tirto.id - Wacana Kesultanan Majapahit disebut oleh penulisnya, Herman Sinung Janutama dan Tim Kajian Kesultanan Majapahit bentukan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta, telah melalui kajian dan riset. Mereka mengklaim kajian Kesultanan Majapahit mau membalik historiografi akademis, menerapkan kritik metodologi disertai sederet bukti.
Namun, bagi kalangan arkeolog, klaim Kesultanan Majapahit hanyalah spekulasi yang asal comot bukti. Arkeolog senior Universitas Gadjah Mada (UGM), Daud Aris Tanudirjo menyimpulkan kajian ini merupakan pesudo-science.
“Seolah-olah ilmiah saja, itu jelas pseudo-science. Sejak 2011, saya sudah mendengar wacana ini dan sering saya jelaskan kelemahannya di kelas-kelas mahasiswa,” kata Daud kepada Tirto pada Minggu malam (18/6).
Tirto mencatat kajian pseudo-science selama ini bertebaran dalam banyak klaim yang sepintas berasa ilmiah tapi daftar kesalahannya panjang, sekaligus kerap membuat geli banyak orang. Misalnya, “mazhab” bumi datar hingga UFO yang rajin mengintai dan menyambangi planet manusia.
Sedangkan menurut Daud, wacana pseudo-science mirip, yang sama-sama diklaim ilmiah dengan dalih membuat teori baru, seperti kajian Borobudur dibuat Nabi Sulaiman. Klaim lain yang hingga kini dipercaya sebagian besar publik Indonesia ialah saat Muhammad Yamin berulah memungut patung tanah dan menyebutnya sebagai bentuk rupa Maha Patih Gadjah Mada.
Baca: Klarifikasi Soal Gaj Ahmada dan Verifikasi Klaim Kesultanan Majapahit
“Cirinya semua sama, unsur ideologisnya mendominasi kajian sehingga mengambil bukti secara parsial,” kata Daud. “Mereka ambil bukti secara parsial saja, yang (dianggap) mendukung ideologinya. Padahal, banyak sekali prasasti menyebut Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha, termasuk ratusan candi.”
Karena itu, Daud menilai kajian tentang klaim Kesultanan Majapahit memiliki dasar kesimpulan yang lemah. Kajian ini mengabaikan banyak bukti lain yang tak mendukung kesimpulan penelitinya. “Makanya tidak objektif dalam membaca bukti,” katanya.
Daud membenarkan di Museum Trowulan memang ada kepeng emas bertuliskan lafaz, “La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah”. Tapi kepeng lain bertuliskan huruf Cina dan Jawa juga banyak. Ia mengamini bukti di makam Maulana Malik Ibrahim menunjukkan tokoh ini punya pengaruh penting di Majapahit.
Akan tetapi, Daud mengatakan bukti-bukti itu hanya menunjukkan adanya komunitas muslim di Majapahit. “Tapi tidak bisa membuktikan Majapahit adalah Kasultanan Islam,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Itu justru bukti Majapahit adalah kerajaan yang mendukung masyarakat multikultural. Bukti ada (unsur) tradisi demokratis saat itu.”
Menurut Daud, banyak catatan kuno menyebut, di masa kejayaan Majapahit, sudah banyak bangsawan dari kalangan muslim, Arab, Asia Selatan, dan Cina. Ada juga bangsawan Cina muslim. Penguasa Majapahit menghormati mereka sebagaimana bangsawan Hindu dan Buddha.
“Ma Huan mencatat itu saat mengikuti ekspedisi Panglima Cheng Ho. Bukti bahwa penguasa Majapahit saat itu tidak memerintah berdasar agama dan menghormati pemeluk agama lain,” katanya.
Terakhir, Daud mengatakan kelemahan paling fatal dari kajian Kesultanan Majapahit adalah tidak menerapkan metode kritik sumber. Akibatnya, semua bukti yang mendukung mudah diambil meskipun validitasnya lemah.
Ia mencontohkan, cerita lisan tidak bisa asal dijadikan dasar bukti sebab pemaknaannya sangat relatif. “Apa jaminan cerita dari orang pertama masih menyampaikan pesan serupa ke pendengar yang kesepuluh?”
Baca: Memahami Metode Sejarah Lisan dalam Polemik Gaj Ahmada
Amsal lain, Daud menambahkan, data silsilah dan naskah kuno terkesan begitu saja dipakai sebagai dasar kesimpulan oleh para pengkaji Kesultanan Majapahit. Padahal, banyak keraton menyusun data silsilah rajanya yang merunut hingga jajaran para nabi, termasuk Adam dan Hawa, demi memperoleh legitimasi kekuasaan.
“Demikian pula naskah kuno, tak dilacak kapan pembuatannya dan untuk apa disusun. Semestinya ada kritik sumber dulu. Hal ini tak dilakukan sebab sejak awal sudah ada motif (mencari bukti pembenaran),” kata Daud.
=======
Ralat: Dalam judul artikel sebelumnya, ditulis "antropolog". Ini keliru. Semestinya arkeolog sebagaimana tercantum dalam badan naskah.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Zen RS