tirto.id - Monster Mathematics, salah satu lukisan karya Deo Optimo Maximo Fatoni (9), lekat menggambarkan imajinasi si pelukis tentang matematika sebagai neraka. Inspirasi karya ini berasal dari anggapan bagi sebagian besar anak-anak betapa menyiksanya pelajaran matematika.
Lukisan ini menjadi salah satu karya yang dipamerkan di arena ARTJOG Kids dalam festival seni rupa kontemporer ARTJOG 2024. Arena ini menampilkan kreasi 36 seniman anak dan remaja terpilih dari 800 aplikasi melalui jalur panggilan terbuka.
Pelukis cilik lainnya, Elika Maulidia (11), mendapatkan inspirasi untuk Sarang Tawon dari hasil wawancara dengan komunitas Mandala Kadewaguruan. Dari situlah, ia mengerti beberapa anak seusianya berasal dari keluarga broken home, mengalami perundungan, dan selalu berpikir negatif.
Aktivitas sehari-hari yang Elika jalani dan teman-temannya alami tersebut kemudian dituangkan ke kanvas yang dibingkai kecil-kecil menyerupai sarang tawon. Kegiatan mereka semua yang serba aktif itu Elika analogikan seperti tawon yang selalu sibuk berdengung.
Berangkat dari tema utama ARTJOG Motif: Ramalan, setiap anak mencoba memaknai bagaimana masa lalu, masa kini, dan masa depan saling bertaut dengan perspektif masing-masing yang unik dan segar.
Terlepas dari batasan tema, ARTJOG utamanya ingin memfasilitasi seniman cilik untuk belajar berdialog dan bertukar gagasan tentang isu sosial dan budaya sehari-hari.
Ambil salah satunya Bumi, Sampah, dan Masa Depan karya grup seniman cilik Waton Mangkat. Kelompok yang terdiri atas enam anggota berusia 7 sampai 14 tahun ini berkolaborasi melukis kain batik untuk mencurahkan keprihatinan tentang isu manajemen sampah di Yogyakarta.
Melalui gambar monster sampah, polusi di langit, limbah di daratan dan laut biru, mereka berusaha menerjemahkan pertanyaan-pertanyaan seputar kelestarian lingkungan, “Bagaimana masa depan bumiku? Bagaimana kalau bumi rusak? Apakah kita harus pindah ke planet lain?”
Karya mereka menginspirasi seniman dalang Juang Perkasa untuk mementaskan pertunjukan wayang dengan tokoh hewan-hewan. Diiringi permainan alat musik drum dari Wasis Tanata, pertunjukan ini dinikmati dengan penuh antusiasme baik oleh pengunjung anak-anak dan orang tua dalam program di area ARTJOG Kids pada Minggu (7/7/2024).
Festival seni yang inklusif
Kurator ARTJOG Ignatia Nilu menerangkan, inisiatif menggandeng seniman cilik dan anak-anak penikmat seni tidak bisa dipisahkan dari konsep Arts in Common yang menjadi kerangka tema besar kuratorial ARTJOG pada 2019.
Konsep acara pada waktu itu, kata Nilu, sekaligus juga merupakan statement bagi ARTJOG untuk mengukuhkan diri sebagai perhelatan seni dengan format festival.
Sekian tahun berlangsung, ARTJOG kerap dilihat sebagai art fair, biennale, atau sekadar pameran seni rupa.
Nilu menuturkan, sebagai festival, ARTJOG perlu meningkatkan interaksi lebih luas dengan publik, termasuk menerima karya seni melalui panggilan terbuka dan memperkaya program dengan aneka ragam pertunjukan dan edukasi.
“Kita, sebagai festival, juga harus siap sebagai ruang yang inklusif,” tambah Nilu.
Awalnya, gagasan yang muncul adalah mempersiapkan infrastruktur yang ramah bagi pengunjung disabilitas. Desain ruang-ruang mulai diperbaiki, misalnya, dengan penambahan jalur khusus pemakai kursi roda.
Pekerja terlatih berseragam Pusat Layanan Disabilitas juga dipersiapkan berjaga di sejumlah titik untuk menyambut dan mendampingi pengunjung berkebutuhan khusus.
“Anak-anak butuh ruang di ARTJOG”
Selain pengunjung disabilitas, anak-anak juga menjadi perhatian Nilu dan tim kurator ARTJOG.
Nilu bercerita, dalam proses penjaringan karya seni melalui jalur panggilan terbuka, mereka tidak mematok kriteria umur dengan ketat, “Siapapun yang tertarik pada tema, maksimal berusia 35 tahun. Kami luput batas bawahnya belum ditentukan.”
Ketika membuka seleksi pada 2019 itulah, tim kurator menyadari tak sedikit seniman cilik yang turut mengirimkan karyanya.
“Anak-anak butuh ruang di ARTJOG,” aku Nilu.
Mula-mula, tim kurator menempatkan karya seniman cilik di dalam ruangan kecil. Dua tahun belakangan, barulah mereka memutuskan untuk memindahkan arena tersebut ke bangunan terpisah dari pameran utama.
“Karena karya yang dikerjakan anak-anak ini masih ‘murni’—dalam arti mereka berbicara ekspresi, passion mereka, apa yang mereka imajinasikan. Bahkan, bagi anak-anak, tema mungkin tidak jadi beban,” ungkap Nilu.
“Kami tidak mau mencemari [ekspresi anak] itu, menyandingkannya secara head to head dengan dunia pameran dewasa yang sedemikian profesional. Hal itu juga menimbulkan rasa kompetisi. Artinya, anak-anak bisa menjadi inferior, terbebani.”
Menempatkan karya seniman cilik dan dewasa di bangunan terpisah juga merupakan upaya ARTJOG untuk melembutkan kesan kontras yang tersemat di antara diksi anak-anak dan dewasa.
“Agar anak-anak ini merdeka, dan punya ruangnya sendiri,” pungkas Nilu.
ARTJOG berlangsung sampai 1 September 2024 di Jogja National Museum, Yogyakarta. Arena ARTJOG Kids menawarkan program pertunjukan untuk pemirsa anak-anak setiap Minggu sore yang jadwalnya bisa dicek di akun media sosial artjog.id.
Editor: Maya Saputri