Menuju konten utama
Kasus Salah Tangkap 2013:

Arsul Sani Persilakan Korban Salah Tangkap Mengadu ke DPR

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mempersilakan Andro dan Nurdin, pengamen korban salah tangkap kasus pembunuhan  Diki Maulana di Cipulir, Tangerang Selatan 2013 mengadu ke DPR.

Arsul Sani Persilakan Korban Salah Tangkap Mengadu ke DPR
Ilustrasi anak dan hukum. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Arsul Sani mempersilakan Andro dan Nurdin, korban salah tangkap yang berujung penyiksaan terkait kasus pembunuhan tahun 2013 mengadu ke DPR.

"Sampaikan kepada masyarakat kalau ada problem-problem seperti itu belum selesai, dia bisa mengadu ke DPR," kata Arsul di Cikini, Jakarta Pusat pada Rabu (17/7/2019).

Arsul mengatakan, nanti pihaknya bisa mengundang kedua korban ke rapat dengar pendapat umum. Di sana para wakil rakyat akan mendengar duduk perkara yang menimpa dua anak tersebut.

Arsul sendiri menilai, urusan salah tangkap dan skema ganti rugi oleh negara harus diatur. Menurutnya, hal itu akan dimasukkan dalam revisi KUHAP mendatang.

"Itu hal-hal yang harus dalam pengawasan. Itu yang harus kita bereskan nanti di revisi KUHAP mendatang," ujarnya.

Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta melayangkan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

LBH menuntut agar Majelis Hakim menghukum Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terkait kasus penangkapan hingga penyiksaan dua anak Andro dan Nurdin. Keduanya sempat menjadi terdakwa kasus pembunuhan Diki Maulana di Cipulir, Tangerang Selatan. Tetapi akhirnya diketahui kalau keduanya tidak bersalah.

"[Menuntut] untuk meminta maaf dan menyatakan mereka telah melakukan salah tangkap, salah proses, dan penyiksaan terhadap para anak-anak pengamen Cipulir, dan memerintahkan negara [Kementerian Keuangan Republik Indonesia] untuk memberikan ganti rugi materiel dan imateriel terhadap anak-anak yang kini sudah dewasa tersebut," tegas pengacara anak-anak tersebut, Okywiratama, dalam keterangan tertulis pada Rabu (17/7/2019).

Dalam gugatan ini, pihak kuasa hukum menuntut ganti rugi Rp750,9 juta. Nilai tersebut dihitung dari ganti rugi materiel senilai Rp662,4 juta dan imateriel senilai Rp88,5 juta.

Kasus ini sendiri bermula kala Anak-anak pengamen Cipulir, yakni Fikri (17), Fatahillah (12), Ucok (13), Pau (16)) ditangkap oleh Unit Kejahatan dengan Kekerasan (Jatanras) Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya pada Juli 2013. Mereka dituduh membunuh sesama pengamen anak bermotif berebut lapak mengamen.

"Tanpa bukti yang sah secara hukum mereka, kemudian ditangkap dan dipaksa mengaku dengan cara disiksa semasa berada di dalam tahanan Kepolisian. Dengan bermodalkan pengakuan dan ”skenario" rekayasa hasil penyiksaan, mereka kemudian diajukan ke pengadilan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sehingga harus merasakan dinginnya jeruji penjara sejak masih kanak-kanak," jelas pengacara publik LBH Jakarta Nelson Nikodemus

Perkara itu bergulir hingga tingkat kasasi. Akhirnya majelis hakim MA memutus mereka tidak bersalah oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.

"Total, mereka sudah mendekam di penjara selama 3 tahun atas perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan, ditambah mereka hanyalah anak-anak yang dengan teganya disiksa oleh Kepolisian dengan cara disetrum, dipukuli, ditendang, dan berbagai cara penyiksaan lainnya," ungkap Okywiratama.

Dalam pertimbangannya MA menyatakan ”Bahwa alasan penyiksaan, tidak ada pendampingan Penasihat Hukum sehingga keterangan tersebut terpaksa dikarang dan tidak sesuai dengan fakta dapat dibenarkan karena Para Terpidana masih anak-anak yang gampang untuk ditakut-takuti dan tidak ada saksi lain yang mendengar sendiri, melihat sendiri, atau merasakan sendiri pada saat kejadian. Oleh karena itu, tidak diperoleh bukti yang cukup untuk menyatakan Para Terpidana sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan terhadap korban”.

Baca juga artikel terkait KASUS PEMBUNUHAN atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno