tirto.id - Kata rakyat jelata mendadak menjadi perbincangan warganet, usai diksi tersebut digunakan Juru Bicara (Jubir) Kantor Kepresidenan (PCO) RI, Adita Irawati saat mengomentari kasus viralnya Miftah Maulana dengan seorang penjual es teh.
Pernyataan Adita bahkan membuatnya harus meminta maaf dan mengklarifikasi secara terbuka kepada publik. Pasalnya, kata rakyat jelata dinilai memiliki konotasi merendahkan. Video pernyataan maaf dan klarifikasi Adita juga ditayangkan melalui akun resmi media sosial Instagram PCO RI.
“Saya memahami diksi yang digunakan dianggap kurang tepat. Untuk itu, secara pribadi saya memohon maaf atas kejadian yang menimbulkan kontroversi di masyarakat,” kata Adita melalui IG @pco.ri, Kamis (5/12/2024).
Namun Adita menegaskan pembelaannya, bahwa menurut dia, kata ‘rakyat jelata’ itu tidak berkaitan dengan maksud merendahkan. Menurut dia, rakyat jelata sebenarnya memiliki arti rakyat biasa.
“Perlu saya sampaikan kejadian ini sama sekali tidak disengaja dan sangat mungkin terjadi karena adanya pergeseran makna pada diksi yang saya gunakan di era saat ini,” klarifikasi Adita.
“Saya menggunakan diksi tersebut sesuai arti dan makna yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang artinya adalah rakyat biasa, yaitu kita semuanya, rakyat Indonesia. Sekali lagi tidak ada maksud melemahkan atau merendahkan,” tambah Adita.
Apakah Kata "Rakyat Jelata" Termasuk Bahasa Kasar?
Rakyat biasa dalam KBBI merujuk pada arti rakyat biasa (bukan bangsawa, bukan hartawan), atau arti lainnya sebagai orang kebanyakan. Kata tersebut baru-baru ini dipermasalahkan, karena dinilai memiliki maksud merendahkan.
Adita Irawati dalam klasifikasinya, menggarisbawahi bahwa menurut dia kata ‘rakyat jelata’ tidak selalu berkonotasi negatif atau merendahkan. Adita melanjutkan, bahwa maksud merendahkan di kata ‘rakyat jelata’ dipengaruhi pergeseran makna. Benarkah demikian?
Untuk memahami sanggahan Adita, perlu sejenak memahami ilmu linguistik atau ilmu yang mempelajari bahasa. Wendi Widya Ratna Dewi (2009) menjelaskan kata seiring perkembangan zaman, mengalami perubahan makna. Seperti misalnya, sastra yang memiliki makna ‘tulisan atau huruf’, kemudian seiring perubahan zaman menjadi diartikan sebagai ‘buku’.
Perubahan makna kata, sebut Wendi (2009) diakibatkan sejumlah faktor, seperti perkembangan ilmu dan teknologi, perkembangan sosial dan budaya, perbedaan bidang pemakaian, adanya asosiasi, pertukaran tanggapan indera, perbedaan tanggapan, adanya penyingkatan, proses gramatikal, serta perkembangan istilah.
Lebih jauh, fenomena perubahan makna dalam konteks kata ‘rakyat jelata’ bisa diklasifikasikan sebagai ‘peyoratif (penurunan makna)’ dan ‘amelioratif (peninggian)’. Wendi (2009) menjelaskan peyoratif atau peyorasi merupakan perubahan makna yang mengakibatkan makna baru dirasakan lebih rendah, kurang/baik/kurang halus/kurang menyenangkan nilainya, daripada makna lama (semula).
Sebagai contoh, kata ‘bini’ dalam perkembangannya memiliki makna lebih rendah dari istri dan nyonya, meski kata yang sudah disebutkan tadi merujuk pada arti yang serupa. Dalam konteks lain, rakyat jelata juga dianggap lebih rendah daripada persamaannya seperti rakyat biasa atau rakyat kebanyakan.
Sebaliknya, perubahan makna bisa disebabkan ‘ameliorasi’ atau perubahan makna kata mengakibatkan makna yang baru lebih tinggi nilainya dari makna lama.
Penulis: Dicky Setyawan
Editor: Dipna Videlia Putsanra