Menuju konten utama

Apa yang Ahok Bicarakan Ketika Ahok Bicara Politik

"Banyak bicara banyak kerja" seperti Ahok, jangan hanya "kerja, kerja, kerja." Sebab, bicara saja tanpa kerja itu namanya beo. Bekerja saja tanpa tanpa bicara itu namanya maling.

Apa yang Ahok Bicarakan Ketika Ahok Bicara Politik
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berpidato saat halal bihalal di markas Teman Ahok, Pejaten, Jakarta. [Antara foto/Reno Esnir]

tirto.id - Selama Basuki Tjahaja Purnama masih di bawah kolong langit politik Indonesia, selama itu pula media kita akan dengan senang hati mengutip apa-apa yang keluar dari mulutnya. Setelah Ruhut Sitompul kehilangan pamor, dan media kehabisan kata-kata bombastis untuk dikutip, Ahok muncul sebagai pahlawan.

Tapi Ahok jauh berbeda dengan Ruhut. Yang terakhir banyak bicara karena memang sudah dari sononya ia diwajibkan punya mulut supaya berbusa-busa, karena tugasnya di lembaga legislatif dan sebagai juru bicara partai anda-tahu-apa yang pernah berkuasa. Sementara Ahok, waktu masih di legislatif jungurnya belum terlalu kedengaran, baru sejak jadi wakil gubernurnya Jokowi di Jakartalah, omongan Ahok mulai dirayakan di berbagai media—semakin menjadi-jadi setelah Jokowi terpilih jadi Presiden dan Ahok naik pangkat jadi gubernur.

"Jadi Gubernur Jakarta itu RI 3, Bos! Kalau menteri, itu pembantu RI 1," katanya.

Ahok adalah penjelmaan sejati semboyan yang sempat populer pada akhir dekade 50-an: "Banyak bicara banyak kerja." Banyak bicara banyak kerja. Banyak bicara banyak kerja. Bukan hanya "kerja, kerja, kerja" seperti slogan Jokowi.

Mengenai ini, pada April 1975, Mahbub Junaidi—novelis dan tokoh NU dan mantan ketua umum PWI—menulis kolom berjudul Sekitar Peranan Mulut di Majalah Tempo. Hanya dengan tujuh paragraf, Mahbub menjabarkan dengan baik sekali sejarah permulutan di Indonesia sambil mengkritik para anggota dewan yang terhormat yang saat itu tidak banyak berkutik. "Parlemen, yang menurut riwayatnya justru tempat bicara, tidaklah gemar lagi membuka mulut selebar-lebarnya, seperti mbah guru mereka Montesquieu yang meraung-raung di mimbar bagaikan keledai, melainkan memilih kecermatan di atas segala-galanya," tulis Mahbub.

Sebelumnya, pada masa Kabinet Djuanda, peranan mulut dianggap sepele. Kabinet yang berhasil menggolkan aspirasi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan hanya modal mulut hingga diakui PBB itu, ironisnya, punya slogan yang mengesampingkan arti penting mulut: Sedikit bicara banyak kerja.

"Semua orang yang bermodal mulut semata-mata menyempit lapangannya. Bursa mulut turun, dan keringat naik derajat. Kegaduhan sedikit demi sedikit berkurang, orang makin lama bicara makin pelan, sehingga mau tidak mau coraknya berganti jadi kasak-kusuk," tulis Mahbub tentang era Djuanda.

"Padahal, ditilik dari sudut kebajikan, omong besar dan kasak-kusuk sama-sama bukan tabiat yang layak dipuji, seperti halnya orang kegemukan atau kekurusan."

Maka setelah periode itu, semboyannya ditinjau kembali. "Sedikit bicara banyak kerja" diganti "Banyak bicara banyak kerja." Akur. "Sebab,” tulis Mahbub menyitir KH Idham Chalid, mantan Ketum PBNU yang juga Wakil Perdana Menteri Djuanda, “bicara saja tanpa kerja itu namanya beo. Bekerja saja tanpa tanpa bicara itu namanya maling."

Ahok tentu saja bukan beo, apalagi maling. Maka beliau tidak pelit kerja dan tidak hemat bicara.

Karena pusparagam aksi dan orasinya itulah, sejak Wagub hingga jadi Gubernur DKI pengganti Jokowi, Ahok banyak mendapat simpati rakyat, baik di Jakarta maupun dari luar Jakarta. Nyaris tiada hari tanpa Ahok di media nasional dan media sosial.

Popularitas Ahok terus terkeret berkat media yang selalu suka mengutip omongannya yang memang terdengar dahsyat. Beliau, misalnya, tak segan-segan mengucapkan "Tai!" di televisi nasional. Juga marah sana marah sini, mengomel-omeli bawahannya yang tidak melakukan tugasnya atau keliru dalam tugas, meledak-ledak menantang lawan-lawan politiknya.

Tapi meledak-ledaknya Ahok berbeda dengan Donald Trump, calon presiden Amerika. Trump suka berapi-api menyuarakan kebencian, rasialisme, dan bahkan seksisme, Ahok hampir selalu misuh untuk alasan-alasan yang tepat secara politis: perang melawan korupsi, meminimalisasi kebocoran anggaran daerah, terlaksananya layanan publik yang prima, membangun Jakarta jadi kota yang lebih baik, dan sederet alasan lain yang hebat-hebat dan baik-baik.

Ahok dengan segera dianggap sebagai figur pemimpin ideal. Banyak orang yang jatuh hati. Banyak warga Jakarta yang kemudian rela berada di belakang Ahok melawan musuh-musuhnya. Ia diangkat menjadi simbol perlawanan terhadap elite politik yang selama ini dipergunjingkan masyarakat sebagai petinggi yang korup.

Sejak medio 2015, sekelompok anak muda malah mendirikan semacam Gilda Pemuja Ahok. Perkumpulan ini diberi nama "Teman Ahok."

Dalam Mukadimahnya, Teman Ahok tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka terhadap Ahok sejak kalimat pertama. "Baru kali ini Jakarta dipimpin oleh Gubernur yang sangat keras, berani, dan disiplin," tulis mereka. Apakah ini fakta atau opini, tentu bisa diperdebatkan. Warga Jakarta sebagian besar masih sangat ingat pernah punya gubernur bernama Ali Sadikin yang lekat dengan semua julukan Teman Ahok kepada junjungan mereka.

Tapi tunggu dulu, dalam kalimat selanjutnya, Teman Ahok juga masih menyisakan ruang untuk tidak terlalu takjub—meski untuk kemudian dimentahkan lagi. "Jika dilihat dari sudut pandang negatif, maka sikap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur memancing kontroversi dan konflik dengan para elite di Jakarta. Jika dilihat dari sudut sebaliknya, sikap Ahok ini berhasil memangkas habis kebiasaan lama yang menjadikan anggaran pembangunan daerah sebagai dana yang bisa dibagi-bagi dan dimiliki oleh para pemangku jabatan."

Lantaran Ahok dianggap bisa menyelamatkan anggaran DKI dan membawa angin segar bagi pembangunan dan kemajuan Jakarta, Teman Ahok pun berusaha memastikan agar sang panutan kembali memimpin ibukota pada periode berikutnya (2017-2022). Caranya? Usung Ahok maju di Pilkada 2017 melalui jalur perseorangan alias independen alias non-partai.

Pilihan ini sama sekali tak mudah. Karena konsekuensinya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Teman Ahok harus pontang-panting banting tulang mengumpulkan bukti dukungan dan fotokopi KTP warga Jakarta supaya memenuhi persyaratan dari KPUD.

Dasar Teman Ahok dihuni anak-anak muda keras kepala, mereka ambil tantangan itu. Mereka bahkan menaikkan target: walaupun KPUD hanya mensyaratkan 550 ribuan KTP, Teman Ahok bertekad mengumpulkan 1 juta—tercantum dalam misi organisasi.

"Ini dilakukan untuk mendukung Ahok terus konsisten hanya merasa berutang pada rakyat, bukan pada partai politik," tulis mereka dan diucapkan dalam berbagai kesempatan.

Banyak pihak yang mencibir misi Teman Ahok, tidak sedikit pula yang bertaruh KTP itu tidak akan terkumpul. Politisi Partai Gerindra, Habiburrokhman, menulis di akun Twitternya, "Saya berani terjun bebas dari Puncak Monas kalau KTP Ahok beneran cukup untuk nyalon."

Politisi, anda tahu, seperti kata Nikita Krushchev, di mana-mana sama saja: Mereka berjanji akan membangun jembatan bahkan kendati tidak ada sungai. Keberanian Habiburokhman untuk terjun dari Puncak Monas adalah janji politisi yang tinggal janji. Pada akhir Mei 2016, (tepuk tangan yang meriah!) Teman Ahok berhasil mengumpulkan satu juta KTP.

Tapi ini semua belum berakhir. Masih jauh dari ujung. Seperti cerita detektif, Teman Ahok harus menempuh jalan mengejutkan dan memutar. Pada akhir Juli 2016, Ahok mengumumkan akan maju menjadi calon gubernur dengan kendaraan tiga partai: Partai Nasdem, Partai Hanura dan Partai Golkar. Artinya, satu juta lebih KTP yang telah dihimpun Teman Ahok tidak akan dipakai untuk mendaftar di KPUD.

Teman Ahok harus menghadapi kenyataan bahwa mimpi manis agar Ahok tak berutang pada partai politik harus berubah menjadi mimpi buruk yang memaksa mereka bangun dari tidur pulas.

Memang tidak ada salahnya bermimpi. Tapi mimpi Teman Ahok telah juga membuai jutaan orang. Dan tak seorang pun yang bisa menjamin, tidak juga Ahok, para pemimpi sekaligus penyumbang dukungan itu senang dengan perkembangan mutakhir. Di Twitter, muncul tagar #BalikinKTPgue untuk menentang keputusan Ahok. Menurut data dari Keyhole, tagar ini aktif sejak 29 Juli hingga 3 Agustus, dengan jangkauan hingga 26.701.346 akun.

Menanggapinya, Ahok menjadi Ahok dengan segala kebajikan dan keutamaan mulutnya. "KTP masih di rumah dia, kok. Apa yang mesti dibalikin? Dari dulu juga dibalikin—fotokopi doang, kan?" katanya.

Sementara Teman Ahok mulai memainkan jurus bertahan dengan menyatakan, “Bus Teman Ahok siap konvoi bersama kendaraan partai.” Di Twitter, mereka membela diri dengan menunjukkan bahwa tagar #BalikinKTPGue sangat tidak organik dan diramaikan oleh sebagian besar tukang cuit dari luar Jakarta.

Demikianlah seharusnya peranan mulut. Bisa dipakai menyerang, bisa juga bertahan. Sekali waktu meyakinkan orang, lain waktu menyangkal. Kadang mengajak, kadang menolak. Adakala meminta amanat, adakalanya berkhianat. Tinggal pilih.

Baca juga artikel terkait BASUKI TJAHAJA PURNAMA atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Politik
Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti