tirto.id - Sejumlah warga dari RW 12 Kelurahan Manggarai, Jakarta, mendatangi Ombudsman RI. Mereka menuntut transparansi dalam pelaksanaan proyek kereta api Bandara Soekarno-Hatta- Manggarai (Jakarta-Soetta). Mereka beralasan, proyek tersebut tidak transparan lantaran PT KAI dituding telah bertindak sewenang-wenang kepada warga.
"PT KAI telah merampas, menggusur tanah kami yang selama ini telah kami tempati selama bertahun-tahun," ujar salah seorag seorang warga, Syamsudin, dalam orasinya di Gedung Ombudsman, Kuningan, Jakarta, Jumat (7/4/2017).
Syamsudin beralasan, banyak warga sudah tinggal sejak 1950-an di wilayah RW 12 sebagai daerah yang akan terkena gusuran. Mereka juga menanyakan tentang legalitas sertifikat tanah PT KAI dengan nomor SHP No 47 Tahun 88.
Syamsudin menganggap proyek ini sudah abu-abu sejak proses perencanaan. Hal itu terlihat dari hasil studi kelayakan, Amdal, serta penyusunan anggaran yang tidak transparan. Ia mengaku, warga RW 12 selaku pihak yang akan digusur PT KAI tidak dilibatkan dalam proses perencanaan. Syamsudin khawatir adanya tindak korupsi dalam proyek tersebut lantaran proyek tersebut tidak transparan. Ia mencontohkanmasalah dana ganti rugi yang tidak sebanding dengan jumlah sebenarnya. Oleh karena itu, mereka datang ke Ombudsman untuk meminta kejelasan.
"Kedatangan kali ini ingin menuntut PT KAI yang telah merampas dan mengklaim tanah yang sudah kami tempati bertahun-tahun lamanya bahkan digusur tanpa ada diskusi dialog dengan warga," ujar Syamsudin.
Syamsudin menegaskan, dirinya tidak menolak kehadiran proyek double double track Manggarai-Soetta tetapi mereka hanya meminta kejelasan dari proyek tersebut.
"Kami tidak menolak akan tetapi hak kami terpenuhi sebagai ganti," tegas Syamsudin.
Salah satu warga Rajab (53) mengaku, mereka melihat tindakan PT KAI sudah sewenang-wenang. Pria yang karib disapa Daeng justru melihat, tindakan PT KAI sudah sewenang-wenang kepada warga dalam memeroleh tanah tersebut.
"Ini sangat-sangat dipaksakan oleh PT KAI. Dengan alasan Perpres tahun 2016 itu dia mau membonceng, memakai tanah warga," kata Daeng saat diwawancarai Tirto.
Daeng mengatakan, kisah mereka menuntut berawal dari adanya informasi kalau PT KAI mengundang warga RW 12 untuk sosialisasi proyek, Selasa (7/3/2017). Daeng mengaku, warga mendapat surat pemberitahuan pada hari Senin (6/3/2017). Daeng menjelaskan, para petugas KAI yang melakukan sosialisasi dengan cara yang dinilai kurang tepat.
"Pemilik rumah aja dia nanya-nanya kepada anak kecil. Dia catat sehingga itu nama almarhum semua yang dia sebutin dan juga itu adalah rumah-rumah yang sudah berpindah tangan sekitar tahun 60-an," kata Daeng.
Beberapa warga awalnya ingin datang dalam pertemuan yang berada di Manggarai itu. Akan tetapi, mereka batal menemui lantaran pada kop surat menyatakan sebagai pengguna aset PT KAI. Daeng selakupengurus RW menemui pihak KAI dan tidak ada warga yang ikut. Ternyata, pihak KAI menganggap tindakan pertemuan kala itu sudah dianggap sosialisasi dan mereka dianggap sebagai tanda setuju untuk digusur. Pada 22 Maret 2017, warga kembali diajak untuk bertemu dengan PT KAI di Cikini, Jakarta. Warga lag-lagi tidak mendatangi pertemuan tersebut.
Situasi memanas setelah mereka mendapat surat pemberitahuan penggusuran. Surat penggusuran keluar tanggal 4 April 2017.
"Terakhir kemarin datang suratnya yaitu pada tanggal 4 itu menyatakan surat pembongkaran tanggal 9," tutur Daeng.
"Jadi saya anggap itu orang gila ngaku-ngaku banget," lanjut Daeng.
Tanah mereka akan digantikan sebesar Rp 200.000-Rp 250.000 per meter. Berdasarkan informasi yang diperoleh, hanya 11 rumah yang terkena dampak proyek kereta Jakarta-Soetta. Akan tetapi, dirinya khawatir seluruh RW 12 kena proyek tersebut, apalagi Menhub Budi Karya mengatakan kalau mereka akan memindahkan 130 kepala keluarga (KK) padahal RW 12 terdiri 130 kk.
"Saat ini dia menghitung dari 11 nama yang disebut anak kecil, makanya dia sebut 11 rumah, padahal itu kurang lebih ada 30. Tapi Menteri Perhubungan sendiri sudah ngomong dia akan membebaskan sekitar 130 rumah untuk lahan," kata Daeng.
Di saat yang sama, Daeng mengaku, warga ingin tahu tentang asal muasal sertifikat KAI. Mereka meragukan sertifikat tanah bernomor SHP No 47 Tahun 88 milik PT KAI. Ia beralasan, warga sudah tinggal sejak 1950 di tanah tersebut. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, warga berhak untuk memiliki tanah negara apabila mereka merawat tanah tersebut. Dengan kata lain, tanah yang berada di RW 12 merupakan tanah milik mereka dan pemerintah seharusnya mensertifikasi tanah tersebut sebagai milik mereka.
Daeng mengatakan, kehadiran mereka ke Ombudsman guna mendapat kejelasan tentang sertifikat tanah bernomor SHP No 47 Tahun 88 milik PT KAI. Mereka menilai, kemunculan sertifikat milik PT KAI tersebut tidak jelas lantaran sertifikat harus memuat pembayaran pajak dan ada surat ukur. Sampai saat ini, masyarakat yang terus membayar pajak dan merawat tanah tersebut.
"Sekarang sertifikat itu hantu blao mana yang munculin? Kita yang bayar pajak dari tahun 50," tegas Daeng.
Ombudsman Akan Bergerak Cepat
Usai pelaporan, Divisi Advokasi PBHI Nasrul Dongoran mengatakan, mereka telah melaporkan tentang informasi proyek kereta api Jakarta-Soetta itu. Nasrul mengaku, dirinya bertemu dengan Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala saat melaporkan kasus tersebut. Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar 1 jam itu, Nasrul mengaku pihak Ombudsman akan memrposes permintaan warga RW 12 Kelurahan Manggarai.
"Komisioner berjanji akan menindaklanjuti informasi terkait rencana proyek strategis ini seperti apa," ujar Nasrul usai pelaporan di Gedung Ombudsman, Kuningan, Jakarta, Jumat.
"Untuk pengadaan tanah itu harus sesuai dengan UU pengadaan tanah, harus dibentuk tim pengkaji tanah, studi kelayakan seperti apa. Ini masyarakat tidak pernah dilibatkan," kata Nasrul.
Nasrul menegaskan, tim pengkaji tanah harus melibatkan warga, PT KAI, BPN, dan stakehoder lain. Saat ini, Nasrul menilai KAI telah sewenang-wenang dengan menetukan secara sendiri-sendiri. Mereka pun mengklaim KAI malah mengedepankan intimidasi agar proyek tetap jalan. Nasrul mengklaim warga tidak pernah mendapat sosialisasi dari PT KAI. Malah, ia mengaku, warga telah mendapat surat perintah pembongkaran pada Rabu (5/4/2017).
"PT Kereta Api malah tidak mau ketemu dengan warga. Mereka malah mengedepankan oknum-oknum kepolisian untuk mengintimidasi warga dan menggunakan cara arogansi untuk membongkar rumah warga," kata Nasrul.
Nasrul mengaku, langkah warga RW 12 meminta mediasi dengan Komnas HAM pun tidak mendapat respon berarti. PT KAI enggan berdialog dengan warga. PT KAI justru melanggar rekomendasi Komnas HAM dengan mengirim oknum polisi untuk mengantarkan surat pembongkaran.
Meskipun khawatir adanya tindak korupsi, Nasrul membenarkan kalau warga tidak mempunyai sertifikat sebagai barang bukti aduan. Akan tetapi, ia menegaskan, berdasarkan ketentuan, warga berhak memiliki tanah tersebut karena sudah membayar pajak dan hidup lama di tanah tersebut. Mereka pun menegaskan kalau sertifikat milik PT KAI sudah tidak berlaku dan tidak pernah ditunjukkan kepada publik. Ia khawatir sertifikat PT KAI sudah kadaluwarsa.
"Penertiban itu adalah salah satu maladministrasi karena mereka tidak pernah menguasai fisik. Warga menguasai fisik dan berkewajiban pajak dan masyarakat. Jika dihitung dari masa jangka waktu hak pakai, maka sertifikat hak pakai no 47 tahun 88 itu sudah kadaluwarsa," kata Nasrul.
Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala mengaku mereka akan segera menindaklanjuti keluhan warga RW 12, Kelurahan Manggarai. Dalam pertemuan, Adrianus mengaku warga mengeluhkan kronologi cerita sengketa antara warga RW 12 dengan PT KAI.
"Saya tanya apakah sudah ada sosialisasi. Undangan sudah, tapi kami nggak mau datang karena bukan sosialisasi. Itu satu pihak," kata Adrianus saat ditemui usai pelaporan di Ombudsman, Jakarta.
Adrianus menuturkan, mereka akan bergerak cepat dalam menindaklanjuti laporan ini karena waktu penggusuran berjalan dalam waktu beberapa hari ke depan.
"Kan ada ngancam untuk bongkar, kami harus pakai reaksi cepat kami," ujar Adrianus.
Mereka akan memanggil PT KAI untuk membahas keluhan warga RW 12. Mantan Kompolnas ini memrediksi, mereka akan memanggil KAI pada pekan depan. Ia menambahkan, Ombudsman juga akan memerintahkan kepada PT KAI untuk tidak membongkar rumah warga selama proses penyelidikan Ombudsman selesai. Mereka juga akan memantau langsung lokasi rencana penggusuran untuk mendapatkan data valid dalam pelaksanaan proyek tersebut.
Adrianus menghimbau langkah-langkah ekstrim seperti penggusuran sebaiknya dihentikan. Ia menegaskan, situasi lapangan bisa lebih runyam jika penggusuran terjadi. Apabila PT KAI tetap membongkar selama proses penyelidikan Ombudsman berjalan, mereka akan melapor kepada pihak berwajib dan melapor ke presiden.
"Kami lapor polisi dong itu saja dan kami punya wewenang untuk melapor langsung kepada presiden. Jadi kalau ada kejadian ada yang dicopot, jangan salahkan kami," kata Adrianus.
Klaim Tanah Warisan Kolonial
Saat dikonfirmasi, PT KAI siap memberikan keterangan kepada Ombudsman tentang pelaporan tersebut. Mereka pun siap memberikan keterangan yang diminta warga.
"Kita siap datang guna memberikan informasi," ujar Kepala Humas Daop 1 Suprapto saat dihubungi Tirto, Jumat.
Suprapto mengatakan, mereka akan membawa sejumlah dokumen untuk meluruskan informasi tentang tudingan ketidaktransparanan KAI dalam proyek kereta Manggarai-Soetta. Mereka pun akan membawa sejumlah dokumen mulai dari SK Keputusan Direksi PT KAI nomor KEP.U/JB.312/IV/11/KA-2013 dan lembar sertifikat kepemilikan tanah SHP No 47 Tahun 88. Ia menegaskan, penertiban yang sudah dilakukan KAI dalam proyek kereta Manggarai-Soetta berdasarkan Perpres no 83 Tahun 2011 tentang Perkeretaapian.
Suprapto menegaskan, KAI memiliki surat kepemilikan tanah sejak lama. Ia menjelaskan, sertifikat tersebut berasal dari sertifikat kolonial Belanda. Mereka hanya menasionalisasi aset yang sebelumnya dimiliki pemerintah kolonial. Oleh karena itu, kepemilikan lahan mereka jauh lebih lama daripada warga.
"Jadi intinya ini merupakan aset kekayaan negara yang terkuasai," kata Suprapto.
Suprapto menjelaskan, surat KEP.U/JB.312/IV/11/KA-2013 berisi tentang pedoman penertiban bangunan di atas aset tanah PT Kereta Api Indonesia. Dalam lembaran tersebut, PT KAI menentukan bahwa satu bangunan tembok per meter persegi dihargai Rp 250.000 sementara bangunan tanah dihargai Rp 200.000 per meter per segi. Penanganan dilakukan bekerja sama dengan aparat pemerintah daerah setempat. KAI pun menegaskan kalau pembayaran dan ongkos pindah akan ditransfer langsung ke rekening yang berhak sebagai bukti transparansi publik dalam pelaksanaan. Suprapto menegaskan, mereka tidak akan mengeluarkan dana di luar ketentuan surat tersebut meskipun publik meminta ada beban biaya lebih besar dalam proses penggusuran.
"Kita dari pihak PT KAI telah melaksanakan sesuai dengan prosedur dan aturan yang ada. Jika itu tanah pribadi maka ada tim juru taksir harga. Selanjutnya jika itu tanah PT KAI, maka kita sudah tangani sesuai SK direksi PT KAI," kata Suprapto.
Suprapto menegaskan, mereka juga tidak akan melakukan penggusuran kepada semua wilayah RW 12. Ia menepis pandangan masyarakat bahwa PT KAI akan merubuhkan semua bangunan.
"Bangunan yang kita butuhkan hanya 11 bangunan, sesuai dengan bahan presentasi yang saya kirimkan. Bangunan tersebut dibutuhkan untuk pembangunan pondasi," kata Suprapto.
Suprapto menjelaskan, pihak KAI akan tetap menindak tegas warga yang masih tetap tinggal di 11 rumah yang akan digusur. Mereka pun sudah memberikan pemberitahuan kepada warga dengan sosialisasi sekali di Cikini, Jakarta. Selain itu, mereka juga sudah mengeluarkan surat peringatan sebanyak 3 kali sebelum menggusur pada 9 April mendatang. Mereka akan meminta bantuan aparat untuk penegakan aturan tersebut, meskipun Ombudsman meminta untuk dihentikan sementara waktu.
"Kalau masih tetap bertahan, kita akan upayakan penegakan hukum," kata Suprapto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zen RS