Menuju konten utama

Aristides Katoppo, Jurnalis yang Kerap "Merongrong" Orde Baru

"Selain dengan niat, nalar, dan nurani, jurnalis juga harus punya nyali mengungkapkan sebuah kebenaran...," ujar Aristides.

Aristides Katoppo, Jurnalis yang Kerap
Header Mozaik Aristides Katoppo. tirto.id/Ecun

tirto.id - "Penyiaran angka-angka RAPBN itu merupakan pelanggaran besar yang seharusnya ditindak," ujar Ali Moertopo, Asisten Pribadi Soeharto, menanggapi pemberitaan Sinar Harapan bertajuk “Anggaran ‘73-’74 Rp. 826 milyard” yang terbit pada 30 Desember 1972.

Menurutnya, Sinar Harapan telah melanggar kode etik jurnalistik karena membeberkan informasi dan rahasia negara.

Surat kabar yang terbit setiap sore ini lantas mendapatkan status pemberedelannya sesuai SK No. Kep.--001/PK/1/1973 yang ditandatangani Mayjen Poniman selaku Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda) Jakarta saat itu.

Sebelumnya, Soedharmono S.H, Sekretaris Kabinet memang mengadakan pertemuan dengan sejumlah wartawan istana dan sedikit menyinggung mengenai RAPBN 1973/1974. Saat itu, beberapa jurnalis mendapatkan informasi mengenai angka-angka yang akan masuk ke dalam RAPBN.

Soedharmono kemudian memberi pesan bahwa informasinya tidak boleh bocor dan disiarkan media mana pun sebelum Presiden Soeharto mengumumkannya di DPR pada 8 Januari 1973.

Aristides Katoppo, pimpinan redaksi Sinar Harapan bergeming bahwa anak buahnya tidak mendapat pesan seperti yang disampaikan Sekretaris Kabinet. Karena itulah ia mengizinkan berita tersebut untuk dimuat.

"Kami memuatnya sebagai berita gembira, sebab walaupun ada krisis beras, ada kesulitan-kesulitan mendapatkan bantuan IGGI, pemerintah masih tetap tepat waktu menyusun rencana anggaran itu," tukasnya seperti dilansir majalah Tempo dalam rubrik “Priiit Untuk Sinar Harapan” edisi 6 Januari 1973.

Sepuluh hari kemudian, Sinar Harapan diizinkan kembali terbit tanpa alasan maupun penjelasan dari pemerintah.

Pemberedelan tersebut merupakan salah satu rangkaian panjang bagaimana media massa menjadi batu sandungan bagi pihak-pihak yang tengah berkuasa. Rintangan terjal yang juga harus ditempuh oleh pimpinan redaksi dan awak media sebagaimana perjalanan seorang Aristides Katoppo.

Didukung Lingkungan Terpelajar

Saat masih kecil, Aristides Katoppo sudah belajar mencintai alam dan lingkungan sekitar. Tomohon, Minahasa, tempat ia lahir dan tumbuh merupakan daerah yang subur karena dikelilingi tiga gunung aktif, deretan sungai, dan danau-danau yang memikat.

Menginjak usia lima tahun, keluarganya mengungsi ke pergunungan dampak dari Perang Dunia II yang sedang berkecamuk. Di sana ia mulai akrab dengan berbagai keragaman hayati yang ada di hutan dan pergunungan.

Modal itulah yang menjadikannya begitu kritis terhadap isu-isu lingkungan dan mengantarkannya turut mendirikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada tahun 1980.

Ia lahir pada tanggal 14 Maret 1938 dengan nama Elvianus Albert Aristides Katoppo. Ayahnya, Evianus Katoppo, adalah seorang pejuang, penyusun naskah penyempurnaan ejaan bahasa Indonesia, dan tokoh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Selain itu, ayahnya pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Agama di era Republik Indonesia Serikat (RIS).

Ibunya, Agnes Rumokoij, juga merupakan penganut Protestan yang taat hingga memengaruhi perjalanan batinnya.

Sejak kecil, Aristides dan saudara-saudaranya sudah memiliki kegemaran membaca.

Marianne Katoppo, adiknya, menjadi novelis produktif pada pertengahan 1970-an. Begitu juga adiknya yang lain, Yossie Katoppo, mengikuti jejaknya sebagai wartawan di Sinar Harapan. Sementara kakaknya, Pericles Katoppo, punya profesi yang sama dan pernah menjadi wartawan Associated Press serta tokoh penting di LAI.

Aristides menyukai tantangan-tantangan baru seperti yang dilakukannya saat masih mengenyam pendidikan SMA dan bolos berbulan-bulan untuk bertualang di kapal-kapal laut tujuan Ambon, Makassar, dan Surabaya.

Teman-temannya memanggil Tides sebagai sapaan akrab, diambil dari bahasa Yunani yang berarti “orang terbaik yang ditawarkan umat manusia”.

Ketika kuliah di Jurusan Publisistik Hukum, dia turut membangun dan mengembangkan Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI). Bersama Soe Hok Gie, Herman Lantang, dan Rudi Badil, mereka rutin menjelajah puncak-puncak gunung seperti Semeru, Pangrango, dan Ceremai.

Perannya juga sangat penting ketika melakukan evakuasi jenazah Soe Hok Gie yang meninggal di Gunung Semeru akibat menghirup gas racun.

Simbol Perlawanan Pers Terhadap Orde Baru

Pada masa Orde Baru, kontrol pemerintah terhadap pers dilakukan dengan berbagai cara, seperti penerbitan izin, penataran jurnalistik melalui lembaga Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), hingga pencekalan terhadap pemberitaan tertentu.

Ishadi SK dalam Media dan Kekuasaan: Televisi di Akhir-akhir Presiden Soeharto (2014 hal.139) menulis bagaimana pemerintah mengintervensi media yang dianggap melanggar kode etik melalui beberapa tahap, mulai dari teguran lisan, peringatan tertulis, hingga pencabutan izin terbit.

Teguran lisan dilakukan melalui telepon yang dilanjutkan dengan pemanggilan oleh Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah), Koramil (Komando Rayon Militer), Dirjen Pers Radio dan Cetak, sampai ABRI dan Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) secara rutin.

“Ancaman yang paling ditakuti adalah pembredelan dengan pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP),” lanjut Ishak.

Warsa 1978, saat Soeharto mencalonkan kembali sebagai presiden, sejumlah mahasiswa melakukan unjuk rasa penolakan yang banyak dimuat di beberapa media seperti Kompas, Sinar Harapan, Pelita, Merdeka, The Indonesia Times, Pos Sore, dan delapan koran lainnya.

Akibatnya, mereka diberedel. Izin terbit kembali diberikan setelah empat belas surat kabar tersebut meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya di masa yang akan datang.

Karier Tides dimulai sebagai redaktur muda Kantor Berita Biro Pers Indonesia tahun 1957-1958 dan langsung mencuri perhatian publik saat memberitakan Peristiwa Cikini soal percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno pada Juli 1957.

Salah satu puncak kariernya terjadi tahun 1964 ketika menjadi wartawan lepas untuk surat kabar The New York Times. Pemberitaannya mengenai surat khusus dari orang nomor satu di AS, John F. Kennedy, untuk Presiden Sukarno menjadi liputan utama koran yang berbasis di New York tersebut.

Tulisannya menyebar ke berbagai penjuru dunia karena banyak dikutip oleh media-media lain. Ia mendapatkan surat secara eksklusif dari Jaksa Agung AS, Robert (Bob) Kennedy, yang tengah berkunjung ke Jakarta pada Januari 1964.

Surat John F. Kennedy kepada Sukarno berisi tentang penanganan Irian Barat. AS menawarkan bantuan untuk menengahi perundingan dengan Belanda. Selain itu, AS juga menyarankan Indonesia agar tidak menggunakan senjata buatan Uni Soviet.

Saat itu ia sudah bergabung dan turut mendirikan Sinar Harapan sejak 1961. Tulisannya mengenai surat itu juga dimuat di koran yang bermoto “Memperjuangkan kemerdekaan, keadilan, kebenaran, dan perdamaian berdasarkan kasih” tersebut.

Sinar Harapan hadir di tengah pembaca menggantikan dua koran sore sebelumnya, Keng Po dan Pos Indonesia, yang bernasib nahas karena tidak sejalan dengan politik Sukarno.

Oplahnya terus meningkat seiring pemberitaan yang dianggap berani memainkan isu-isu sosial politik. Terlebih ketika memasuki tahun 1970-an, pemberitaan tentang korupsi dan nepotisme di kalangan istana banyak dimuat dalam tajuk utama.

Kolom-kolom seputar korupsi jajaran Pertamina yang melibatkan nama-nama dekat Soeharto menyebabkan demonstrasi mahasiswa untuk pertama kalinya sejak Orde Baru mengambil alih kekuasaan.

Kemudian dibentuklah Komisi Empat yang diwakili beberapa partai politik dan kalangan akademisi untuk menggali fakta dan temuan-temuan yang nantinya dilaporkan kepada pemerintah.

Sinar Harapan memuat laporan dan temuan Komisi Empat yang membuat Soeharto naik pitam.

Tahun 1971, Sinar Harapan terancam tutup karena memberitakan kericuhan dan intimidasi yang dilakukan Golkar yang saat itu masih berstatus organisasi kemasyarakatan saat melakukan kampanye di beberapa daerah.

Padahal saat itu adalah minggu tenang, semua media diharapkan tidak memuat isu dan pemberitaan yang mengarah ke provokasi menjelang pemilu yang akan dilangsungkan pada 5 Juli 1971.

Dua tahun kemudian, Sinar Harapan diberedel karena meliput anggaran RAPBN 1973/1974.

Akibatnya, Aristides dipaksa mundur dari Sinar Harapan dan bersedia untuk tidak aktif dalam dunia pers selama lima tahun.

Kembali dari “Pengasingan”

Tides kemudian meninggalkan tanah air menuju Amerika Serikat dan melanjutkan pendidikannya di Stanford University, namun tidak selesai. Ia akhirnya menamatkan pendidikan di Harvard University Center for International Affairs sekitar tahun 1975.

Setelah masa “pengasingan” berakhir, ia pulang ke tanah air, lalu ditunjuk sebagai dosen jurnalistik di Jurusan Komunikasi FISIP UI.

Pemerintah Orde Baru masih memantaunya agar ia tidak kembali ke Sinar Harapan.

Tahun 1976, ia mendapatkan rangkaian teror mengerikan ketika diculik dan diisolasi di tempat yang diyakini menjadi basis interogasi untuk para tahanan yang terlibat G30S.

“Anak-anak kamu kan tiap hari menyeberang di Jalan Pegangsaan untuk berangkat atau pulang sekolah. Di situ kan ramai sekali. Sesuatu juga bisa terjadi terhadap anak Anda,” ujar pejabat intel yang menginterogasinya sebagaimana dikutip Ishadi SK dalam Media dan Kekuasaan: Televisi di Akhir-akhir Presiden Soeharto (2014 hal.144).

Ancaman yang melibatkan keluarga tidak menyurutkan langkahnya mengungkap kebenaran dengan caranya sendiri.

H.G. Rorimpandey saat itu memimpin Sinar Harapan dengan berbagai kemajuan di lingkup manajemennya. Oplahnya juga sudah mencapai 250 ribu eksemplar dengan jumlah karyawan 451 orang yang dimanjakan dengan berbagai fasilitas terbaik di masa itu.

Seturut catatan Historia, Tides berada di belakang layar Sinar Harapan dengan memberikan ilmu dan pengalamannya kepada para awak media. Ia mengkader mereka untuk tetap menyampaikan kebenaran sesuai nurani dan tidak takut untuk bersuara lantang.

Panda Nababan bisa dikatakan salah satu anak asuhnya yang terbaik karena mampu mengadaptasi keahlian Tides lewat berita investigasinya yang khas.

Sinar Harapan, meski ditinggalkan Tides, tetap memberitakan isu-isu sosial politik yang cukup panas. Puncaknya adalah ketika surat kabar tersebut memuat berita seputar Penembakan Misterius (Petrus) yang saat itu marak terjadi di berbagai wilayah.

Infografik Mozaik Aristides Katoppo

Infografik Mozaik Aristides Katoppo. tirto.id/Ecun

Awalnya sebagian besar masyarakat dan media mendukung kebijakan Petrus untuk menekan tingkat kejahatan yang meresahkan.

Tetapi lama-lama kebijakan ini menimbulkan masalah baru karena banyak laporan orang hilang secara misterius yang diakronimkan saat itu dengan Hilarius dan banyaknya orang meninggal di tempat-tempat tertentu secara mengenaskan, dikenal dengan istilah Matius atau mati secara misterius.

Laporan-laporan tersebut menjadi bahan Sinar Harapan untuk dijadikan tajuk utama.

Pemerintah tak tinggal diam ketika Rorimpandey enggan berkompromi. Surat kabar sore itu kemudian ditutup permanen tahun 1986, tepat di masa kejayaan sebagai “Raja Koran Sore” mencapai puncaknya.

Reputasi dan Sumbangsihnya Bagi Pers Nasional

Tak lama setelah Tempo, DeTik, dan Editor dicabut izinnya tahun 1994, bersama rekan-rekan wartawan senior lainnya, ia turut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk menentang kebijakan pemberedelan.

Di tahun yang sama, bersama Fikri Jufri, Ashadi Siregar, Goenawan Mohamad, ia mendirikan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan diangkat sebagai Dewan Pengurus untuk menampung rekan-rekan wartawan yang kehilangan pekerjaan akibat pemberedelan.

Ceramah dan dialognya di media dan kampus-kampus juga turut menyumbangkan pandangan baru kepada para mahasiswa dalam upaya menggulingkan Soeharto tahun 1998.

Sebelum meninggal pada 29 September 2019, ia sempat melakukan napak tilas ke Gunung Semeru untuk menengok jejak dan petilasan terakhir sahabatnya, Soe Hok Gie.

Dalam sebuah wawancara, Tides menyebut bahwa jurnalis harus memegang prinsip dengan temuan fakta, berimbang, dan verifikasi sebelum memublikasikan berita.

"Selain dengan niat, nalar, dan nurani, jurnalis juga harus punya nyali mengungkapkan sebuah kebenaran...," tandasnya.

Baca juga artikel terkait ARISTIDES KATOPPO atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi