tirto.id -
Hal tersebut terjadi karena jumlah petani yang mulai berkurang karena hasil panennya dihargai murah akibat oversupply.
"Kami khawatir banyak petani yang tidak lagi bertani karet, karena harga karetnya dibeli murah. Padahal kualitas karet Indonesia bagus. Saat ini harus ada cara dari pemerintah untuk mengoptimalkan penggunaan karet di dalam negeri," jelas dia di Menara Kadin, Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (20/1/2020).
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil karet terbesar di dunia dengan total produksi pada tahun 2019 mencapai 3,55 juta ton/tahun, dan luas seluruh area perkebunan karet di Indonesia mencapai 3,4 juta hektar.
Produksi karet nasional [lateks] dalam kurun waktu 5 tahun terakhir cukup besar yakni di atas 3,3 juta ton, sedangkan untuk harga karet dalam 5 tahun terakhir terus mengalami tekanan pada level yang dinilai tidak remunerative bagi produsen. Selain itu, daya serap karet (lateks) untuk industri ban hanya menyerap 70 persen dari kosumsi karet alam nasional.
"Kalau petani tidak mendapatkan kuntungan karena harga karet turun. Bisa saja petani karet beralih untuk bertani tanaman lainnya. Ujung-ujungnya impor ini yang kita takutkan," jelasnya.
Hal ini membuat karet indonesia mengalami oversupply dan produktivitas petani karet mengalami tren penurunan sejak 2017.
Indonesia kalah dibandingkan Vietnam yang saat ini ada di peringkat ke tiga dari total produksi karet dunia.
"Dulu Vietnam produksinya di bawah Indonesia, sekarang melesat di posisi tiga dari produksi dunia. Karena dia bisa menyerap hasil produksi karet secara optimal," kata Didiek.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana