tirto.id - Pada Kamis (21/03/2019), Presiden Amerika Serikat Donald Trump melontarkan cuitan kontroversial melalui akun Twitter resminya: "Setelah 52 tahun kini saatnya untuk Amerika Serikat mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan, yang penting bagi strategi dan keamanan Israel serta kestabilan kawasan.”
Cuitan Trump dengan segera meramaikan jagat politik global. Dan kurang satu minggu, ia pun merealisasikan cuitannya tersebut dengan menandatangani dokumen proklamasi yang memuat pengakuan AS atas kedaulatan Israel di Dataran Tinggi Golan. Hal tersebut dilakukan Trump di Gedung Putih dengan turut didampingi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada Senin (25/3). Ia juga kembali mengumumkannya lewat Twitter.
"Hari ini, saya merasa terhormat dapat menyambut Perdana Menteri Netanyahu dari Israel di Gedung Putih, saat saya menandatangani Proklamasi Presiden mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan.”
Netanyahu, yang tampak amat senang dengan hal tersebut, segera memuji Trump dan mengatakan bahwa yang dilakukan Presiden AS tersebut merupakan momentum sejarah.
"Keputusan Anda untuk mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan sangat bersejarah. Pengakuan ini adalah keadilan bersejarah yang berlipat ganda. Israel memenangkan wilayah Dataran Tinggi Golan dalam perang pertahanan diri dan akar rakyat Yahudi di Golan sudah ada sejak ribuan tahun."
Sikap Trump terkait dukungan tersebut dengan segera menuai kecaman dari berbagai negara. Demikian pula Dewan Keamanan PBB (DK PBB). Kendati Israel memang menduduki Dataran Tinggi Golan dari Suriah dalam Perang Enam Hari pada 1967 silam dan menganeksasi wilayah tersebut secara efektif pada 1981, komunitas internasional tidak pernah benar-benar mengakuinya.
Arab Saudi, misalnya, dengan tegas menentang sikap Trump karena dianggap telah melanggar hukum internasional, serta piagam dan resolusi PBB. "Arab Saudi menyatakan menolak keras dan mengecam pemerintah AS yang mengakui kedaulatan Israel wilayah pendudukan Dataran Tinggi Golan. Ini akan berdampak negatif terhadap proses perdamaian dan keamanan serta kestabilan wilayah Timur Tengah," demikian pernyataan resmi Kerajaan Arab Saudi.
Pemerintah Suriah juga menyebut bahwa pengakuan Washington terhadap klaim Israel atas Dataran Tinggi Golan menunjukkan betapa AS sesungguhnya telah melakukan serangan kepada kedaulatan mereka sebagai sebuah bangsa. "Dalam serangan terang-terangan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial Suriah, presiden AS telah mengakui aneksasi Golan Suriah," kata sumber kementerian luar negeri Suriah.
Sementara Rusia, melalui Menteri Luar Negeri Maria Zakharova, memperingatkan kemungkinan kehadiran gelombang baru ketegangan di Timur Tengah pasca AS mendeklarasikan dukungan tersebut. "(Keputusan AS) mengabaikan semua prosedur internasional. Sayangnya, ini dapat menimbulkan gelombang baru ketegangan di kawasan Timur Tengah," ujar Zakharova.
Pemerintah Indonesia sendiri juga dengan tegas menyatakan penolakan terkait dukungan AS terhadap Israel. "Indonesia menolak secara tegas adanya pengakuan kepada Daratan Tinggi Golan sebagai bagian dari Israel. Pengakuan ini tidak kondusif bagi upaya penciptaan perdamaian dan stabilitas kawasan. Indonesia tetap mengakui Dataran tinggi Golan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari wilayah kedaulatan Republik Suriah, yang saat ini diduduki Israel pasca perang 1967,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri dari laman resmi mereka.
Apa yang dilakukan Trump sebetulnya tidak terlalu mengejutkan. Sejak beberapa waktu sebelumnya, ia juga telah menunjukkan berbagai dukungan kepada Israel. Mulai dari mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat ke Tel Aviv, serta memangkas bantuan kepada para pengungsi Palestina.
Sengketa Dataran Tinggi Golan dalam Perang Enam Hari
Dataran Tinggi Golan merupakan wilayah yang memiliki luas sekitar 800 km persegi yang terletak di perbatasan Israel dan Suriah. Jumlah penduduk yang tinggal di sana tak lebih dari 50.000 orang atau kurang dari 1 persen dari total jumlah penduduk Israel yang berjumlah 8,5 juta orang. Dibandingkan dengan tempat-tempat lain di perbatasan Israel, Dataran Tinggi Golan relatif lebih tenang. Dengan komposisi geografis yang demikian, tak heran jika Dataran Tinggi Golan menjadi wilayah militer strategis.
Mayoritas penduduk yang mendiami Dataran Tinggi Golan merupakan Yahudi-Israel. Lainnya termasuk ke dalam komunitas Druze--sebuah sekte keagamaan yang kerap disebut sebagai cabang dari Islam Ismaili. Selama sekian dekade, warga Druze selalu menolak memperoleh kewarganegaraan Israel dan lebih memilih mempertahankan hubungan yang kuat dengan Suriah.
Ketika Perang Enam Hari yang terjadi pada 5-10 Juni 1967, Dataran Tinggi Golan (bersama wilayah Palestina lain yang tersisa seperti Tepi Barat, Yerussalem bagian timur, Jalur Gaza, hingga Semenanjung Sinai), turut dicaplok Israel sebagai bagian dari misi mewujudkan “Negara Yahudi”. Sebanyak 750.000 orang Palestina juga diusir dari perkampungan tempat tinggal mereka.
Seturut laporan Zena Tahhan dari Al Jazeera, Perang Enam Hari sangat terpolarisasi, kendati tetap ada sejumlah faktor penting yang bisa dilacak dari beberapa sumber sejarah. Misalnya bentrokan antara warga Israel dengan warga Suriah dan Yordania yang eskalasinya menjadi masif setelah terus-menerus dipanaskan oleh warga Palestina yang ingin kembali ke tanah asalnya sejak Negara Israel didirikan.
Pada 5 Juni 1967, Israel meluncurkan serangan tak terduga ke pangkalan udara Mesir di Sinai dan Terusan Suez sehingga menghancurkan pesawat-pesawat yang sedang diparkir. Sebanyak 90 persen wilayah musnah jadi arang. Pada malam harinya, Israel turut menginvasi Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, juga pangkalan udara Suriah. Sejak ini, Perang Enam Hari pun dimulai dan dimenangkan oleh Israel di hari pertama.
Di hari kedua, pasukan Israel bertempur melawan Yordania untuk memperebutkan Yerussalem timur (yang saat itu dikuasai oleh Yordania). Keesokan harinya, komandan militer Israel, Moshe Dayan, memerintahkan pasukannya untuk merebut Kota Lama yang berada di bawah Yerussalem timur. PBB sempat menyerukan kedua pihak untuk gencatan senjata. Namun, diplomat Israel dikabarkan meminta bantuan AS agar gencatan senjata itu ditunda. Upaya tersebut berhasil dan pada 7 Juni 1967, tentara Israel sukses membersihkan Kota Lama dari kontrol tentara Yordania.
Memasuki tanggal 9 Juni, Israel mulai menyerang Dataran Tinggi Golan di Suriah dan sukses direbut pada keesokan harinya. Karena situasi kian parah lantaran jarak area tersebut cukup dekat dengan ibukota Damaskus, Mesir dan Israel sepakat menandatangani gencatan senjata di hari yang sama. Sedangkan dengan Suriah, gencatan senjata baru diresmikan dua hari setelahnya atau pada tanggal 11 Juni. Kedua kesepakatan tersebut cukup untuk menghentikan Perang Enam Hari.
Memasuki tahun 1981, Israel mengeluarkan hukum yang secara efektif berhasil menganeksasi Dataran Tinggi Gola. Akan tetapi, hal tersebut tidak pernah diakui oleh komunitas internasional. Resolusi DK PBB tahun itu menyebutkan bahwa “keputusan Israel untuk memberlakukan hukum, yurisdiksi, dan administrasi di Dataran Tinggi Golan Suriah yang diduduki, tidak dianggap sah dan tidak memiliki efek hukum internasional.”
Arogansi Teritorial dari Sikap Buruk Trump
Pada Oktober 2018 lalu, pihak Israel, Suriah, dan PBB sepakat untuk membuka kembali persimpangan Quneitra yang berada tepat di tepi perbatasan Dataran Tinggi Golan dan Suriah.
Berdasarkan pernyataan Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley, pembukaan kembali persimpangan Quneitra "akan memudahkan tim bantuan kemanusiaan PBB dalam melaksanakan tugasnya di kawasan sekitar Dataran Tinggi Golan." Dan tak sampai satu tahun kesepakatan itu dilakukan, Trump telah menunjukkan hal sebaliknya.
Edward Goldberg, seorang profesor di Center for Global Affairs, Universitas New York, menilai arogansi Trump dalam mendukung Israel dan dengan semena-mena mengabaikan piagam PBB akan menjadi preseden buruk bagi wilayah manapun yang terancam secara geografis. Dilansir Quartz, Goldberg mengatakan:
"Ini menjadi preseden yang mengerikan. Jika AS sebagai ‘polisi’ tidak mengakui hukum internasional, lalu siapa yang melakukannya? Bagaimana jika besok Cina melakukannya kepada Taiwan, atau Pakistan ke Kashmir? Bukankah itu hal yang sama?”
Goldberg benar. Beijing menganggap Taiwan sebagai bagian dari Cina, terlepas dari kenyataan bahwa negara kepulauan itu memiliki penduduk asli, memerintah sendiri, dan telah melakukan pemilihan demokratis yang independen sejak 1990-an. Sementara itu, wilayah Kashmir juga telah diperebutkan India dan Pakistan selama lebih dari 70 tahun.
Tercatat dua kali India dan Pakistan berperang guna mendapatkan wilayah yang terletak di sekitar pegunungan Himalaya itu, yakni pada Perang India-Pakistan pada 1947 dan pada 1999 dalam Perang Kargil. Belum pula ditambah dengan berbagai bentrokan lain yang terjadi pada 1965, 1971, dan 1984.
Dalam perang yang pertama tahun 1947, pemimpin Kashmir saat itu yang beragama Hindu, Maharaja Hari Singh, cenderung menginginkan wilayahnya bergabung dengan India, kendati mayoritas warganya Muslim. Dia bahkan menandatangani perjanjian aksesi dan menyerahkan Kashmir ke India pada 26 Oktober 1947.
Pakistan kemudian membujuk Hari Singh untuk bergabung dengan negaranya, bahkan sampai mengirim sejumlah kelompok suku Muslim ke ibu kota Kashmir, Srinagar. Hari Singh yang menganggap langkah Pakistan sebagai ancaman lantas meminta bantuan militer kepada pemerintah India. Sejak itu, perang antara India dan Pakistan terus bergulir selama dua tahun.
Pada 14 Februari 2019 lalu, situasi terkait perebutan Kashmir kembali memanas setelah terjadi serangan bom bunuh diri yang menghantam iring-iringan personel paramiliter India hingga menewaskan 40 orang. India segera menyalahkan Pakistan atas serangan yang diklaim dilakukan kekompok militan Jaish-e-Mohammad (JeM) itu. Berselang 11 hari kemudian, India meluncurkan serangkaian serangan udara ke wilayah Kashmir yang diklaim berhasil menewaskan ratusan militan.
Hingga kini, konflik kedua negara tersebut masih bergulir.
Editor: Maulida Sri Handayani