tirto.id - Dalam kehidupan sehari-hari, kasus pungli sudah kerap ditemui. Pungli bisa terjadi dimana saja, baik itu di jalanan, di dalam perusahaan maupun di sebuah instansi atau birokrat pemerintah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pungli merupakan akronim atau singkatan dari kata pungutan liar, tindakan meminta sesuatu berupa uang dan sebagainya kepada seseorang, lembaga atau perusahaan tanpa menuruti peraturan yang lazim.
PFA Bidang Investigasi, Moh Toha Solahuddin dalam majalah Paraikattemenjelaskan, pungutan liar sebagai salah satu perbuatan buruk yang sering dilakukan oleh seseorang, seperti pegawai negeri atau pejabat negara dengan cara meminta pembayaran sejumlah uang yang tidak sesuai peraturan terkait pembayaran tersebut.
Dalam hal ini, pungutan liar termasuk dalam kategori kejahatan jabatan yang konteknya mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan untuk memaksa seseorang agar memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran serta mengerjakan sesuatu yang menguntungkan diri sendiri.
Pada beberapa kasus, pungutan liar juga dapat berupa uang pelicin atau yang biasa disebut uang terima kasih, uang rokok, uang semir maupun uang kopi.
Praktek uang pelicin biasanya terjadi di instansi pemerintah pemberi pelayanan yang prosedurnya tidak transparan, berbelit-belit dan tidak ada kepastian dalam hal waktu penyelesaian. Alih-alih diperbaiki, kebiasaan ini sering kali dianggap sebagai hal wajar dan menjadi standar dari pelayanan yang tepat waktu.
Uang pelicin memang tidak menyebabkan kerugian negara secara langsung, hanya saja apabila praktik tersebut berlangsung dalam jangka lama, maka dapat merusak integritas dan mental para pegawai instansi pemerintah. Bahkan hal ini bisa menjadi langkah awal terjadinya tindak korupsi dalam birokrasi.
Hukum Pungli di Indonesia
Jauh sebelum masyarakat mengenal kata pungli, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengidentifikasi transaksi haram ini ke dalam beberapa istilah, seperti pemerasan (Pasal 368), gratifikasi / hadiah (Pasal 418) serta melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang (Pasal 23).
Pasal-pasal terkait pungutan liar tersebut diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999, yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 dalam pasal penerimaan hadiah (gratifikasi), isinya sebagai berikut.
• Pasal 12 huruf e berbunyi, Pegawai negeri / penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan / untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
• Pasal 12 huruf f, Pegawai negeri / penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri/ penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negara/ penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya. Padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
• Pasal 12 huruf g, Pegawai negara / penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima pekerjaan, atau penyerahan barang seolah-olah merupakan utang kepada dirinya. Padahal diketahui bahwa hal tersebut bukanlah utang.
• Pasal 12 huruf h, Pegawai negeri / penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan telah merugikan orang yang berhak. Padahal diketahui bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Para pelaku pungli atau pungutan liar lebih mudah dijerat dengan pasal gratifikasi yang meliputi 4 ayat diatas. Sebab asal usul uang gratifikasi (hadiah) tidak selalu merupakan ranah keuangan, dapat berupa uang pribadi atau uang dari pihak ketika. Sehingga akan lebih mudah untuk dibuktikan ketika berada di pengadilan.
Jika pelaku pungli didakwa dengan pasal suap menyuap (Pasal 5,6 dan 11), maka hakim penuntut umum akan kesulitan dalam membuktikan motif suap serta harus melakukan prosedur operasi tangkap tangan.
Begitu juga apabila pelaku pungli didakwa dengan pasal pengelapan dalam jabatan (Pasal 8,9 dan 10), maka penuntut umum akan kesulitan dalam pembuktian kerugian keuangan negara dalam hal uang yang digelapkan.
Faktor Penyebab Terjadinya Pungutan Liar
Segala tindakan pasti terjadi karna suatu alasan, begitu juga dengan terjadinya praktik pungutan liar di masyarakat. Secara umum praktik pungutan liar dapat terjadi karna beberapa sebab, antara lain.
1. Adanya ketidakpastian pelayanan sebagai akibat adanya prosedur pelayanan yang panjang dan melelahkan. Sehingga masyarakat memilih menyerah ketika berhadapan dengan pelayanan publik yang korup
2. Terjadi penyalahgunaan wewenang, jabatan atau kekuasaan yang ada/melekat pada seseorang
3. Faktor ekonomi, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup atau tidak sebanding dengan tugas/jabatan yang diemban, terkadang membuat seseorang terdorong untuk melakukan praktik pungli
4. Faktor kultural dan budaya organisasi yang membiasakan terjadinya tindak pungli serta penyuapan berjalan terus menerus di suatu lembaga.
5. Terbatasnya sumber daya manusia
6. Dan lemahnya sistem kontrol serta pengawasan atasan.
Ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk memberantas terjadinya praktik pungutan liar di masyarakat menurut Moh Toha Solahiddin dalam majalah Paraikatte, sebagai berikut:
• Meningkatkan pelayanan publik berupa memangkas waktu pelayanan, memangkas jalur birokrasi, memberlakukan sistem antri, memasang tarif yang sesuai dengan ketentuan pembayaran layanan serta transparan
• Mengedukasi masyarakat dalam bentuk kampanye publik untuk tidak memberi tips kepada petugas pelayanan dan mau mengantri dengan tertib dalam mendapatkan pelayanan
• Adanya inspeksi berkala dari pihak atasan/APIP dan sering melakukan kontrol secara langsung.
Penulis: Dewi Rukmini
Editor: Dipna Videlia Putsanra