Menuju konten utama

Ancang-Ancang Sebelum Melepas Status Lajang

Mau nikah muda? Tunggu dulu, ada sederet hal penting yang tak boleh diabaikan sebelum Anda ke KUA atau Catatan Sipil.

Ancang-Ancang Sebelum Melepas Status Lajang
Ilustrasi melepas masa lajang. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Seorang pemuda tampak mengecup mesra kening perempuan berhijab di hadapannya. Di belakangnya, beberapa orang menyaksikan momen romantis tersebut, satu di antaranya kelihatan sedang mengabadikan gambar sejoli ini. Dominasi putih pada pakaian si pemuda dan latar menambah kesan sakral di sana.

Inilah gambaran situasi pernikahan Salmafina Khairunissa dan Taqiyuddin Malik yang dipublikasikan di akun Instagram @salmafinasunan pada 16 September silam. Tak lama, perhatian publik pun terarah pada pernikahan mereka.

Salma dan Taqy bukan sosok yang asing di jagat media sosial. Salma ialah putri pengacara Sunan Kalijaga yang beberapa kali namanya mencuat karena menangani kasus-kasus hukum selebritas. Satu di antaranya ialah Jennifer Dunn yang sempat terjerat kasus narkoba. Ia juga dikabarkan berteman dengan selebgram Awkarin. Sementara, Taqy merupakan seorang hafiz al-Quran yang akun Instagramnya memiliki 367 ribu pengikut.

Apa yang lantas membuat pernikahan keduanya menjadi sorotan publik?

Baik Salma maupun Taqy sama-sama masih tergolong muda untuk memulai rumah tangga: Salma 18 tahun, sedangkan Taqy berumur 20. WHO mengategorikan orang-orang berusia 15-20 sebagai remaja tahap akhir. Tak jauh berbeda dengan kategorisasi dari WHO, Kartono (1990) mengklasifikasi orang-orang berumur 15-18 tahun sebagai remaja pertengahan dan mereka yang berusia 18-21 tahun sebagai remaja akhir.

Memang, dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan ialah 16, sedangkan bagi laki-laki 19 tahun. Namun, usia ketika Salma memutuskan menikah tak cukup jamak di kalangan remaja, terlebih mereka yang tinggal di kota dan berpendidikan minimal sampai SMA.

Berkaca dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), mayoritas remaja perempuan menganggap usia yang ideal untuk mereka menikah ialah 22-25. Dari perspektif mayoritas remaja laki-laki, usia ideal menikah bagi mereka ialah 24-25 tahun.

Baca juga:Kapan Harusnya Perempuan Menikah

Alasan lain pernikahan Salma menjadi sorotan, terlebih saat menikah, ialah keputusannya menjalani hubungan yang tak didahului proses pacaran. Sebelum mengenal Taqy, Salma juga berinisiatif memakai hijab. Untuk mengafirmasi keputusannya menikah dengan cara taaruf, Salma sempat membagikan ulang video dari @indonesiabertauhidofficial.

Dalam video tersebut, tampak seorang ustaz yang mengatakan sah-sah saja bercumbu, berpacaran, berhubungan biologis, asalkan sudah menikah. Salma kemudian membubuhi post-nya tersebut dengan caption “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’: 32)

Bagi sebagian orang, keputusan menikah muda diambil dengan alasan menghindari dosa atau zina yang bertentangan dengan ajaran agama. Ada anggapan, semakin dekat seseorang dengan pasangannya, semakin potensial hal-hal maksiat dilakukan selama berpacaran.

Ada pula yang menikah muda lantaran kadung mengandung anak seseorang. Daripada membikin aib, pilihan menikah pun diambil, apa pun risikonya di depan. Yang penting si jabang bayi punya ayah. Yang penting tak dibilang sundal dan ceroboh. Yang penting nama baik keluarga terjaga.

Baca juga:Mengapa Orang Menikah Siri?

Infografik Penting didiskusikan sebelum menikah

Orang boleh saja punya ragam alasan untuk menikah, baik pada usia muda maupun menunggu beberapa tahun lebih lama. Akan tetapi, yang pasti dikantongi adalah sejumlah PR yang mesti dituntaskan sebelum mengatakan “ya, saya setuju menjadi pasangan hidupmu”. Bukan hanya perkara modal resepsi. Itu hanya secuil dari persiapan besar menuju pelaminan.

Membangun rumah tangga butuh uang tak sedikit. Apakah ini artinya seseorang harus materialistis? Tidak demikian maksudnya. Bayangkan di mana pasangan akan tinggal setelah menikah; menempel dengan orangtua atau hidup berdua saja? Kalau berdua, menyewa atau membeli tempat tinggal?

Berapa besar yang mesti dikeluarkan untuk biaya hidup bulanan berdua? Apakah pemasukan dari pekerjaan sudah cukup untuk menyokong keluarga baru nanti? Tak peduli seberapa besar pun penghasilan kedua belah pihak, selama masih bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini tanpa kecemasan, PR pertama bisa dibilang aman tertuntaskan.

Masih terkait finansial, pasangan juga perlu mendiskusikan siapa yang akan membayar tagihan, berapa yang disimpan untuk pengeluaran rutin, atau bagaimana membuat keputusan untuk pengeluaran besar. Jangan anggap sepele hal-hal terkait ekonomi rumah tangga. Aspek ini menjadi alasan yang paling sering diungkapkan orang-orang bercerai di samping alasan perselingkuhan.

Memilih menikah dengan cara taaruf sesuai ajaran agama atau berpacaran terlebih dahulu merupakan kebebasan setiap orang. Kendati demikian, dalam segala konteks relasi, pengenalan kedua belah pihak menjadi kunci ketahanan hubungan. Lewat perbincangan, aktivitas bersama, bahkan percekcokan pun, seseorang bisa melihat aneka sisi calon pasangan hidup sebelum menyematkan cincin ke jemari satu sama lain.

Bagaimana mau menghormati, menghargai, serta memperlakukan pasangan dengan baik dan dapat berjalan seiring bila seseorang tidak pernah benar-benar mengenalnya?

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengenal pasangan adalah dengan meluangkan waktu perjalanan bersamanya. Pergi ke tempat-tempat tertentu, memperhatikan apa yang disuka dan tidak disuka pasangan, apa yang membuatnya kesal, marah, sedih, apa yang memicunya menjadi meledak, bagaimana cara meredakan konflik dengannya, adalah hal-hal yang mungkin ditemukan dengan melakukan perjalanan dengan pasangan.

Perkara relasi dengan calon mertua menjadi pertimbangan penting sebelum seseorang memutuskan menikah. Dalam banyak budaya di Indonesia, menikahi seseorang berarti menikahi pula keluarganya. Bukan hanya hubungan dengan pasangan yang perlu dibina. Kedekatan dengan calon mertua pun mendukung kelanggengan rumah tangga yang dibentuk nantinya.

Baca juga:Membongkar Ketegangan antara Menantu-Mertua Wanita

Meskipun sering dianggap tabu, membicarakan seksualitas kepada satu sama lain adalah hal yang tidak kalah penting. Komitmen untuk tidur dengan satu orang saja adalah perkara tidak remeh. Bila ada permasalahan seksual atau preferensi tertentu, sampaikan lebih dulu kepada pasangan sebelum menikah.

Perbincangan mengenai seksualitas ini penting untuk mengasah keterbukaan: salah satu komponen kunci dalam keberhasilan rumah tangga. Bila seseorang memiliki batasan-batasan tertentu dalam berhubungan seks, jangan menunggu setelah menikah baru mendiskusikannya.

Ketidakmampuan mengakomodasi kebutuhan satu sama lain di ranjang bisa menjadi kendala dalam pernikahan. Belum lagi kondisi infertil pada perempuan, yang dalam UU tentang Perkawinan dikatakan sebagai syarat yang diterima untuk menceraikan istri.

Sebagian orang menganggap bahwa pernikahan membuat suami atau istri memiliki hak penuh untuk mengetahui segala hal tentang kehidupan pasangannya. Di satu sisi, memang benar, keterbukaan adalah keutamaan. Namun, yang tidak boleh terlupakan ialah penghargaan atas ruang privasi setiap orang. Pertimbangan ini disampaikan oleh penulis dan konselor relasi Linda dan Charlie Bloom dalam Psychology Today. Penghargaan atas privasi seseorang bisa menciptakan kepercayaan yang kokoh dari pasangan.

Apa kesepakatan kedua belah pihak terkait kehidupan personal masing-masing? Apakah setiap hal yang dilalui bersama orang lain mesti diceritakan? Apakah mengetahui password pembuka kunci ponsel pasangan dan membaca pesan-pesan singkat di dalamnya sah-sah saja dan diperlukan? Perkara-perkara kecil dari aspek komunikasi dan privasi ini bukan tidak mungkin menjadi bom waktu di kemudian hari.

Pernikahan bukan sebatas perayaan, tidak sekadar mengundang keluarga dan kolega, lebih dari dekorasi dan riasan elok beberapa jam, tak cuma perkara jadi ratu dan raja sehari. Kalau macam-macam kesiapan belum terpenuhi, baiknya menimbang ulang keputusan menikahi seseorang.

Bila tak cukup matang, bukan hanya diri sendiri saja yang menanggung konsekuensinya. Bisa jadi, anak-anak yang dilahirkan kelak serta keluarga pun menelan pil pahit dari rumah tangga yang dibangun tanpa persiapan benar-benar.

Baca juga artikel terkait PERNIKAHAN atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani