tirto.id - Beredar sebuah pesan berantai yang menyebut bahwa virus COVID-19 yang sudah bermutasi memiliki gejala-gejala unik, tidak menimbulkan panas tetapi menyerang langsung ke paru-paru pasien.
Disebutkan juga bahwa tes-tes yang ada saat ini seperti swab antigen dan swab PCR tidak dapat mendeteksi virus varian baru tersebut.
Satgas COVID-19 dengan tegas mengatakan bahwa faktanya informasi tersebut belum terbukti kebenarannya. Melansir laman Satgas COVID-19 hingga saat ini belum ada bukti ilmiah terkait gejala baru pada virus COVID-19 yang sudah bermutasi.
Menurut Dokter Spesialis Penyakit Dalam, RA Adaninggar, virus COVID-19 memang telah bermutasi dan lebih menular tetapi gejalanya masih sama. Hingga saat ini pun varian virus COVID-19 masih bisa terdeteksi PCR.
Satgas COVID-19 pun meminta masyarakat untuk lebih berhati-hati dengan informasi terkait kesehatan yang beredar tidak melalui kanal-kanal resmi, seperti postingan di media sosial atau broadcast pesan di aplikasi chatting. Jika mendapatkan informasi yang belum jelas kebenarannya, Anda bisa melakukan pengecekan dengan cara berikut,
Cara cek kebenaran sebuah informasi
1. Kirim pesan WhatsApp ke Chatbot Mafindo ke nomor 085921600500
2. Cek di situs Kementerian Kominfo di https://komin.fo/inihoaks atau https://turnbackhoax.id dan https://cekfakta.com.
3. Cek dan buktikan hoaks terkait COVID-19, kunjungi https://s.id/infovaksin
Varian baru COVID-19 tiga kali lipat lebih cepat menular
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengemukakan varian baru SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 yang teridentifikasi di Indonesia memiliki laju penularan yang lebih cepat hingga tiga kali lipat lebih bila dibandingkan dengan virus serupa yang sudah lebih dulu ada.
"Laju penularannya sekitar 3,35 kali lipat dibandingkan target kita yang seharusnya kurang dari 0,9 atau paling tinggi 1 kali lipat kalau ingin mendefinisikan kasus itu tidak menular secara berat," katanya dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dan dipantau secara virtual di Jakarta, melansir Antara, Kamis (27/5/2021).
Menurut Dante, analisis tersebut diketahui berdasarkan pengamatan Kementerian Kesehatan atas kasus yang terjadi di Cilacap, Jawa Tengah.
Pada Selasa (25/5/2021), petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas II-A Cilacap melakukan pemeriksaan kekarantinaan kesehatan terhadap 20 anak buah kapal (ABK) saat berlabuh usai melakukan perjalanan dari India.
"Dari 20 ABK , kami periksa skrining genomik. Ternyata, ada 14 kasus mutasi virus yang menular pada 31 tenaga kesehatan. Ini memperlihatkan bagaimana agresifnya penularan dari virus yang masuk dalam klasifikasi Variant of Concern (VoC) WHO kepada orang lain," katanya.
Menurutnya, dari 31 kasus penularan yang dialami tenaga kesehatan kemudian dilakukan pelacakan kasus kepada keluarga mereka dan ditemukan 12 kasus penularan lainnya.
"Meski tenaga kesehatan saat kontak dengan ABK sudah pakai alat pelindung diri (APD), kita tracing lagi dari keluarga kemudian ketemu 12 kasus lagi," katanya.
Pelacakan pun berlanjut pada kejadian kontak dari keluarga tenaga kesehatan, hingga ditemukan kembali enam kasus lainnya.
Dante mengatakan semua virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 secara kecerdasan biologis membuat perubahan untuk bermutasi supaya mereka tetap bisa hidup.
Dante mengatakan VoC adalah beberapa kasus mutasi yang dilaporkan bermula dari Inggris, India dan Afrika Selatan lalu diidentifikasi di Indonesia.
"Kita harus ada gerakan antisipasi supaya perubahan secara endogen tidak berpengaruh pada penyebaran kasus. Peningkatan kasus adalah kombinasi mobilisasi penduduk dan perubahan pola varian kasus secara mutasi," katanya.
Dante mengatakan Indonesia sedang meningkatkan aktivitas surveilans genomik dalam upaya mendeteksi dini mutasi virus. Sampai saat ini, kata Dante, sudah diperiksa sebanyak 1.744 sampel di seluruh Indonesia.
"Seluruh daerah wajib mengumpulkan lima dampai sepuluh sampel setiap pekan. Kita periksa dan lihat berapa jumlah VOC," katanya.
Dari data tersebut, kata Dante, akan dilakukan pelacakan yang spesifik saat ditemukan mutasi VoC asal India, Inggris dan Afrika Selatan.
"Dari hasil evaluasi, ada 54 kasus mutasi yang terjadi di Indonesia, 35 kasus di antaranya VoC berasal dari luar Indonesia dan 19 di antaranya tidak ada kontak dengan Indonesia. Artinya tidak ada penyebaran kontaminasi lokal di Indonesia untuk VoC yang terjadi secara mutasi," katanya.
Editor: Agung DH