tirto.id - Gereja merupakan tempat favorit Nina Simone saat ia masih kecil dan menyandang nama Eunice Kathleen Waymon. Keluarga Nina tergolong keluarga religius. Kedua orang tuanya merupakan pendeta yang selalu mengajarkan bagaimana hidup harus punya martabat dan tak lupa bekerja keras.
Selain memperoleh ajaran Injil, di gereja Nina juga memperlihatkan bakatnya sebagai musisi jempolan dengan bermain piano begitu piawai, sejak usianya masih belia. Dari sinilah, kelak, Nina membangun reputasinya: penyanyi-pianis gospel, soul, jazz, folk, blues━Anda bisa sebut salah satu di antaranya━yang dahsyat.
Nina lahir dan tumbuh besar di North Carolina. Ketertarikannya pada musik berasal dari kegiatan ibadah yang dilakukan di gereja tempat sang ibu berdakwah. Nina lalu belajar musik klasik dengan perempuan Inggris bernama Muriel Mazzanovich, mengulik komposisi Bach, Chopin, Brahms, Beethoven, hingga Schubert.
Seiring bertambahnya usia, minat Nina akan musik kian membesar. Setelah lulus SMA, berbekal uang tabungan, Nina mendaftar ke Juilliard School of Music di New York, sebelum akhirnya pindah haluan ke Curtis Institute of Music di Philadelphia yang prestisius itu. Sayang, mimpi Nina kandas karena kampus menolak proposalnya hanya karena ia kulit hitam.
Untuk bertahan hidup dan merawat mimpinya, Nina bekerja sebagai guru musik. Namun, penghasilannya dari mengajar tak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Nina lantas mencari peruntungan lain dengan mengikuti audisi penyanyi di Midtown Bar & Grill, Pacific Avenue, Atlantic City. Nina pun berhasil lolos seleksi. Di fase inilah nama “Nina Simone” muncul. Nama “Nina” diambil dari bahasa Spanyol yang berarti “kecil”, sementara “Simone” merujuk pada aktris kelahiran Jerman, Simone Signoret.
Perlahan, mengutip biografi I Put A Spell On You (2003), karier Nina mulai terbangun. Ia dikenal sebagai penyanyi cum pianis yang mampu menguasai komposisi Gershwin, Cole Porter, hingga Richard Rodgers dengan begitu baik. Di saat bersamaan, Nina bisa memadukan jazz, blues, dan musik klasik sehingga membentuk senyawa yang padat lagi bergizi.
Kekuatan itulah yang menarik perhatian para pemilik label di wilayah Pantai Timur. Menjelang akhir 1950-an, Bethlehem Records, label yang berfokus pada langgam jazz, sepakat merekrutnya. Bersama Bethlehem, Nina masih memainkan repertoar dari musisi lain macam Billie Holiday, Nate King Cole, Count Basie, sampai Woody Herman.
Kesuksesan Nina datang tatkala ia bergabung dengan label Colpix pada dekade 1960-an. Lagu-lagu yang ia bawakan ulang seperti “Trouble in Mind”, “Cotton Eyed Joe”, “The Other Woman”, sampai “Black Is the Color of My True Love’s Hair” laris manis di pasaran. Nina juga berkesempatan tampil di festival jazz bergengsi, Newport.
Pencapaian Nina seolah tak bisa dihentikan kala ia pindah ke RCA Records pada 1967. Selama tujuh tahun bersama RCA, sinar Nina kian menyala terang. Album dan lagunya tak sekadar populer di Abang Sam, tetapi juga menyebar hingga daratan Eropa. Gaya musikalitasnya pun turut berkembang dengan memainkan pula ragam folk.
Selepas masa kontraknya di RCA habis, Nina lebih banyak menghabiskan waktu di Eropa━Inggris, Perancis, Belgia, Swiss, sampai Belanda. Di tengah usianya yang tak lagi muda, Nina sesekali masih merekam album maupun menghadiri konser-konser dengan intensitas yang terbatas. Hingga pada akhirnya, tepat hari ini 15 tahun silam, Nina menghembuskan nafas terakhir di Carry-le-Rout, Bouches-du-Rhone.
Untuknya, Elton John menuliskan pesan: “Kamu yang terhebat dan aku mencintaimu.”
Aktivisme Nina
Yang bikin nama Nina abadi, selain kemampuannya mengolah nada dan harmoni, ialah aktivismenya dalam memperjuangkan hak-hak sipil kulit hitam. Keterlibatan Nina dalam aktivisme politik tidak lahir dari ruang kosong. Nina tumbuh pada masa di mana segrerasi rasial menjadi penyakit di kehidupan sosial masyarakat AS.
Nina mengalami langsung keganasan rasisme. Ia, misalnya, tidak diizinkan untuk menggunakan kamar mandi yang disediakan khusus orang-orang kulit putih. Yang paling mengenaskan tentu kala ia ditolak masuk Curtis karena faktor ras.
Akan tetapi, tak ada yang bikin Nina muak selain pembunuhan seorang kulit hitam bernama Medgar Evers di Jackson, Mississippi, serta pengeboman gereja di Birmingham, Alabama, yang menewaskan empat gadis kulit hitam━keduanya terjadi pada 1963.
Saking muaknya, sebagaimana ditulis A. Loudermilk dalam “Nina Simone & the Civil Rights Movement: Protest at Her Piano, Audience at Her Feet” yang dipublikasikan Journal of International Women’s Studies (2013, PDF), Nina sempat berpikir untuk menghabisi orang-orang kulit putih dengan peluru. Namun, ide yang brutal ini kemudian ditentang oleh suaminya, Andy Stroud. Alih-alih melampiaskannya dengan amarah, Stroud meminta Nina membikin lagu perlawanan.
Maka, dari situ, jadilah lagu berjudul “Mississippi Goddam” yang lantang mengkritik tentang supremasi kulit putih, budaya patriarki, hingga liberalisme━tiga hal yang menurut Nina menjadi biang keladi rasisme.
Semenjak saat itu, lagu-lagu Nina jadi politis. Nina, tulis Loudermilk, menggunakan lagu sebagai simbol perjuangan. Ia mempolitisasi amarah dengan begitu cerdas. Anda bisa mendengarkannya lewat “To Be Young, Gifted and Black”, “Backlash Blues” (dengan liriknya yang tajam, “You raise my taxes, freeze my wages. And send my son to Vietnam”), hingga “Four Women”.
Dari lagu, aktivisme Nina dituangkan juga dengan turun ke jalan. Mengutip tulisan Claudia Roth Pierpont berjudul “A Raised Voice: How Nina Simone Turned the Movement into Music” yang dipublikasikan The New Yorker (2014), Nina beberapa kali terlihat ikut demonstrasi menentang diskriminasi terhadap kulit hitam. Misalnya saja ketika Nina bergabung dalam pawai di Montgomery, Alabama, pada Maret 1965 yang dihadiri tiga ribu orang lebih. Lewat kampanye ini pula Nina dapat berkenalan dengan Martin Luther King Jr., aktivis kulit hitam yang legendaris.
Perlawanan Nina tak selamanya adem ayem. Dalam satu dan sekian banyak kesempatan, suaranya sering kali dibungkam, seperti yang terjadi kala lagu “Four Women” dicekal di beberapa stasiun radio di New York dan Philadelphia karena justru dianggap menghina perempuan kulit hitam━meskipun pada akhirnya larangan ini dicabut.
Namun, memasuki 1970-an, mengutip BBC, kondisi Nina memburuk. Ia mengidap skizofrenia, siklotimia, dan depresi yang tak berkesudahan. Ketergantungannya terhadap alkohol membikin keadaan dirinya kian tak karuan.
Keadaan tersebut membuat perjalanan karier musiknya berantakan. Nina, ambil contoh, kerap meninggalkan panggung sebelum waktunya selesai. Ia beberapa kali juga terekam menghina penonton. Tak ketinggalan, Nina pernah pula mengancam supir taksi di Spanyol dengan pisau tanpa alasan yang jelas.
Perjalanan Nina memang tak sempurna. Tapi, itu bukan alasan bagi publik untuk tidak menjaga warisannya. Musik Nina lantas menjadi inspirasi bagi musisi era sekarang, dari Jay-Z sampai Kanye West.
Membicarakan Nina adalah membicarakan bagaimana musisi menjadikan musik tak sekadar jalan hidup, melainkan juga sebagai peluru perlawanan. Karya-karya Nina tak sebatas berkutat pada cinta yang universal, tetapi menyentil pula dengan keras tentang keadilan dan kesetaraan. Lagu-lagunya punya resonansi politik yang kuat, di samping tetap menyimpan sisi personal yang mendalam.
Pada akhirnya, Nina adalah salah satu musisi besar yang pernah dilahirkan Amerika. Ia sudah jadi ikon yang menggunakan bakatnya untuk menggebrak tatanan yang dipenuhi kesemrawutan. Musik Nina merupakan musik yang membebaskan.
“Aku beritahu kamu apa arti kebebasan bagiku: tidak perlu takut,” kata Nina.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti