tirto.id - Ridha Irham, mahasiswa Universitas Almuslim Bireuen, lebih suka menggelar rapat rapat di kedai kopi. Ini bukan saja karena alasan kenyamanan tapi juga lantaran jika mahasiswa ingin rapat di kampus sampai malam mereka harus meminta surat izin dari pemuda setempat atau kepala kampong. Biasanya izin tak keluar.
Dengan rapat di kedai, maka aturan itu tak berlaku. Setidaknya batasan waktunya adalah sampai kedai tutup.
“Makanya kami rapat di luar. Jika pembahasan enggak selesai juga biasanya disambung di WhatsApp,” tutur Ridha kepada saya, Minggu (9/9/2018) lalu.
Usai Bupati Bireun Saifanur keluarkan aturan soal standardisasi warung kopi, kafe, dan restoran pada 30 Agustus lalu, Ridha sadar rapat di kedai akan sama ribetnya dengan rapat di kampus.
Dampak Ekonomi dan Citra Aceh
Dari empat belas poin standardisasi yang diteken Saifannur, poin 7 dan 13 yang paling ramai diperbincangkan. Poin 7 tertulis: “dilarang melayani pelanggan wanita di atas pukul 21.00 WIB kecuali bersama mahramnya.”
Sedangkan pada poin 13 diatur: “haram hukumnya laki-laki dan perempuan makan dan minum satu meja kecuali dengan mahramnya.”
Rustam Effendi, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala, mengatakan aturan itu akan berdampak buruk bagi iklim usaha, apalagi jika sampai disahkan dan ditambah sanksi yang mengikat.
“Overall pertumbuhan Aceh sangat lambat. Situasi inilah yang harus dibaca oleh pemimpin kita. Peraturan janganlah seketat itu supaya iklim ekonomi juga membaik,” ujar Rustam kepada Tirto, Minggu (10/9/2018). Ia ingin peraturan, apa pun jenisnya, tetap harus ramah dunia usaha.
“Lagipula di sana ada anak-anak kita yang bekerja, jika omzet usaha jatuh karena kebijakan ini akibatnya apa? Jadinya nanti makin menambah beban.”
Katanya, selain dampak ekonomi, peraturan tersebut akan merusak citra Aceh. “Image kita janganlah jadi wilayah yang menyeramkan. Saya sepakat jika peraturan Islam itu diterapkan dengan betul, tapi tetap peluang usaha harus kita bina. Kita jaga yang bagus.”
Diskriminasi Perempuan
Imbauan Bupati Saifannur memang diprotes banyak kalangan. Magdalena Sitorus, Komisioner Komnas Perempuan, menyampaikan bahwa imbauan tersebut membatasi gerak perempuan, hanya saja dikemas seakan-akan ingin melindungi mereka.
Kedai kopi adalah denyut nadi masyarakat Aceh, bahkan Banda Aceh dikenal sebagai kota seribu kedai kopi. Di sana terjadi banyak pertemuan, diskusi, dan bahkan perjanjian bisnis. Jika ada pembatasan, maka hal-hal positif ini akan jadi berkurang. Lagipula, kata Magdalena, jika perempuan bertemu dengan lelaki, belum tentu yang dibahas adalah hal-hal negatif.
“Apalagi sekarang perempuan sudah berada di ranah publik. Jika ada yang melakukan hal negatif kenapa di tempat umum? Bisa saja di tempat yang sepi,” jelas Magdalena kepada Tirto. Ia menambahkan bahwa ranah publik berarti wilayah untuk semua, baik laki-laki maupun perempuan.
Hingga saat ini belum ada aduan yang diterima Komnas Perempuan terkait imbauan tersebut. Namun, ujar Magdalena, mereka akan tetap menggagalkan imbauan itu. Mereka akan membahasnya pada rapat paripurna Komnas Perempuan pada Rabu, 12 september mendatang.
Dian Kartika Sari, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia juga berpendapat sama: aturan atau imbauan tersebut bersifat diskriminatif dan mengancam keberagaman. “Teman-teman di daerah sudah memprotes surat tersebut, namun pemerintah sampaikan bahwa itu adalah upaya menjaga perempuan.”
Dian ingin Kementerian Dalam Negeri menginstruksikan kepada pemerintah daerah, tak hanya Aceh, agar tidak membuat peraturan yang bersifat diskriminatif.
Jufliwan, Kepala Dinas Syariat Bireuen, sadar ada penolakan itu, dan dia menganggapnya wajar belaka. Kepada Tirto, dia menegaskan kembali kalau tujuan imbauan itu untuk “menjaga marwah perempuan.” Dia menyebut tuduhan imbauan ini diskriminatif sebagai “beda persepsi saja.”
“Ini masih berupa dakwah. Masalah ikut atau tidak itu terserah masyarakat. Sudah urusan dia dengan Allah,” katanya.
Meski begitu ia tetap tidak sepakat jika disebut kalau imbauan ini bakal bikin ekonomi makin lesu. Menurutnya justru yang terjadi bakal sebaliknya dengan memberi contoh sederhana: semisal biasanya seorang perempuan datang sendiri, jika dia tahu dan mau menaati aturan ini, maka yang datang jadi dua orang—perempuan dan pasangannya.
Semua kritik akan jadi bahan pembicaraan untuk menentukan apakah imbauan ini akan ditingkatkan jadi aturan hukum disertai sanksi atau tidak.
“Kami input dulu informasi dari masyarakat, bagaimana pro kontra yang terjadi. Setelah itu kami diskusikan dengan pimpinan, dengan tim kajian akademik, baru kemudian sampai ke DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh),” ujarnya.
Penulis: Rizky Ramadhan
Editor: Rio Apinino