tirto.id - Inayah Wulandari Wahid mengenang satu fragmen lucu ketika bapaknya, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, masih menjabat sebagai presiden.
Waktu itu mereka sedang mengunjungi sebuah pesantren di Jawa Tengah. Berdasarkan ingatan Sinta Nuriyah, istri Gus Dur, saat itu mereka berkunjung ke kediaman Habib Hamid yang berada di Sokaraja, Banyumas. Jumlah warga yang berkerumun di lokasi sangatlah banyak. Mereka ingin bertemu dan menyalami Sang Presiden.
Saat Gus Dur keluar dari pesantren, warga mulai saling dorong-dorong. Para Pasukan Pengamanan Presiden atau Paspampres langsung mengambil inisiatif membuat pengamanan. Paspampres berusaha keras untuk segera memasukkan Sang Presiden ke dalam mobil untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
“Presiden dimasukkan ke mobil lewat pintu sebelah kiri, karena presiden duduknya di sebelah kiri,” cerita Inayah. Tapi begitu sudah di dalam dan mobil siap melaju, “Eeeh, bapak malah nyelonong keluar lewat pintu kanan,” kenang Inayah kepada Tirto pada 9 Februari 2016.
Alhasil, Sang Presiden langsung dikerubungi orang-orang. Inayah yang duduk di kursi depan malah terbahak-bahak melihat Paspampres yang kalang kabut memutar dari sebelah kiri ke sebelah kanan mobil untuk mengamankan Gus Dur.
“Kenapa gitu, Pak?” tanya Inayah, saat Gus Dur sudah kembali masuk mobil.
“Lha kasian orang banyak yang mau ketemu kita masa enggak boleh,” Inayah menirukan lagi jawaban sang bapak waktu itu.
Benarkah Gus Dur Antiprotokoler?
Gus Dur memang dikenal sebagai pribadi eksentrik. Selain pemikiran-pemikirannya yang dikenal blak-blakan, satu yang juga sering jadi perhatian orang-orang adalah Gus Dur selalu bersikap seolah-olah antiprotokoler, selalu berbeda, seakan-akan melawan aturan yang ada, bahkan cenderung seperti masa bodoh.
Dalam buku The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Greg Barton menulis kalau Gus Dur memang, “dalam istilah Jawa, sifat kasarnya lebih besar daripada sifat halusnya”. Dan sikap ini yang oleh banyak orang-orang di sekitarnya kurang disukai dan ingin diubah dari Gus Dur, begitu menurut Barton.
Contoh perilaku Gus Dur yang menerobos tata dan protokoler sangatlah berlimpah. Selain kisah yang sudah diutarakan oleh Inayah, kisah-kisah lain bertebaran di berbagai buku maupun kesaksian pribadi banyak orang.
Salah satu yang tak terlupakan adalah pada saat-saat terakhir sebelum Gus Dur meninggalkan Istana Merdeka pasca dinyatakan lengser oleh Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001. Pada malam yang tak terlupakan itu, Gus Dur keluar dari dalam Istana dan menyapa para pendukungnya hanya dengan celana kolor.
Inayah, putri bungsu Gus Dur dan Sinta Nuriyah, mengakui kalau ayahnya memang eksentrik. Tapi ia tak setuju kalau Gus Dur disebut antiprotokoler. Hanya saja, bapaknya memang menganggap beberapa hal tidak penting diperlakukan terlalu berlebihan.
“Bapak kan memang orangnya bukan yang formal gitu, beliau itu lebih senang sesuatu yang akrab, guyub, dan lebih substansial,” kata Inayah. “Nah, kadang protokoler itu membatasi hal tersebut.”
Inayah kembali mencontohkan, misalnya ketika Gus Dur diundang ke luar negeri oleh suatu lembaga. Ia selalu memperhatikan perangai bapaknya berubah kesal ketika pintu pesawat terbuka, dan rombongan kedutaan Indonesia menyambut. “Bapak bisa kesal karena merasa merepotkan orang lain dan juga merasa terlalu formal dan terbatas,” cerita Inayah.
Baca cerita tentang kelahiran Grup D Kopasus dan jumlah personel yang mengawal SBY: Berapa personel yang Kini Mengawal SBY?
Keluarga Gus Dur Sungkan Merepotkan Negara
Sikap enggan merepotkan orang lain yang diperlihatkan Gus Dur rupanya masih diperlihara keluarganya. Bahkan setelah Gus Dur tak lagi menduduki kursi tertinggi di negeri ini. Mereka malah kelihatan kembali menikmati hidup menjadi rakyat biasa.
Maka, ketika sejumlah Paspampres kembali datang pada Sinta Nuriyah di akhir 2013 silam, untuk mengabarkan kalau ada peraturan baru yang mewajibkan mereka harus kembali menjaga keamanannya, Sinta menolak.
Tapi, pemerintahan SBY sudah kepalang mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2013 tentang pembentukan Paspampres untuk menjaga mantan presiden dan wakil presiden. PP ini membentuk satu lagi regu Paspampres yang kelak disebut Grup D. Di dalamnya turut diatur kalau regu ini harus menjaga mantan presiden dan wakil presiden beserta istri atau suaminya karena dianggap berjasa dan masih menjaga rahasia negara (Baca juga: laporan lebih lengkap tentang kelahiran Grup D dan PP Nomor 59 tahun 2013).
Meski Gus Dur sudah tiada, dan Sinta tak lagi tinggal di Istana Negara, oleh aturan yang dibikin SBY beberapa bulan sebelum ia lengser ini, Ibu dari Alissa, Yenny, Annita, dan Inayah Wahid ini mau tak mau mendapat jatah Paspampres Grup D. PP tersebut, membuat Sinta Nuriyah menjadi salah satu orang yang dijaga keamanan hidupnya oleh negara.
Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko, 2014 silam setelah melantik Grup D pertama di Jakarta, menyebutkan jumlah Paspampres penjaga presiden dan wakil presiden ini adalah 287 orang. Kalau dibagi dengan nama-nama lain, seperti: Try Sutrisno, BJ Habibie, Megawati Sukarnoputri, Hamzah Haz, Boediono dan SBY sendiri, maka masing-masingnya akan mendapat sekitar 30 personel.
Tapi, Ira Sulistya, asisten pribadi Sinta yang biasa mengurus keperluannya sekaligus menjembataninya dengan Paspampres, kepada Tirto mengatakan jumlah Paspampres Sinta hanya 18 orang. Dibagi menjadi tiga regu dalam tiap giliran. Sehingga ada 6 orang yang mengikuti Sinta, ke manapun ia pergi sampai akhir hayat, seperti yang diamanatkan PP tersebut.
Namun, perihal jumlah personel memang tak diatur rinci dalam PP 59 Tahun 2013. Keputusan berapa personel, termasuk ketentuan lebih lanjut, ditetapkan oleh Panglima TNI juga ditentukan oleh situasi-situasi khusus.
Alissa Qotrunnada Wahid, putri sulung Gus Dur, juga bercerita kalau sebenarnya sang Ibu tidak terlalu setuju dengan aturan pembentukan Grup D tersebut. Sebab lebih senang menghindari protokoler yang biasanya bikin lebih ribet pula. “Ya tapi mau gimana lagi, sekarang Ibu kalau mau ke mana-mana memang harus ramai-ramai begitu,” kata Alissa kepada Tirto.
Inayah mengiyakan pernyataan Ira Sulistya. Setelah dibentuk Grup D, pengawalan dan pengamanan kepada Sang Ibu memang lebih lengkap, bahkan kadang termasuk "tim advance".
Senada dengan Alissa, Inayah juga mengatakan pada awalnya Sinta Nuriyah tidak terlalu berkenan. Alasannya tidak semata enggan merepotkan orang lain atau karena lebih ingin bersikap lentur atau tidak kaku. Namun, kata Inayah: "Ini, kan, dengan biaya negara. Kami sempat merasa eman-eman uang yang dikeluarkan."
Tapi Paspampres bersikeras. Diminta tidak mengawal, terus pulang, tapi kemudian balik lagi. “Mereka ya datang terus, bilang kalau sudah ada undang-undangnya, jadi harus dijalankan,” kenang Ira. Akhirnya sekitar tahun 2015, Paspampres Grup D untuk Sinta mulai aktif.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Zen RS