tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menjadi Undang-Undang. Pengesahan tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-15 yang digelar pada Kamis (20/3/2025).
Ketua DPR RI, Puan Maharani, dalam pernyataannya sebelum pengesahan, menegaskan bahwa revisi UU TNI telah disusun dengan mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi, supremasi sipil, penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta selaras dengan ketentuan hukum internasional. Meski demikian, proses legislasi tersebut menuai kritik dari berbagai kalangan yang menilai prosedur pembahasannya tidak transparan dan terkesan tergesa-gesa.
“DPR bersama Pemerintah menegaskan bahwa perubahan undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia tetap berlandaskan pada nilai dan prinsip demokrasi supremasi sipil, hak asasi manusia serta memenuhi ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah disahkan,” ujar Puan dikutip dari situs PDI Perjuangan Jawa Timur (21/3/2025).
Sorotan utama publik tertuju pada lokasi pembahasan RUU yang tidak dilaksanakan di Kompleks Parlemen, melainkan di sebuah hotel berbintang lima, Fairmont Jakarta. Keputusan ini dinilai bertolak belakang dengan komitmen pemerintah yang tengah mengusung kebijakan efisiensi anggaran.
Selain itu, pembahasan revisi UU TNI yang bersifat tertutup, tanpa siaran langsung melalui TV Parlemen maupun kanal YouTube resmi DPR RI, semakin memperkuat dugaan bahwa proses legislasi ini mengabaikan prinsip keterbukaan dan partisipasi publik sebagaimana diamanatkan dalam asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Ketertutupan tersebut dinilai mencederai nilai-nilai demokrasi deliberatif, di mana masyarakat sipil seharusnya dilibatkan secara bermakna dalam proses perumusan kebijakan publik, khususnya yang berkaitan dengan sektor pertahanan dan keamanan negara.
Padahal, dalam negara demokrasi yang menjunjung supremasi sipil, keterlibatan publik merupakan prasyarat penting untuk memastikan akuntabilitas institusi militer.
Lebih lanjut, salah satu pasal krusial dalam revisi UU TNI yang memantik kekhawatiran publik adalah ketentuan Pasal 47 ayat (1). Dalam pasal tersebut, diatur bahwa prajurit aktif TNI dapat menduduki jabatan di 14 kementerian/lembaga negara di luar struktur militer.
Ketentuan ini memicu kekhawatiran akan kembalinya praktik dwifungsi ABRI yang selama era Orde Baru mendominasi ruang sipil dan politik, serta berpotensi menggerus prinsip supremasi sipil atas militer dalam tatanan negara demokrasi.
Pelibatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil berisiko menciptakan tumpang tindih kewenangan, mengaburkan batas antara otoritas sipil dan militer, serta membuka ruang bagi militerisme dalam kehidupan bernegara.
Kondisi ini dikhawatirkan dapat mengurangi kontrol sipil atas militer, yang merupakan salah satu prinsip fundamental dalam sistem demokrasi modern.
Hal ini mendorong masyarakat sipil menyerukan agar pemerintah dan DPR RI membuka ruang dialog yang lebih luas guna memastikan bahwa peran militer tetap berada dalam koridor pertahanan negara, tanpa campur tangan yang berlebihan dalam urusan sipil.
Dengan berbagai catatan tersebut, publik kini menaruh perhatian pada implementasi undang-undang ini, sekaligus menuntut adanya mekanisme pengawasan yang ketat demi mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan bahwa supremasi sipil tetap menjadi prinsip utama dalam tata kelola negara hukum demokratis.
Apa Itu Supremasi Sipil?
Supremasi sipil adalah prinsip fundamental dalam sistem demokrasi modern. Prinsip ini menegaskan bahwa kekuasaan politik tertinggi berada di tangan pemimpin sipil yang dipilih melalui proses pemilihan umum yang demokratis.
Dalam konteks ini, supremasi sipil menempatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di bawah kendali otoritas sipil, yaitu Presiden, selaku pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Prinsip ini diatur secara eksplisit dalam kerangka hukum nasional, khususnya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang berbunyi:
“Supremasi sipil adalah kekuasaan politik yang melekat pada pemimpin negara yang dipilih rakyat melalui pemilihan umum yang demokratis. Dalam hubungannya dengan TNI, supremasi sipil berarti bahwa institusi militer tunduk dan patuh terhadap setiap kebijakan serta keputusan politik yang ditetapkan oleh Presiden melalui mekanisme ketatanegaraan.”
Urgensi supremasi sipil dalam sistem politik demokratis tidak dapat diabaikan. Supremasi sipil berfungsi sebagai benteng untuk mencegah potensi dominasi militer dalam ranah sipil, termasuk pengambilan keputusan politik dan penyelenggaraan pemerintahan.
Kehadiran militer dalam ruang-ruang sipil secara berlebihan, tanpa legitimasi konstitusional yang kuat, juga mengindikasikan kemunduran demokrasi dan berpotensi menghambat pembangunan negara hukum yang sehat.
Sebagaimana dikutip dari Hukumonline (22/3/2025), dalam studi yang dilakukan oleh David Kuehn dan Aurel Croissant, berjudul Routes to Reform: Civil-Military Relations and Democracy in the Third Wave (2023), yang diterbitkan oleh Oxford University Press, ditegaskan bahwa tingkat kontrol sipil terhadap militer dianggap rendah apabila institusi militer mendominasi pengambilan keputusan atau pelaksanaan kebijakan di sektor-sektor yang sejatinya merupakan domain sipil.
Pandangan ini relevan dalam menganalisis dinamika hubungan sipil-militer di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Maka, teori yang dikemukakan Kuehn dan Croissant dapat menjadi landasan akademis penting untuk memahami polemik yang timbul pasca revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Salah satu isu utama yang mencuat dari revisi tersebut adalah perluasan kewenangan prajurit aktif TNI dalam menduduki jabatan sipil di berbagai kementerian dan lembaga negara.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat sipil mengenai potensi kembalinya dominasi militer dalam urusan sipil, yang berisiko menggerus prinsip supremasi sipil yang selama ini dijaga sejak reformasi bergulir.
Oleh karena itu, dalam menjaga keberlanjutan demokrasi di Indonesia, diperlukan komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan supremasi sipil tetap menjadi prinsip yang menjiwai sistem ketatanegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan.
Reformasi sektor pertahanan dan keamanan harus selalu diarahkan untuk memperkuat kontrol sipil yang demokratis, sekaligus menjaga profesionalisme militer sebagai alat pertahanan negara yang netral dan tunduk pada hukum.
Penulis: Febriyani Suryaningrum
Editor: Iswara N Raditya