini dalam laporan keuangan pemerintah daerah ini pun seolah menjadi lahan basah bagi auditor BPK. Pada 2012, kasus serupa juga terjadi lagi. Kali ini melibatkan auditor BPK, MB alias Bahar dan MM alias Munzir, dua auditor BPK yang bertugas di Sulawesi Utara.

Keduanya, menerima suap uang sebesar Rp600 juta yang diberikan Walikota Tomohon, Jefferson Rumajar untuk memberikan opini Wajar dengan Pengecualian dalam laporan keuangan. Selain menerima pelicin untuk memberikan opini, baik Bahar dan Munzir juga mendapatkan fasilitas hotel dan sewa kendaraan yang diambil dari dana pemerintah kota Tomohon sebesar Rp7,5 juta. Pada September 2016, keduanya pun divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manado dengan 5 tahun 6 bulan kurungan dan denda Rp100 juta serta mewajibkan keduanya membayar uang pengganti Rp1,6 miliar.

Belakangan, di Pengadilan Tipikor Bandung, nama Dorlan Purba tercatat menerima suap sebesar Rp50 juta dari kasus korupsi penyalahgunaan anggaran pengelolaan dana kapitasi pada program jaminan sosial tahun anggaran 2014 Dinas Kesehatan Kabupaten Subang.

Kasus suap lebih besar yang menyeret auditor BPK diungkap KPK yakni dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. Uang suap dalam dalam proyek senilai Rp5,9 triliun tersebut juga diterima auditor BPK bernama Wulung. Ia kecipratan duit suap sebesar Rp80 juta untuk memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap pengelolaan keuangan Ditjen Dukcapil pada 2010.

Keterlibatan auditor BPK itu dalam kasus suap baru terlihat dalam surat dakwaan jaksa KPK terhadap dua terdakwa mantan pejabat di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto pada 9 Maret 2017. Kini suap itu kembali terulang, dan langsung dicokok KPK dalam Operasi Tangkap Tangan di Kantor BPK dan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).

Infografik Kasus Suap Auditor BPK

Buruknya Sistem Informasi BPK

Keterlibatan auditor BPK dalam pusara kasus suap itu pun membuat Indonesian Coruption Watch bersuara. Sehari, setelah KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan, lembaga nirlaba itu kemudian merilis temuan mereka. ICW mencatat, setidaknya, sepanjang 2005 hingga 2017, ada enam kasus suap melibatkan 23 auditor dan pejabat BPK.

Temuan mereka adalah, 3 kasus suap untuk mendapatkan Opini Wajar Tanpa Pengecualian, 1 kasus suap untuk mendapatkan Opini Wajar Dengan Pengecualian, 1 kasus suap untuk mengubah hasil temuan BPK dan 1 kasus suap untuk "membantu" kelancaran proses audit. Peneliti ICW Febri Hendri mengatakan, temuan ini pun membuka ada ketidaktegasan BPK terhadap auditornya ketika mereka terlibat aksi pidana. Ia menyebut, dari 23 auditor itu hanya lima orang yang diseret ke meja hijau.

“14 hanya dapat sanksi internal BPK dan 4 di antaranya masih dalam proses pengusutan,” kata Febri Hendri saat berbincang dengan Tirto, Senin (29/5/2017). Ia kemudian menegaskan, dari temuan ICW, kasus suap terjadi kebanyakan untuk membeli predikat WTP.

Pemberian predikat dalam audit laporan keuangan diberikan BPK itu pun kemudian menjadi lahan basah bagi auditor. Sebab kata Hendri, selain kebanyakan Kementerian atau Pemerintah Daerah berlomba-lomba mendapatkan opini WTP, predikat diberikan BPK itu juga bisa digunakan untuk pencitraan, misalnya, seolah-olah birokrasi mereka bersih dari korupsi. Padahal menurut Hendri, predikat opini WTP itu tidak serta merta kemudian membuat Kementerian atau Pemerintah Daerah terbebas dari korupsi.

“Mereka sering kali begitu ketika ada masyarakat mengkritik segala macam, mereka keluarkan predikat WTP,” tutur Febri. “Predikat WTP tidak serta merta institusi itu bebas dari korupsi.”

Ia kemudian kembali menjelaskan, tertangkapnya auditor BPK dalam operasi tangkap tangan dilakukan KPK, sejatinya membuka ada sistem informasi di lembaga itu yang tidak berjalan. “Nampaknya begitu, kalau ada Operasi Tangkap Tangan (OTT) seperti itu artinya luput dari pengawasan mereka,” ujarnya.

Moermahadi Soerja Djanegara, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan dalam keterangan persnya, sehari setelah penangkapan mengatakan, ia menyadari jika sistem penegakan lembaganya tak bisa memantau setiap auditor dalam menjalankan tugas mereka. Namun, ia mendukung proses penegakan hukum dilakukan KPK terhadap auditornya dan menjadikan pengungkapan kasus ini sebagai pelajaran. “Sistem tersebut tidak dapat memastikan atau memantau setiap individu di BPK, itu yang bisa saya sampaikan,” ujar Moermahadi.

Baca juga artikel terkait OTT KPK atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Hukum
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti