tirto.id -
"Iya udah lapor tadi siang," ujar Diah sebagaimana dilansir Antara, Rabu (3/1/2019).
Sebelumnya, kasus pelaporan ini diketahui dalam unggahan terbaru Anjasmara di akun Instagram pribadinya. Terlihat dalam unggahan tersebut, dia berfoto bersama sang istri usai mendatangi Polres Jakarta Selatan untuk membuat laporan.
Menurut Diah, Anjasmara menuntut permohonan maaf dari warganet yang telah menghina sang istri di semua akun media sosial dan juga di koran Kompas.
"Kita mau dia minta maaf aja. Di semua sosmed dia dan di koran Kompas 1 lembar," kata Diah.
Diah menambahkan, bahwa sebelumnya warganet yang dilaporkan tersebut telah menyadari kesalahannya dan meminta maaf melalui direct message Instagram.
"Sebelum akun IG-nya ditutup, dia sudah minta maaf lewat DM, tapi tidak diterima. Maunya minta maaf lewat akun sosmednya," ujarnya.
Sebelumnya pada hari Rabu (26/12/2018) lalu, salah satu warganet dengan akun @corrissa.putrie menuliskan komentar dia alah satu unggahan Dian Nitami yang membuat Anjasmara geram.
"Itu hidungnya jelek banget, melar banget, jempol kaki juga bisa masuk. Waduh, operasi lah. Katanya artis, masa duit buat perbaiki hidung enggak ada," tulis akun @corrissa.putrie.
Tidak hanya Anjasmara saja yang turut melaporkan penghinaan citra tubuh, laman SAFEnet, jaringan penggerak kebebasan berekspresi online se-Asia Tenggara menyebut, sampai 31 Oktober 2018 terdapat sekitar 381 korban yang telah dijerat dengan UU ITE, khususnya pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2).
“Sembilan puluh persen dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik, sisanya dengan tuduhan hatespeech (ujaran kebencian),” tulis laman tersebut.
Terkait hal ini, memang terdapat beberapa dasar hukum yang dianggap dapat menjerat pelaku penghinaan citra tubuh. Di antaranya Kitab Undang-undang Hikup Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan undang-undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-undang No.19 Tahun 2016.
“Body shaming: tindakan mengejek/menghina dengan mengomentari fisik (bentuk tubuh maupun ukuran tubuh) dan penampilan seseorang,” begitu penjelasan singkat yang ditampilkan dalam poster.
Pasal 27 ayat 3 UU ITE memang menyebut bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dapat dipidana paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.
Ketentuan ini masuk kepada delik aduan dan mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP.
Sementara itu, penghinaan terhadap citra tubuh dapat dikategorikan sebagai pasal penghinaan ringan yang termaktub dalam Pasal 315 KUHP:
"Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Jika ditelaah, sebenarnya tidak ada kalimat dalam aturan tersebut yang menyebut pidana penghinaan citra tubuh atau body shaming secara eksplisit. Yang ada hanya klausul “penghinaan/pencemaran nama baik” yang bersifat umum dan seringkali dilihat sebagai 'pasal karet' karena bisa menimbulkan multitafsir. Pasal ini menjerat banyak korban serta mengekang kebebasan berekspresi.
Pasal 27 UU ITE pertama kali disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada April 2008. Mulanya, pasal ini memiliki ancaman pidana enam tahun dan denda sebanyak Rp1 miliar. Namun Oktober 2016, DPR RI merevisi menjadi pidana empat tahun dan denda Rp750 juta.
Editor: Yulaika Ramadhani