Menuju konten utama

Ancaman Pidana Menanti dari Tradisi Balon Udara Saat Lebaran

Menhub Budi Karya sudah berkoordinasi dengan kepolisian untuk menertibkan kegiatan tradisi menerbangkan balon udara di sejumlah daerah saat Lebaran.

Ancaman Pidana Menanti dari Tradisi Balon Udara Saat Lebaran
Petugas menunjukkan balon udara tanpa awak yang diduga berasal dari Wonosobo, Jateng dan ditemukan di kawasan DI Yogyakarta saat jumpa pers di AirNav Cabang Yogyakarta, Sabtu (16/6/2018). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko.

tirto.id - Menerbangkan balon udara setiap perayaan Hari Raya Idul Fitri sudah menjadi kebiasaan sebagian warga di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mempersoalkan tradisi itu karena setelah dilepas ke udara, balon udara bisa menjangkau ketinggian 150 meter, sehingga dapat mengganggu aktivitas penerbangan dan keselamatan udara.

Pengamat penerbangan Alvin Lie menyatakan, ancaman terbesarnya adalah saat balon udara itu menerpa sayap pesawat. “Bahan balon ini berpotensi mengganggu pergerakan sayap pesawat, padahal sayap itu, kan, sumber aerodinamika yang menerbangkan pesawat itu sendiri,” kata Alvin kepada Tirto, Senin (18/06/2018).

Selain itu, kata mantan anggota Komisi V DPR RI ini, sayap pesawat juga merupakan komponen penting dari mekanisme kemudi pesawat, sehingga bila balon udara menerjang sayap pesawat, maka pesawat jadi sulit dikendalikan.

Alvin menjelaskan, balon-balon udara tersebut awalnya hanya terbuat dari bahan sederhana, seperti kertas dan diterbangkan dengan obor atau lilin sehingga tidak akan terbang terlalu tinggi dan dalam jangka waktu relatif singkat.

Namun belakangan, ukuran balon-balon itu menjadi semakin besar dan teknologi yang digunakan juga makin maju. Misalnya warga mulai memakai alat semacam kompor sebagai pemanas balon udara. Akibatnya, balon terbang semakin lama dan makin tinggi bahkan sampai masuk ke jalur penerbangan.

“Kalau alat pembakarnya masuk ke mesin pesawat, pasti mesin [pesawat] itu mati. Kalau bahan bakarnya itu masih ada, tidak tertutup kemungkinan mesin itu juga [bisa] meledak,” kata Alvin.

Plastik bahan balon juga bisa menutupi kaca kokpit jika balon menghantam pesawat dari depan. Kaca kokpit juga bisa pecah kalau menghantam alat pembakar balon udara, bahkan berpotensi menewaskan pilot.

"Kalau pecah, pilot mungkin juga tewas karena dihantam dengan kecepatan 800 km per jam," kata Alvin.

Alvin menyebut, balon udara juga dapat mengganggu kerja tabung pitot (dibaca: pitou), yakni seperangkat pipa yang terdapat di sekujur badan pesawat yang berfungsi untuk menangkap udara dari luar. Udara yang masuk akan menggerakkan berbagai sensor di dalam kokpit pesawat, seperti sensor kecepatan pesawat, ketinggian, dan mendeteksi apakah pesawat sedang mendaki atau menukik.

Menurut Alvin, gangguan pada tabung pitot dapat berakibat fatal. Pada 6 Februari 1996, misalnya, pesawat Birgenair yang hendak terbang dari Puerto Plata, Republik Dominika menuju Frankfurt, Jerman mengalami kecelakaan akibat serangga masuk ke tabung pitot dan menyebabkan pilot salah dalam menentukan kecepatan pesawat. Akibatnya 176 penumpang dan 13 kru pesawat tewas dalam kejadian ini.

Situasi semakin membahayakan karena balon-balon itu terbang tak tentu arah, hanya mengikuti hembusan angin yang kecepatannya mencapai 100 kilometer per jam. Bahkan Alvin menyebut ada balon yang mendarat di wilayah Kalimantan.

Selain itu, kata Alvin, radar pesawat juga tak dapat mendeteksi keberadaan balon-balon tersebut. "Jadi hanya mengandalkan kemampuan visual si pilot saja," katanya.

Kemampuan penglihatan pilot tentu terbatas. Jika cuaca dan pencahayaan sedang bagus, maka pilot dapat melihat keberadaan balon dari jarak 10 km sampai 20 km. Masalah akan terjadi bila cuaca sedang buruk, berkabut atau malam hari, sehingga pilot tak akan bisa mendeteksi kehadiran balon udara.

Alvin menjelaskan, wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan salah satu rute penerbangan terpadat di dunia. Saban hari ada ratusan pesawat mondar-mandir di pulau terpadat di Indonesia ini. Pesawat yang lewat pun tak hanya dari penerbangan domestik, pesawat-pesawat dari Australia yang hendak ke berbagai negara, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Tiongkok pun melewati wilayah tersebut.

Berdasarkan catatan AirNav Indonesia, sebuah badan usaha negara yang mengurusi navigasi pesawat di Indonesia, total sudah ada 84 laporan yang masuk. Aduan ini pun tak hanya berasal dari pilot domestik melainkan juga dari pilot internasional.

Selain mengganggu penerbangan, Alvin menjelaskan balon udara juga berpotensi menimpa kapal, entah itu yang berukuran besar atau kapal nelayan. Bahan balon yang notabene adalah plastik pun berpotensi mencemari lingkungan.

Menteri Perhubungan (Menhub), Budi Karya Sumadi pun tak main-main menangani masalah ini. Ia menyatakan akan menindak tegas orang yang mengganggu penerbangan. Menurut Budi, ancaman bahaya balon udara terhadap pesawat terbang sangat besar.

“Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 [tentang Penerbangan], menerbangkan balon udara bisa dipidanakan. Hukumannya dapat berupa kurungan penjara selama dua tahun atau denda Rp500 juta,” kata Budi Karya dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Minggu (17/6/2018).

Budi Karya mengatakan, pesawat rute Jakarta-Surabaya sampai harus memutar lewat Kalimantan untuk menghindari balon-balon udara. Budi mengaku, sudah berkoordinasi dengan kepolisian setempat untuk menertibkan praktik penerbangan balon udara tersebut.

Kementerian Perhubungan sudah mengatur soal penggunaan balon udara lewat Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 40 Tahun 2018 tentang Penggunaan Balon Udara Pada Kegiatan Budaya Masyarakat (Permenhub 40/2018).

Dalam beleid ini, balon udara bisa diterbangkan setelah melapor ke Kepolisian setempat, pemerintah daerah dan/atau kantor otoritas bandar udara setempat paling lambat tiga hari kalender sebelum pelaksanaan kegiatan.

Meski begitu, aturan ini tidak mengatur soal sanksi pidana. Pasal 13 Permenhub 40/2018 hanya menyebutkan: “Kelalaian dan/atau penyimpangan yang dilakukan oleh setiap orang yang mengoperasikan Balon Udara terhadap pelaksanaan ketentuan Peraturan Menteri ini, dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan."

Namun, di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan diatur sanksi pidana bagi orang yang membuat halangan yang dapat mengganggu penerbangan pesawat, yakni pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp100 juta.

Pemerintah dan kepolisian harus bertindak tegas. Apalagi pemerintah punya kepentingan menjaga citra Indonesia yang belum lama ini naik kelas soal keamanan penerbangan dan pencabutan larangan terbang maskapai penerbangan Indonesia di udara Eropa.

Baca juga artikel terkait LEBARAN 2018 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz