tirto.id - Boikot adalah salah satu cara untuk menekan pemerintah Israel yang terus-terusan menyerang Palestina. Seberapa besar efektivitas boikot terhadap produk Israel maupun pihak yang mendukungnya?
Di tengah berlangsungnya perang Israel-Hamas di Gaza, sejumlah brand ternama mengalami pemboikotan besar-besaran lantaran diduga mendukung Israel atau negara yang pro Israel.
Di antara produk itu ialah McDonald’s dan Starbucks. Lalu KFC, Pizza Hut, Burger King, Coca-Cola, Pepsi, Wix, Puma, Google, hingga Amazon.
Beberapa analisis dibuat untuk mengukur tingkat efektivitas boikot serta kerugian yang dialami Israel akibat kampanye tersebut.
Dampak Boikot Terhadap Produk Pro Israel
Al-Jazeera pernah memberitakan, gerakan yang diinisiasi BDS (Boycott, Divestment and Sanctions) dapat merugikan Israel hingga mencapai $11,5 miliar per tahun berdasarkan laporan pemerintah Israel.
Menurut Brookings Institution yang berbasis di Washington, boikot yang dilakukan konsumen tidak akan berpengaruh besar terhadap Israel. Alasannya, 40 persen ekspor mereka adalah barang "antara", yakni barang yang digunakan dalam proses produksi barang di tempat lain.
Sekitar 50 persen ekspor Israel juga berupa barang "diferensiasi", yaitu barang yang tidak dapat disubstitusi, semisal chip komputer khusus.
Kendati demikian, data Bank Dunia menunjukkan penurunan tajam dalam ekspor barang setengah jadi dari tahun 2014-2016. Mereka mengalami kerugian sekitar $6 miliar.
Pada periode yang sama, investasi asing naik menjadi sekitar $12 miliar setelah turun menjadi $6 miliar setelah serangan ke Gaza tahun 2014.
Catatan Vox.com menunjukkan laporan Global Rand Corporation tahun 2015 memperkirakan produk domestik bruto Israel akan kehilangan $15 miliar akibat aksi boikot. Angka ini masih terlalu kecil dari PDB Israel yang mencapai $500 miliar.
BDS sendiri menyebutkan boikot terhadap Israel secara efektif berdampak pada perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi dalam penindasan yang dilakukan di tanah Palestina.
Dalam versi BDS, aksi mereka menjadi faktor kunci untuk penurunan investasi asing ke Israel, yakni sebesar 46 persen pada 2014 dibandingkan 2013. Perusahaan AS dan Eropa, seperti Veolia, Orange, G4S, General Mills, dan CRH keluar dari pasar Israel.
Lalu, beberapa pihak juga disebutkan telah melakukan divestasi di Israel setelah kampanye DBS. Mereka ialah Gereja Presbiterian Amerika Serikat, United Methodist Church (UMC), dana pensiun Belanda PGGM, pemerintah Norwegia, Luksemburg dan Selandia Baru, Nordea dan Danske Bank, hingga George Soros serta Bill Gates.
Carmel Agrexco, perusahaan ekspor pertanian terbesar di Israel, dilaporkan telah mengalami likuidasi akibat panasnya kampanye boikot.
SodaStream juga menutup operasi di sebuah pemukiman ilegal Israel setelah kampanye BDS. SodaStream dianggap berperan dalam pembersihan etnis Palestina di Naqab (Negev).
Banyak pihak memang berharap dengan adanya aksi boikot itu, maka pemerintah Israel, perusahaan yang berdagang di Israel, maupun negara pro Israel dapat merubah sikapnya selama ini.
Setidaknya, aksi boikot dapat meningkatkan kesadaran terhadap kelakuan Israel ke Palestina. Meskipun kemungkinan tidak menghasilkan dampak ekonomi yang berpengaruh sangat besar, masyarakat ingin agar ada perubahan atas kondisi di Palestina saat ini.
Penulis: Beni Jo
Editor: Dipna Videlia Putsanra