Menuju konten utama

Apa Itu Aturan HET pada Obat dan Sanksinya Jika Melanggar?

Pelaku usaha dilarang menjual produk di atas Harga eceran tertinggi atau HET yang telah ditetapkan.

Apa Itu Aturan HET pada Obat dan Sanksinya Jika Melanggar?
Ilustrasi HET Obat. foto/istockphoto

tirto.id - HET adalah singkatan dari harga eceran tertinggi atau dalam bahasa Inggris disebut maximum retail price (MRP).

HET adalah harga tertinggi yang boleh dikenakan untuk penjualan sebuah produk di suatu negara, yang ditetapkan oleh pemerintah.

Pengecer diperbolehkan menjual produk di bawah HET, namun tidak diperbolehkan menjual produk di atas HET yang telah ditetapkan.

Harga eceran yang ditetapkan dan dijual di toko eceran menjadi harga akhir produk tersebut, sebab pelanggan atau konsumen membeli produk tersebut untuk digunakan sendiri bukan untuk dijual.

Tujuan ditetapkannya HET ini adalah untuk memastikan pedagang ecer tidak dapat menjual produk di atas harga wajar. Kebijakan HET ini juga diberlakukan untuk meringankan beban hidup masyarakat.

Adapun contoh barang-barang yang harganya ditetapkan dalam HET biasanya meliputi komoditi utama atau bahan pokok seperti minyak goreng, beras, gula, obat-obatan, BBM, hingga harga tiket transportasi.

Lalu, bagaimana aturan terkait penerapan HET pada penjualan obat-obatan?

Mengutip jurnal online Universitas Jember, penetapan harga eceran tertinggi obat generik dihitung berdasarkan Harga Netto Apotek(HNA) ditambah dengan PPN sejumlah 10% serta margin apotek sebesar 25%.

Berdasarkan kebijakan ini, HET dicantumkan pada label obat sampai pada satuan kemasan terkecil dan berlaku pada obat bebas dan obat ethical (obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter).

Pencantuman HET ini dilakukan dengan ukuran yang cukup besar dan warna yang jelas serta tempat yang mudah terlihat sehingga mudah dibaca oleh konsumen.

Pencetakannya pun dilakukan dengan menggunakan cap dengan tinta permanen yang tidak dapat dihapus ataupun dicetak langsung pada kemasan.

Adapun aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 98 Tahun 2015 Tentang Pemberian Informasi Harga Eceran Tertinggi Obat, sebagai berikut:

Pada pasal 6 nomor 3, pencantuman informasi HET pada label obat harus dilakukan dengan:

a. ukuran yang cukup besar dan warna yang jelas serta diletakkan di tempat yang mudah terlihat sehingga mudah dibaca; dan

b. dicap menggunakan tinta permanen yang tidak dapat dihapus atau dicetak pada kemasan.

Selanjutnya, pada pasal 8 juga disebutkan bahwa:

(1) Apoteker pada apotek atau instalasi farmasi rumah sakit/klinik pada saat memberikan pelayanan obat atas resep dokter wajib memberikan informasi HET obat kepada pasien atau Keluarga Pasien.

(2) Selain memberikan informasi HET obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Apoteker harus menginformasikan obat lain terutama obat generik yang memiliki komponen aktif dengan kekuatan yang sama dengan obat yang diresepkan yang tersedia pada apotek.

Pada pasal 7 soal Pemberian Informasi Harga Eceran Tertinggi Obat pada Pelayanan Kefarmasian disebutkan 3 poin yaitu:

(1) Apotek, toko obat, dan instalasi farmasi rumah sakit/klinik hanya dapat menjual obat dengan harga yang sama atau lebih rendah dari HET.

(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apotek, toko obat, dan instalasi farmasi rumah sakit/klinik dapat menjual obat dengan harga lebih tinggi dari HET apabila harga yang tercantum pada label sudah tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(3) Dalam hal apotek, toko obat, dan instalasi farmasi rumah sakit/klinik menjual obat dengan harga lebih tinggi dari HET sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka apotek, toko obat, dan instalasi farmasi rumah sakit/klinik harus memberikan penjelasan kepada masyarakat.

Apa Sanksi Jika Produsen Menjual Produk di Atas HET?

Jika pelaku usaha menjual produk di atas HET yang telah ditetapkan, maka sanksinya mengikuti aturan yang mengatur HET barang yang dijual.

Misalnya, pada 2021, Kemenkes RI pernah menetapkan HET pada obat terapi COVID-19, melalui Keputusan Menkes Nomor HK.01.07/MENKES/4826/2021 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Dalam Masa Pandemi COVID-19.

Selanjutnya, tanggung jawab hukum jika pelaku usaha menjual obat generik di pasaran melebihi Harga Eceran Tertinggi dinyatakan pada pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Mengutip situs resmi ESDM.go.id, pelaku usaha yang melanggar undang-undang tersebut di atas, maka dikenakan sanksi pidana paling lama 5 tahun, atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar, dan juga dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha.

Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa, jangka waktu pemberian ganti kerugian sebagai bentuk tanggung jawab pelaku usaha dilaksanakan dalam tenggang waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi, yang mengidikasikan dalam tanggung jawab itu sifatnya mutlak (strict liability), yang berarti tanpa kesalahan (without fault, risiko), sebab pasal 19 ini tidak bermaksud untuk diselesaikan melalui pengadilan dengan terlebih dahulu melakukan proses pembuktian.

Artinya, menurut pembuat Undang-Undang ini, jika konsumen menderita kerugian, ia dapat langsung menuntut penggantian dari pelaku usaha dan pelaku usaha serta-merta memberi ganti kerugian kepada konsumen.

Ke mana konsumen bisa melapor?

Konsumen sebagai masyarakat menjadi pihak yang juga sangat penting dalam mengawasi penjualan produk, serta dapat berperan aktif dalam penerapan Permenkes 98 tahun 2015 untuk mewujudkan perlindungan konsumen.

Konsumen diberikan hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen, jika menemukan pelanggaran terhadap penerapan Permenkes ini.

Jika menemukan pelaku usaha yang tidak menjual produk sesuai dengan HET atau kebijakan yan telah ditetapkan, maka masyarakat bisa melaporkan ke asosiasi, atau Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Yandri Daniel Damaledo

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Iswara N Raditya