Menuju konten utama

Anomali Kebijakan Penerbangan di Tengah PSBB Jawa-Bali

Saat PSBB Jawa-Bali, maskapai penerbangan malah boleh mengangkut penumpang dengan kapasitas maksimal. Epidemiolog menilai ini dapat meningkatkan kasus.

Anomali Kebijakan Penerbangan di Tengah PSBB Jawa-Bali
Seorang penumpang berjalan di koridor bandara El Tari Kupang, NTT, Jumat (11/9/2020). ANTARA FOTO/Kornelis Kaha/foc.

tirto.id - Kementerian Perhubungan memberlakukan kebijakan baru terkait kapasitas penumpang pesawat udara. Kebijakan pembatasan penumpang maksimal 70 persen yang diatur dalam Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 13 Tahun 2020 angka 4 huruf a butir 12 tak lagi berlaku. Pesawat kini bisa berangkat dengan kapasitas penumpang 100 persen.

Ketentuan baru ini diatur dalam Surat Edaran Kementerian Perhubungan Nomor 3 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksana Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara dalam Masa Pandemi COVID-19. Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati menjelaskan kebijakan ini berlaku selama pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM Jawa-Bali, 11-25 Januari 2021.

“Pelaksanaan surat edaran ini dapat dievaluasi sewaktu-waktu, menyesuaikan dengan kondisi dan dinamika di lapangan,” kata Adita.

Meski tidak dibatasi lagi, pemerintah mewajibkan maskapai menyediakan tiga baris kursi yang terpisah dari kursi umum. Kursi ini “diperuntukkan sebagai area karantina bagi penumpang yang terindikasi bergejala COVID-19,” tulis surat yang diteken oleh Dirjen Perhubungan Udara Novie Riyanto Rahardjo, Sabtu (9/1/2021).

Adita bilang kebijakan ini dibuat karena kementerian yang dipimpin Budi Karya Sumadi merasa aturan yang sudah ditetapkan maskapai seperti wajib tes PCR/rapid sudah cukup membuat perjalanan aman.

Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (Inaca) Denon Prawiraatmadja juga memastikan pemeriksaan kesehatan untuk penumpang pesawat sudah sangat ketat sehingga penghapusan ketentuan maksimal 70 persen sudah tepat. “Asumsinya kalau aturan untuk naik pesawat sudah diperketat melalui tes PCR, tentu semua penumpang on board dipastikan negatif Covid,” jelas dia kepada reporter Tirto, Selasa (12/1/2021).

Sebetulnya wajib tes PCR hanya berlaku bagi mereka yang ke Bali, menurut SE Kemenhub 3/2021. Sementara selain Bali alternatifnya adalah test rapid antigen bertanda non-reaktif, yang hasilnya keluar 2x24 jam sebelum keberangkatan.

Kebijakan menyediakan kursi khusus juga tepat, katanya. Ini untuk berjaga-jaga jika ada penumpang yang batuk atau merasa demam ketika berada di dalam perjalanan dan ia “merasa tidak nyaman” jika tetap berada di kursi biasa.

Meski demikian, tak semua maskapai bakal memenuhi kapasitas, misalnya Garuda Indonesia. Direktur PT Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan akan tetap mempertahankan 75 persen kapasitas penumpang. “Kami akan pertahankan distancing di dalam pesawat. Jadi tetap di bawah 70 persen,” katanya kepada reporter Tirto, Selasa. Alasannya agar penumpang merasa lebih nyaman.

Berpotensi Menambah Lonjakan dan Memperluas Penularan

Jika di udara dibikin longgar, kebijakan di darat justru sebaliknya. Ketua Komite Pengarah Komite Percepatan Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Airlangga Hartarto mengatakan tujuh provinsi serta 73 kabupaten/kota telah menerbitkan aturan turunan dari Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2021 soal PPKM yang intinya adalah memperketat mobilitas warga.

Misalnya, masyarakat yang hendak ke Bali melalui transportasi darat, baik pribadi maupun umum, wajib memiliki surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR atau non reaktif tes rapid antigen yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 3x24 jam sebelum keberangkatan.

Kemudian, bagi masyarakat yang melakukan perjalanan menggunakan moda transportasi darat pribadi selain Bali, diimbau untuk melakukan tes RT-PCR atau tes rapid antigen yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 3x24 jam. Pemerintah juga bakal melakukan tes acak test rapid antigen.

“Ini sangat bertolak belakang dengan kebijakan yang sudah diterapkan untuk melakukan pembatasan lewat PPKM. Enggak nyambung. Pemerintah ingin membatasi mobilitas, di sisi lain surat edaran Kemenhub justru melonggarkan aktivitas meskipun ada kewajiban antigen. Antigen, lho, bukan PCR. Antigen itu enggak seakurat PCR,” kata epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Hamka Mouhammad Bigwanto kepada reporter Tirto, Selasa.

Dampak dari kebijakan kapasitas penumpang pesawat tidak dibatasi adalah memperparah lonjakan penularan COVID-19. Meski maskapai sering kali mengklaim memiliki teknologi penyaringan udara, namun pencegahan penularan kurang maksimal karena tidak ada penjarakan. Penularan pun akan semakin meluas.

“Penuh dan dempetan itu bukan tanpa risiko. Antigen itu tetap ada eror. Kemudian ketika dia ada di daerah tertentu ada kemungkinan positif dan ada kemungkinan menularkan ke tempat yang lain. Jadi ini akan menambah keruwetan. Jangkauan penularannya malah nanti jauh lebih luas,” jelas dia.

Pada 11 Januari jumlah pasien meninggal akibat COVID-19 sebanyak 24.343, menurut rilis resmi pemerintah. Sementara jumlah pasien positif sebanyak 836.718. Kemarin, 13 Januari, angka penambahan kasus harian menembus 11 ribu.

Bigwanto bilang jangan sampai pasien yang tertular di daerah tidak tertangani karena minimnya fasilitas. Jangan sampai pula rumah sakit kolaps karena sudah tidak bisa lagi melayani pasien. “Fasilitas kesehatan di kota besar pun pada kolaps, sudah 90 persen bahkan ada yang 100 persen. Ada orang yang keliling rumah sakit enggak dapat [kamar],” tandas dia.

Pada akhirnya Bigwanto menyarankan masyarakat jangan bepergian dulu, termasuk pakai pesawat. Kalau tidak bisa dihindari, “pastikan gunakan masker medis, pastikan membawa handsanitizer,” tandas dia.

Baca juga artikel terkait PSBB JAWA BALI atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino