Menuju konten utama

Anies Baswedan Benar, Ganti Nama Jalan Tak Libatkan Masyarakat

Tidak ada aturan soal pelibatan masyarakat dalam Keputusan Gubernur Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pedoman Penetapan Nama Jalan, Tanah dan Bangunan Umum di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Anies Baswedan Benar, Ganti Nama Jalan Tak Libatkan Masyarakat
Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan imbas pengerjaan proyek pembangunan underpass Mampang-Kuningan di Jalan Mampang Prapatan Raya, Selasa (31/10/2017). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

tirto.id - Nyaris tidak ada kebijakan Gubernur-Wakil Gubernur baru DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang tidak menimbulkan polemik. Dari mulai OK-OCE, rumah DP Rp0, dan terakhir usulan mengganti nama Jalan Buncit Raya (Jalan Warung Jati Barat) dan Jalan Mampang Prapatan Raya menjadi Jalan Jenderal Besar A.H. Nasution.

Usulan ini dimohon Ikatan Keluarga Nasution ke Pemerintah Kota dan Wali Kota Administrasi Jakarta Selatan Tri Kurniadi. Permohonan ini kemudian diteruskan ke Anies-Sandi. Menanggapi itu Anies sempat mengatakan bahwa usulan itu penting dipertimbangkan, mengingat jasa Nasution kepada republik baik ketika sebagai TNI aktif atau setelah pensiun.

Sosialisasi telah dilakukan dengan memasang pengumuman di jembatan yang membentang di jalan itu. Lurah Kuningan Barat juga sempat mengeluarkan surat instruksi agar para Ketua RT di lingkungan RW 02 menyampaikan hal ini ke warga/pemilik gedung/pemilik lahan/dan pemilik usaha di sana.

Rencana ini dikritik Perkumpulan Betawi. Mereka menolak rencana ini karena menganggap penggantian nama menggerus memori kolektif masyarakat Betawi. Jalan Mampang dan Buncit, kata mereka, adalah manifestasi nama-nama kampung Betawi.

Penolakan juga datang dari JJ Rizal. Buncit, kata sejarawan lulusan UI ini, diambil dari nama seseorang keturunan Cina. Nama ini tetap harus dipertahankan karena jadi bukti bahwa pernah ada masanya ketika masyarakat Betawi begitu toleran. Sementara Mampang, katanya, adalah pengingat bahwa daerah itu dulu adalah tempat yang teduh. Mampang adalah nama pohon yang dulu tumbuh subur di sana.

Sadar bahwa banyak kritik terhadap kebijakan ini, Anies kemudian memberikan pernyataan yang hendak mengakhiri polemik. Kamis, 1 Februari 2018, Anies mengatakan bahwa ia telah meminta jajarannya untuk menghentikan sosialisasi penggantian nama jalan.

"Jadi, ikuti proses itu. Dan tidak bisa sekonyong-konyong [ganti nama]. Enggak bisa. Maka itu, saya malah garis bawahi, ikuti semua prosesnya," ungkap Anies di Balai Kota.

Mekanisme Sesuai Peraturan

Satu alasan utama yang membuat Anies menunda kebijakan adalah aturan yang ada, yaitu Peraturan Gubernur, memang tidak mewajibkan untuk melibatkan publik. Aturan tersebut, katanya, tidak melibatkan budayawan, akademisi, atau anggota masyarakat lain.

Agar dapat mengakomodir hal itu, Anies berencana mengubah aturan yang ada. "[Aturan soal nama jalan] dibuat ketika semua diatur negara. Sekarang sudah demokratis, partisipatif," katanya. "Jadi tidak bisa pengusulan itu diterima siapa saja, kemudian dieksekusi oleh siapa saja," imbuhnya.

Lantas apa peraturan yang dimaksud? Benarkah tidak ada pelibatan masyarakat di dalamnya?

Anies merujuk Keputusan Gubernur Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pedoman Penetapan Nama Jalan, Tanah dan Bangunan Umum di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (1) aturan tersebut bahwa usulan dapat dilakukan oleh Badan Pertimbangan dan masyarakat seperti perorangan, kelompok organisasi, atau instansi.

Lebih lanjut dalam Pasal 7 dijelaskan pengusul kemudian menyampaikan ke gubernur. Tapi bukan dia yang akan menilai. Penilaian kelayakan dilakukan oleh tim bernama Badan Pertimbangan.

Beberapa aspek yang akan dinilai adalah ketokohan dan kepahlawanannya. Tim akan menilai seberapa besar jasa orang yang diusulkan itu. Pertimbangan lain termasuk apakah nama yang diusulkan mudah dikenal masyarakat dan tidak bertentangan dengan kesopanan dan ketertiban umum.

Dari mekanisme tersebut memang tidak ada sama sekali klausul yang menyebut soal pelibatan masyarakat. Hanya disebut bahwa perlu juga "pertimbangan dari ahli waris atau keluarganya" (Pasal 7 ayat (2) huruf c. Sementara dari segi teknis, pertimbangan diberikan oleh Kepala Suku Dinas Pekerjaan Umum, Tata Kota, Pengawasan Pembangunan Kota, Camat dan Lurah setempat.

Tahap terakhir adalah penetapan lewat Keputusan Gubernur.

Salah satu nama jalan yang telah ditetapkan dari proses ini adalah Jalan DR Ida Anak Agung Gde Agung, terletak di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Keputusan ini diteken dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 227 tahun 2012. Lainnya ada Jalan Prof Dr Hamka, jalan layang non-tol di Casablanca, Jaksel. Keputusan Gubernurnya dikeluarkan pada Oktober 2014.

Tidak Monolitik, Pernah Menimbulkan Polemik

Tidak ada aturan tingkat nasional yang membahas soal penamaan jalan. Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Jimly Asshiddiqie mengatakan demikian pada 2013 lalu.

"Di beberapa daerah terserah wali kota. Di tempat lain ditentukan oleh gubernur. Dan ada juga yang harus memperoleh izin dari DPRD terlebih dahulu," ujarnya.

Di Kabupaten Bandung misalnya, menurut Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 16 tahun 2006 tentang Pedoman Pemberian Nama-nama Jalan, Gang, Gedung, Taman, dan Tempat Rekreasi di Wilayah Kabupaten Bandung, disebutkan bahwa kewenangan tergantung pada objek yang akan diberi nama.

Jalan Kabupaten adalah kewenangan Pemda. Begitu juga dengan Jalan Desa yang ada di dalam wilayah ibu kota Kabupaten Bandung. Sementara Jalan Desa yang ada di luar wilayah ibu kota, jadi kewenangan camat atas usul Kepala Desa atau Lurah.

Di sana tidak disebutkan bahwa otoritas terkait memang tidak wajib menampung aspirasi masyarakat. Di banyak daerah lain pun serupa.

Meski kurang diakomodir dalam penetapan nama jalan di banyak tempat, tapi pernah ada kasus ketika aspirasi masyarakat justru jadi penentu. Ini terjadi ketika wacana mengganti nama Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, menjadi Jalan Soeharto, batal terlaksana pada 2013 lalu.

Hal ini ditegaskan Muhammad Yamin, salah satu anggota Panitia 17, tim yang dibentuk mengkaji perubahan nama jalan Medan Merdeka. Ia menjelaskan bahwa nama Soeharto batal jadi nama jalan salah satunya karena mengakomodasi masukan masyarakat.

Alasan lain, kata Yamin, adalah karena Soeharto (dan Alin Sadikin, yang juga diusulkan jadi nama jalan) "belum jadi pahlawan".

Baca juga artikel terkait PERGANTIAN NAMA JALAN atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Rio Apinino
Editor: Zen RS