Menuju konten utama

Apa Isi Pasal 71 UU Pilkada? Ini Penjelasan, Larangan & Bunyinya

Berikut adalah poin-poin dari isi Pasal 71 UU Pilkada yang memuat aturan dan larangan bagi peserta pemilu 2020.

Apa Isi Pasal 71 UU Pilkada? Ini Penjelasan, Larangan & Bunyinya
Pekerja menyusun surat suara pilkada Kota Makassar 2020 yang selesai dilipat di gedung Celebes Convention Center, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (24/11/2020). ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/aww.

tirto.id - Pemerintah telah menetapkan hari pelaksanaan pemungutan suara Pilkada serentak pada Rabu, 9 Desember 2020 sebagai hari libur. Aturan itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2020, yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 27 November 2020.

“Menetapkan hari Rabu tanggal 9 Desember 2020 sebagai hari libur nasional dalam rangka pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak,” bunyi diktum KESATU Keppres tersebut seperti dilansir laman resmi setkab.go.id.

Ada sekitar 270 daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada dengan rincian: pemilihan gubernur dan wakil gubernur di 9 provinsi, pemilihan wali kota dan wakil wali kota di 37 kota, dan pemilihan bupati dan wakil bupati di 224 kabupaten.

Pilkada serentak 2020 ini akan dilaksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan guna menghindari penyebaran Covid-19, termasuk wajib mengenakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, tidak berkerumun, hingga pengukuran suhu tubuh.

Poin-poin Isi Pasal 71 UU Pilkada

Terkait dengan penyelenggaraan Pilkada kali ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu RI) sempat melakukan sosialisasi penerapan Pasal 71 Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau biasa disebut UU Pilkada. Lantas apa isinya?

1. Pejabat Publik Harus Berhenti dan Mengundurkan Diri

Anggota Bawaslu Fritz Edwar Siregar mengatakan, dalam Pasal 71 UU Pilkada mengharuskan pejabat publik berhenti atau mengundurkan dari jabatannya saat mencalonkan diri sebagai peserta pilkada.

"Itulah alasan TNI, Polri, ASN, dan Pegawai BUMN harus mengundurkan diri dari jabatannya untuk maju dalam kontestasi pilkada," kata Fritz seperti dilansir laman resmi Bawaslu RI.

2. DPR dan DPRD Harus Mengundurkan Diri

Aturan tersebut, kata Fritz, juga berlaku bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang menjadi calon gubernur, bupati dan wali kota. Mereka harus mengundurkan diri dari jabatan legislatif.

"Itu semua berdasarkan putusan MK Nomor 15 Tahun 2013 atau putusan 41 Tahun 2014, dalam putusannya MK mengatakan norma pengunduran diri pejabat publik untuk maju di pilkada adalah konstitusional," ungkap dia.

Kendati demikian, kata Fritz, putusan MK tersebut tidak berlaku untuk kepala daerah yang menjadi petahana dalam Pilkada, namun yang bersangkutan harus tetap cuti saat mengikuti kampanye.

3. Larangan Kepala Daerah atau Petahana Melakukan Pergantian

Anggota Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo menjelaskan, dalam Pasal 71 UU Nomor 10 Tahun 2016 berisi tentang larangan bagi kepala daerah atau petahana melakukan penggantian/mutasi.

Ia menjelaskan objek larangan adalah, melakukan ‘pergantian’ (dalam hal ini hanya dibatasi untuk mutasi dalam jabatan) pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri (pasal 71 ayat (2) UU Pemilihan).

“Dalam hal terjadi kekosongan jabatan maka gubernur, bupati dan walikota menunjuk Pejabat Pelaksana Tugas,” kata Ratna Dewi.

4. Kewenangan Calon

Ratna Dewi menjelaskan, dalam pasal 71 ayat 3 tertulis larangan menggunakan kewenangan program dan kegiatan yang menguntungkan dan merugikan salah satu pasangan calon, baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan tanggal penetapan pasangan calon terpilih.

“Dalam hal gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati dan walikota atau wakil walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau kabupaten/kota,” kata dia menegaskan.

Dewi menjelaskan, sementara sanksi untuk calon yang bukan petahana diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Netralitas ASN, TNI-Polri

Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo meminta calon petahana untuk memahami aturan netralitas netralitas aparatur sipil negara (ASN) dan TNI-Polri sesuai Pasal 71 UU Pilkada. Sebab, kata dia, calon petahana dan calon kepala daerah bisa mendapat sanksi diskualifikasi bila melanggar.

"Dengan niatan baik, Bawaslu mengharapkan petahana tidak melakukan pelanggaran yang berujung diskualifikasi sesuai UU Pilkada," kata Ratna Dewi.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2020 atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Politik
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Addi M Idhom