Menuju konten utama

Angka Kemiskinan Naik, Tingkat Ketimpangan Masih Stagnan

BPS mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat sebanyak 6,9 ribu pada Maret 2017 mencapai 27,77 juta orang dari September 2016 sebesar 27,76 juta orang.

Angka Kemiskinan Naik, Tingkat Ketimpangan Masih Stagnan
Warga beraktivitas di pinggir rel kereta api kawasan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (24/3). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar.

tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2017 mencapai 27,77 juta orang. Adapun besaran angka tersebut meningkat sebanyak 6,9 ribu dari jumlah penduduk miskin yang tercatat pada September 2016, yakni sebesar 27,76 juta orang.

Menurut BPS, jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode September 2016-Maret 2017 dipicu oleh kenaikan harga barang kebutuhan pokok sebagai akibat dari kenaikan harga bahan bakar minyak.

“Persentase penduduk miskin pada Maret 2017 adalah 10,64 persen. Turunnya tipis daripada September 2016, yakni 0,06 persen dari 10,70 persen. Kondisi ini relatif lebih lambat dibandingkan periode-periode sebelumnya,” kata Ketua BPS Suhariyanto saat jumpa pers di kantornya, Senin (17/7/2017) kemarin.

BPS pun lantas menjabarkan temuannya itu lebih lanjut dengan membaginya jadi dua kategori, yakni penduduk miskin di daerah perkotaan dan penduduk miskin di daerah pedesaan. “Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2017 adalah 7,72 persen, sementara persentase penduduk miskin di daerah pedesaan sebesar 13,96 persen,” ucap Suhariyanto.

“Oleh karena itu, untuk mengentaskan kemiskinan harus dimulainya dari pedesaan. Namun jangan abai juga dengan yang di perkotaan. Karena karakteristiknya berbeda, maka pendekatan yang harus dilakukan juga berbeda,” tambah Suhariyanto.

Apabila angka kemiskinan bertambah, maka tingkat ketimpangan yang diukur oleh gini ratio cenderung stagnan.

Berdasarkan laporan BPS, angka ketimpangan pada Maret 2017 adalah sebesar 0,393. Besaran tersebut hanya mengalami penurunan 0,001 poin jika dibandingkan dengan gini ratio pada September 2016 yang sebesar 0,394. Sementara itu, secara year-on-year penurunannya terjadi sebesar 0,004 poin dari angka 0,397.

Lebih lanjut, Suhariyanto menilai untuk menurunkan ketimpangan, pemerintah harus memperhatikan beberapa karakteristik penting dari kemiskinan itu sendiri.

“Misalnya, seperti di daerah pedesaan yang merupakan pusatnya orang miskin. Sebanyak 51 persen penduduk miskin bekerja di sektor pertanian. Sehingga kalau kita ingin mengurangi (ketimpangan) di sana, maka kita harus lebih mampu untuk menyejahterakan petani dan upah buruh petani,” jelas Suhariyanto.

Di samping itu, Suhariyanto juga mengklaim perluasan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) terbilang penting agar masyarakat yang tergolong miskin mempunyai modal agar lebih maju. “Tetapi perlu disadari, dampak langsung dari pendidikan dan kesehatan butuh waktu lama. Anak sekolah sekarang masuk, tidak bisa diukur pada tahun tersebut. Butuh jeda waktu,” ungkap Suhariyanto.

“Menurunkan gini ratio itu adalah persoalan luar biasa, dihadapi banyak negara, dan perlu usaha yang besar,” kata Suhariyanto lagi.

Masih dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Sairi Hisbullah mengatakan stagnannya tingkat ketimpangan disebabkan jumlah kekayaan yang dimiliki orang kaya semakin menurun, sementara pertumbuhan jumlah penduduk miskin melambat.

“Kenaikan (jumlah) paling tinggi itu terjadi pada masyarakat kelas menengah, bukan di lapisan yang terkaya maupun yang termiskin,” ucap Sairi.

Adapun saat disinggung mengenai lebih tingginya angka kemiskinan di pedesaan yang lebih tinggi daripada di perkotaan, Sairi membenarkan bahwa hal itu dapat berdampak pada terjadinya urbanisasi. Kendati demikian, Sairi mengatakan perpindahan itu tidak akan berpengaruh pada angka kemiskinan, baik di pedesaan maupun perkotaan.

“Migrasi dari desa ke kota itu sebetulnya solusi yang baik. Masalahnya kalau terjadi migrasi seperti itu, maka kelihatannya (jumlah) orang miskin di kota lebih banyak, daerah-daerah kumuh juga lebih banyak,” ujar Sairi lagi.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution juga sudah sempat memberikan tanggapannya terhadap hasil temuan BPS soal gini ratio tersebut. “Sebelumnya kita itu kan 0,394, sekarang 0,393. Sehingga praktis itu nggak naik tapi nggak turun juga. Yang namanya pemerataan, itu memang indikator yang tidak mudah berubah,” kata Darmin di Gedung Parlemen, Jakarta, kemarin (17/7).

“Bahwa dia tidak memburuk harus disyukuri. Memang tidak membaik, itu juga betul. Bagaimanapun ini ada hubungannya dengan macam-macam, seperti musim hujan, waktu panen, dan harga beras jatuh,” tutur Darmin.

Baca juga artikel terkait ANGKA KEMISKINAN atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Maya Saputri