tirto.id - Membahas David Bowie tentu tak bisa dilepaskan dari kiprah album-albumnya. Memilih album mana yang paling bagus dan bernilai merupakan perkara sulit jika tak ingin dikata mustahil. Alasannya sederhana: Bowie tidak pernah membuat album jelek.
Tiap album Bowie menyimpan karakter tersendiri yang menggambarkan betapa atraktifnya ia sebagai seorang musisi. Bowie selalu menemukan jalan baru saat hendak membuat album. Kendati begitu, terdapat album yang menjadi momentum bagaimana perjalanan musik—dan hidup—Bowie berubah, yakni Berlin Trilogy.
Cerita bermula pada 1976 saat album Stasion to Stasion miliknya rilis ke pasaran. Album tersebut banyak dipuji sebab selain mampu meneruskan capaian The Rise and Fall of Ziggy Stardust and the Spiders from Mars (1972) dan Aladdin Sane (1973), juga berhasil meninggalkan konstruksi musikalitas bagi generasi Britpop beberapa dekade setelahnya yang digawangi Morrissey dan kroco-kroconya.
Kesuksesan memang diraih Bowie, tapi harus dicatat pula, ketika album Stasion to Stasion keluar, kehidupannya berantakan. Ketergantungannya terhadap kokain mencapai fase tertinggi, kondisi psikologisnya kacau dan berada di titik nadir, serta ia menjadi headline pemberitaan media-media lokal karena dianggap pro-fasis. Di balik segala hiruk pikuk popularitas dan jebret kamera juru warta, Bowie sebetulnya sedang mengalami kehancuran mental yang luar biasa.
Guna menyingkirkan segala prahara dalam dirinya, ia memutuskan pindah ke Berlin. Dibantu asisten pribadinya, Coco Schwab, Bowie menemukan apartemen di kawasan Berlin Schoneberg yang rindang. Suasana Berlin kala itu tidak sama seperti sekarang. Sisa-sisa kekalahan Jerman pada Perang Dunia II masih terasa; gedung-gedung rusak hingga kesepian menjalar di penjuru kawasan karena setengah populasi kota melarikan diri dari agresi lawan. Ditambah, Berlin terbagi jadi dua kekuasaan; Barat dan Timur.
The Guardian menyatakan, Bowie mendapati dirinya berada di sebuah kota yang mirip dengan keadaannya; panik, hancur, serta dihantui masa lalu dan masa kini. Di kota yang dulunya satu, bintang pop terbesar mencoba “memisahkan rintangan buatannya sendiri.”
Masa-masa awal ia tinggal di Berlin tidak berjalan mulus. Bowie masih suka berkeliling kota tak jelas, mabuk di klub setempat, dan terjaga semalam suntuk. Pernah suatu waktu, ia mengendari mobil bersama kawannya, Iggy Pop, di parkiran hotel. Mobil ia kendarai dengan kecepatan 70 mil per jam sembari berteriak ingin mengakhiri semuanya sampai bensin dalam mobil habis.
Untungnya Bowie memiliki Coco yang setia menemani dirinya berproses di Berlin. Coco, seperti diceritakan The Guardian, melakukan sejumlah cara untuk membantu Bowie ‘sembuh’ seperti dengan mengajak Bowie mengunjungi Museum Brucke guna melihat karya pelukis macam Ernst Ludwig Kirchner, Kathe Kollwitz, dan Erich Heckel sampai membacakan naskah-naskah filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche. Tujuannya Coco melakukan itu cuma satu: menangkap perasaan fana dalam imajinasi Bowie dan membuatnya lebih realistis.
Seiring waktu, pikiran dan hidup Bowie mulai tertata. Ia perlahan mampu menghilangkan ketergantungan kokain, menemukan jalan keluar atas kehidupannya yang berlebihan, dan menjadikan dirinya sebagai “orang biasa.” Bowie, di saat bersamaan, sadar bahwa tujuannya ke Berlin bukan hanya menenangkan pikiran atau memperoleh cara baru dalam membuat musik, melainkan juga kembali ke pribadinya sendiri.
Bowie lalu mengambil keputusan besar dalam karirnya: ia tak perlu lagi karakter alter-ego macam Ziggy Stardust untuk menyanyikan sebuah lagu. Ia lantas membuang semua alat peraga, kostum, dan pelbagai set panggung yang selama ini jadi ciri khas maupun daya tariknya. Sebagai gantinya, Bowie memilih mengenakan kemeja biasa dan celana longgar.
Di tengah fase hidupnya yang baru itu, Bowie mulai menikmati perjalanan di Berlin. Jauh dari perhatian dan keramaian, ia mengisi waktu dengan melukis, membaca, dan membuat beberapa fondasi musik baru. Untuk pertama kali dalam beberapa tahun, Bowie merasakan “kegembiraan hidup serta penyembuhan yang hebat.”
Baca juga:Bagaimana Rezim Konservatif di Inggris Melahirkan Musik Shoegaze?
Musim panas 1977 menjadi titik balik Bowie. Ia kembali berkarya dengan menggandeng kawan karibnya, Tony Viscoti dan Brian Eno. Album yang dibuat berjudul Low—bagian pertama dari Berlin Trilogy. Menurut Uncut, Low merupakan kepanjangan tangan dari Station to Station tapi lebih terdengar sembrono, yang berkisah tentang isolasinya di Berlin hingga bagaimana ia tampil perdana tanpa embel-embel karakter Ziggy Stardust.
Lewat Low, Bowie ingin menyampaikan emosi yang sudah dibangunnya melalui bahasa dan suara. Ada sedikit rapalan harap yang digaungkan Bowie kepada pendengar agar, setidaknya sekali lagi, memberikan kepercayaan kepadanya selepas serangkaian momentum buruk di masa-masa awal karir. Terpenting, album Low adalah cara Bowie menunjukkan pada dunia bahwa riwayatnya belum tamat.
Sembilan bulan usai Low rilis, Bowie kembali menelurkan album, Heroes. Keseluruhan materi album ini dibuat di studio yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari Tembok Berlin, dengan sekali proses perekaman. Walaupun begitu, Heroes memperlihatkan bakat dan sinar Bowie sebagai penulis lagu yang visioner.
Salah satu buktinya adalah balada “Heroes.” Lagu tersebut berangkat dari gambaran sederhana: Bowie melihat Viscoti memeluk seorang perempuan di luar studio. Dari situ, Bowie kemudian mengubahnya menjadi kisah yang lebih universal; tentang bagaimana Tembok Berlin memisahkan dua orang kekasih. Satu di Jerman Barat, satu di Jerman Timur.
Coba simak saja liriknya: “I, I will be king/And you, you will be queen/Though nothing will drive them away/ We can beat them, just for one day/We can be Heroes, just for one day.” Seketika, “Heroes” menjadi anthem untuk masyarakat Jerman baik yang berada di Barat maupun di Timur. Bowie dianggap pahlawan mereka sebab mampu menyalurkan emosi dalam kata-kata, lewat permadani nada yang syahdu dan menggugah perasaan, serta memberikan kekuatan cita tentang keinginan untuk meleburkan tembok pemisah.