tirto.id - Aparat Sipil Negara (ASN) masih saja dituding sebagai calo rente kekuasaan yang berujung pada tindak korupsi. Hal tersebut merujuk kepada kasus Bupati Klaten Sri Hartini tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (30/12/2016) lalu.
Dalam kasus itu, penyidik KPK mengamankan uang sebesar Rp80 juta dan uang senilai Rp2 Miliar dan sejumlah valuta asing dengan nilai 5.700 dollar AS dan 2.035 dollar Singapura yang ditemukan di meja kerja bupati.
Atas peristiwa itu, posisi ASN terbilang masih rentan terhadap kasus suap yang mengarah pada korupsi. Terkait dengan itu, KPK menyatakan, saat ini ada 10 provinsi yang menjadi zona merah praktik rente tersebut, yakni Banten, Papua, Papua Barat, Sumatera Utara, NTT, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah dan Riau.
Menurut Direktur Madrasah Anti Korupsi Pemuda Muhammadiyah Abdurahman Syahputra, faktor utama korupsi dikalangan ASN itu adalah pola rekruitmen promosi, rotasi dan mutasi yang salah.
"Penempatan ASN bukan karena kompetensi dan integritas. Tapi karena kedekatan personal dengan atasan. Kita bisa lihat kan ASN banyak ditangkap karena korupsi," jelas Abdurahman Syahputra dalam diskusi bertema Meretas Modus Plt Kepala Daerah untuk Rente Jabatan di Gedung DPP Muhammadiyah, Senin, (23/1/2017).
Abdurahman menilai, tertangkapnya ASN bukan kali pertama saja. Tercatat sudah ada banyak kasus yang menjerat ASN. Sebut saja Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Riau Annas Maamun, Bupati Buol, Sulawesi Tengah Amran Batalipu dan masih banyak kasus lain.
Hal tersebut dibenarkan oleh Ketua Indonesian Corruption Watch (ICW) Ade Irawan. Ade beranggapan bahwa pola, aktor dan harga dari sebuah perdagangan pengaruh masih ada di Indonesia.
Selama masih adanya peminatnya, kata dia, semakin besar pula peluang untuk menjualnya. Untuk mengatasi hal tersebut, menurutnya para ASN harus bisa menjaga perilakunya untuk tidak terjebak kepada perbuatan yang salah.
"Maka harus ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum atau Komisi Aparat Sipil Negara. Jual beli ini awal tertularnya birokrasi oleh korupsi. Menyebabkan langkah awal adanya mahar birokrasi kepada politisi," ungkap Ade.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR, Arteria Dahlan juga menyinggung ASN yang lebih mendahulukan kerabat dan orang terdekat. Ia menganggap pola lama yang telah terbentuk itu sulit untuk ditumpas. Padahal fungsi ASN yang semula disebut Pegawai Negeri Sipil harus ditingkatkan.
"ASN itu memiliki tanggungjawab lain sebagai agen pemerintah untuk menciptakan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Caranya dengan menolak suap, korupsi dan laporan keuangan dalam bentuk cyber public," tutur Arteria Dahlan.
Selain itu, Arteria juga mempertanyakan sepak terjang ICW dalam memantau kasus korupsi di Indonesia. Ia meyakini bahwa kinerja ICW hanya berani pada jajaran ASN di level rendah seperti Bupati dan Gubernur saja. Sementara, selama ini pantauaan ICW sulit menembus ASN di level kementerian.
Penulis: Dimeitry Marilyn
Editor: Alexander Haryanto