tirto.id - Jelang tutup tahun, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sempat menguat. Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) mencatat, nilai tukar mata uang per 31 Desember 2018 menguat 0,42 persen ke posisi Rp14.481 per dolar AS dibanding sebelumnya di level Rp14.542 per dolar AS.
Meski menguat di akhir tahun, rupiah sepanjang tahun masih dalam posisi melemah terhadap dolar AS. Bank Indonesia (BI) mencatat secara year to date (ytd) sejak Januari-Desember 2018, rupiah di kurs acuan terdepresiasi 6,48 persen. Sedangkan di pasar spot, rupiah melemah 6,46 persen dan ditutup di level Rp14.448 per dolar AS per 31 Desember 2018.
Saat ini kurs rupiah malah lebih kuat dari proyeksi pemerintah dalam asumsi APBN 2019. Asumsi kurs rupiah sempat dipatok Rp14.400 per dolar AS, sebelum akhirnya direvisi menjadi Rp15.000 per dolar AS pada akhir Oktober tahun lalu. Asumsi jauh lebih pesimistis dibandingkan dengan asumsi APBN 2018 di level Rp13.400 per dolar AS. Asumsi kurs rupiah 2019 merupakan level terendah setidaknya sejak 2009.
Nasib Rupiah pada 2019
BI memprediksi kurs rupiah pada 2019 berada di kisaran Rp14.300-Rp14.700 per dolar AS. Hal tersebut disampaikan Perry Warjiyo di hadapan anggota Komisi XI DPR. Gubernur BI itu menjelaskan, proyeksi angka itu diperoleh dengan melihat kondisi nilai tukar rupiah pada awal September 2018. Perry memperkirakan pada 2019 merupakan puncak bagi bank sentral untuk menaikkan suku bunga.
“Kami memperkirakan volatilitas nilai tukar pada 2019 dapat lebih rendah dibanding 2018,” ujar Perry di hadapan anggota Komisi XI DPR.
Proyeksi rupiah bakal menguat pada 2019 salah satunya didorong oleh pengurangan impor dengan pemberlakuan kebijakan mandatori B20 di seluruh sektor. Kewajiban mencampur 20 persen biodiesel dengan 80 persen bahan bakar jenis solar, bisa menekan angka impor minyak mentah dan menggantinya dengan penggunaan konten lokal.
Dengan begitu, neraca perdagangan dapat mengarah pada pengurangan importasi dan permintaan dolar AS dapat menurun, sehingga rupiah dapat menguat. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah bisa berkurang sekaligus mengurangi defisit transaksi berjalan.
“Misalkan untuk kebijakan B20 bisa menurunkan impor $2,2 miliar. Dengan begitu bisa mengurangi impor minyak $6 miliar. Belum lagi tambahan ekspor CPO, kurang lebih itu bisa menurunkan total defisit transaksi berjalan sampai dengan $9 miliar-$10 miliar,” sebut Perry.
Langkah pemerintah membatasi impor 900 komoditas dan mengkaji ulang target sejumlah proyek infrastruktur dapat berdampak pada pengurangan defisit transaksi berjalan di 2019. “Karena defisit transaksi berjalan lebih rendah, maka tekanan terhadap mata uang rupiah juga lebih rendah,” ucap Perry.
BI sebagai penjaga gawang moneter tentu akan merilis pernyataan yang menyejukkan dengan rasa optimistis. Namun, perlu diingat, tekanan terhadap rupiah tak hanya dari faktor internal saja, tapi bisa juga dipicu kuat oleh sentimen dari luar negeri atau faktor eksternal terutama kebijakan Amerika Serikat (AS).
Faktor Eksternal dan Internal
Faktor eksternal berupa kenaikan tingkat suku bunga federal yang dilakukan bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) yang diproyeksikan tidak seagresif tahun 2018, juga bisa meringankan tekanan terhadap rupiah. Dengan perkiraan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) sebanyak dua kali di tahun 2019, angka kenaikan berpeluang tidak signifikan.
Bank sentral Indonesia akan terus memantau kenaikan FFR di 2019. Jika FFR naik lebih dari 50 persen, maka BI akan mempersiapkan sejak dini dalam merumuskan kebijakan suku bunga acuan 7 Day Repo Rate (7DRR). Artinya, BI akan mencoba memberikan respons cepat, bahkan sebelum The Fed benar-benar naik.
“Kami tidak menunggu sampai FFR naik, tapi kami mendahului responsnya. Bagaimana menjaga daya tarik pasar keuangan domestik dan menurunkan defisit transaksi berjalan,” jelas Perry.
Bank sentral AS pada Desember kembali menaikkan FFR sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2,25-2,5 persen atau median 2,375 persen. Kenaikan suku bunga federal tersebut sesuai dengan peringatan dan telah diperhitungkan sejak pertengahan 2018. Total kenaikan FRR sudah empat kali sepanjang tahun lalu.
Saat bersamaan, The Fed juga menurunkan target kenaikan suku bunga federal pada 2019 dari semula median 3,1 persen menjadi 2,8 persen. Artinya, kenaikan FFR kemungkinan terjadi setidaknya hanya sebanyak dua kali di 2019. Jumlah tersebut lebih sedikit dibanding perkiraan semula yang sebanyak tiga kali.
Merespons kenaikan FFR, sepanjang 2018 BI telah menaikkan 7DRR sebanyak enam kali dengan total kenaikan sebesar 175 bps. Posisi 7DRR saat ini di kisaran 6 persen dari sebelumnya 4,25 persen.
“Kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan BI berhasil untuk mencegah kejatuhan rupiah lebih dalam. Tapi masih ada yang perlu diseimbangkan pada aktivitas neraca perdagangan dan tindakan BI selanjutnya,” tulis Canadian Imperial Bank of Commerce (CIBC) dalam outlook bulanannya.
Posisi 7DRR saat ini di level 6 persen, imbal hasil obligasi 5 tahun sekitar 7,93 persen atau turun dibanding sebelumnya yang sempat menyentuh 8,01 persen, membuat tekanan terhadap kurs rupiah sedikit mereda. Oleh karena itu, CIBC juga memperkirakan rupiah di kisaran Rp14.400 per dolar AS selama tiga bulan pertama 2019. Kurs rupiah bahkan bisa terus menguat sepanjang 2019 dan menyentuh level Rp14.000 per dolar AS pada akhir 2019.
Stabilisasi arus investasi portfolio asing, memungkinkan pemulihan nilai tukar mata uang Garuda dan juga regional Asia. Total aliran portofolio sebesar $3,7 miliar yang mengalir ke pasar obligasi Indonesia serta kenaikan suku bunga acuan, memberikan suntikan tenaga pada nilai tukar. Dengan kembalinya arus masuk modal asing dan terjaganya inflasi di level rendah stabil, memungkinkan kebijakan moneter untuk fokus pada stabilisasi nilai tukar.
Bank Dunia memperkirakan nilai tukar rupiah pada 2019 dapat berada di kisaran Rp14.250 per dolar AS. Dengan penguatan nilai tukar, penting bagi Indonesia untuk memanfaatkan peluang yang ada dengan meningkatkan cadangan devisa guna mempertahankan penyangga keuangan cukup besar.
“Cadangan devisa yang mencapai rekor tertinggi berkontribusi terhadap upaya untuk mengatasi depresiasi rupiah selama masa gejolak nilai tukar yang berlarut-larut ini. Sudah waktunya bagi Indonesia untuk meningkatkan kembali cadangan devisa dengan mempertahankan penyangga yang cukup besar guna memungkinkan pengelolaan lebih lanjut dari gejolak nilai tukar, jika gejolak tersebut kembali muncul dalam waktu dekat,” tulis Bank Dunia.
Peluang besar penguatan nilai tukar rupiah pada 2019 juga didorong oleh aktivitas politik berupa pemilihan Presiden. Masafumi Yamato, Kepala Strategi Mata Uang dari Mizuho Securities saat diwawancarai Bloomberg TV mengungkapkan, kurs rupiah memiliki peluang besar untuk menguat terhadap dolar AS di antara negara-negara kawasan negara berkembang.
“Ini karena aktivitas politik berupa pemilihan Presiden akan berlangsung pada 2019, dan Joko Widodo diperkirakan akan memenangkan pemilihan umum. Jadi, stabilitas politik dan juga penguatan kondisi ekonomi saat berlangsungnya Pemilu akan meningkat dan nilai tukar rupiah menguat,” jelas Masafumi.
Sementara itu, UOB dalam outlook 2019 tentang Indonesia (PDF) menyatakan defisit kembar berupa neraca perdagangan dan transaksi berjalan terhadap PDB masih jadi ancaman rentannya kurs mata uang Garuda terhadap greenback. Kenaikan 7DRR yang masih akan dilakukan BI di 2019 juga bisa melemahkan gerak rupiah.
“Kami memperkirakan nilai tukar rupiah berkisar antara Rp14.600 (per dolar) sampai dengan Rp14.800 hingga akhir 2019,” tulis UOB.
Editor: Suhendra