tirto.id - Perancis mencetak empat gol di final Piala Dunia 2018. Kroasia, lawannya, hanya mampu membalas dua kali. Didier Deschamps, yang pernah dikenal sebagai “gelandang pengangkut air” sewaktu masih aktif bermain, pun berhasil “menyajikan anggur terbaik” untuk warga Perancis. Momennya juga tepat: sehari setelah perayaan Bastille Day.
Usai Nestor Pistana, wasit di laga final, meniup peluit panjang tanda pertandingan bubar, Emmanuel Macron, Presiden Perancis, langsung beranjak dari tempat duduknya di tribun kehormatan Stadion Luzhniki, Moskow. Ia mengepalkan tangan dan berulangkali meninju udara. Ia lalu turun ke lapangan untuk mengucapkan selamat kepada para pemain Perancis.
Kepada pahlawan-pahlawan Perancis di Luzhniki malam itu, Macron mengatakan, “Saya mengatakan kepada Anda [para pemain Perancis] dan pelatih untuk membawa pulang bintang kedua [gelar Piala Dunia kedua]. Anda benar-benar melakukannya! Anda membuat kami bermimpi, Anda memainkan sepakbola yang luar biasa, Anda membuat 60 juta orang-orang Perancis dan anak-anak di mana pun mereka berada bermimpi dan Anda akan melihatnya saat kembali ke rumah nanti. Saya ingin mengatakan kepada Anda bawah Anak-anak itu sangat berterima kasih kepada Anda, juga kepada seluruh tim.”
Kroasia memang lawan yang sulit untuk dikalahkan. Anak asuh Zlatko Dalic seperti memiliki nyawa serep. Pada fase sistem gugur mereka selalu ketinggalan terlebih dahulu, dari Denmark, Rusia, juga Inggris, tapi berhasil menjadi pemenang setelah melewati perjuangan menegangkan. Namun sebelum pertandingan final, para pengamat sepakbola Perancis bahkan sudah yakin bahwa Perancis akan meraih gelar Piala Dunia kedua di Rusia.
Marcel Desailly,salah satu pahlawan Perancis di Piala Dunia 1998, menulis kalimat penutup dalam salah satu kolomnya di Guardian: “Saya percaya diri untuk mengatakan bahwa 20 tahun setelah Didier Deschamps memenangkan Piala Dunia sebagai kapten, dia akan kembali mengangkat tropi sebagai seorang pelatih.” Simon Kuper, menulis judul Financial Times, ”Tim muda Perancis akan mengakhiri mimpi Kroasia.”
Saat para pemain Perancis menginvasi konferensi pers yang sedang dilakukan Deschamps sesudah pertandingan sambil meneriakkan nama pelatih tersebut, menjadi jelas bahwa Deschamps adalah alasan utama mengapa para pengamat sepakbola itu tak keliru dalam memperkirakan masa depan.
Perancis Menunggu, Kroasia Menekan
Di laga final, Deschamps mengganti formasinya. Ia memainkan formasi 4-4-2; Lucas Hernandez, Samuel Umtiti, Raphael Varane, dan Benjamin Pavard tetap menjadi empat pemain belakang; Pogba dan Kante menjadi gelandang tengah, diapit oleh Mbappe dan Matuidi; dan di lini depan, Giroud didampingi oleh Griezmann.
Perubahan yang dilakukan Deschamps tentu dapat dimengerti. Mantan kapten Perancis tersebut ingin meminimalisir serangan Kroasia dari sisi lapangan [kanan maupun kiri] yang selama Piala Dunia 2018 menjadi sektor andalan Kroasia untuk menggempur pertahanan lawan. Untuk membantu Pavard dan Lucas Hernandez, Matuidi dan Mbappe dimainkan lebih ke dalam.
Sementara itu, Zlatko Dalic kembali memainkan formasi 4-1-4-1: Vrsaljko, Lovren, Vida, dan Strinic bermain di belakang; Brozovic menjadi gelandang bertahan tunggal, di belakang Modric, Rakitic, Rebic dan Perisic; di depan, Dalic mengandalkan Mario Mandzukic.
Meski bermain dengan formasi berbeda, pendekatan taktik yang diterapkan Deschamps tak berbeda dengan laga-laga sebelumnya: Perancis bermain menunggu dan mengandalkan serangan balik. Sementara Dalic melakukan sedikit perubahan terhadap counter-pressing yang diterapkan di laga semifinal. Jika saat melawan Inggris mereka lebih sering menekan para pemain bertahan Inggris, di pertandingan final mereka justru mengincar gelandang-gelandang Perancis. Tujuannya: mereka ingin memperlambat tempo permainan Perancis sekaligus menghambat pemain-pemain tengah Perancis dalam merancang serangan balik.
Karena pendekatan taktiknya itu, Kroasia bahkan sudah melakukan empat pelanggaran pada 15 pertama. Semua pelanggaran itu dilakukan di daerah gelandang Perancis beroperasi: Rebic melakukan dua kali pelanggaran, Modric dan Mandzukic masing-masing melakukan satu kali pelanggaran.
Meski pendekatan Dalic tersebut sukses dalam memperlambat tempo permainan dan menghambat counter-attack Perancis, Kroasia ternyata juga kesulitan membongkar pertahanan Perancis. Di sisi kiri, Matuidi berhasil membantu Hernandez dalam menghentikan kombinasi Modric, Rebic, dan Sime Vrsaljko. Di sisi kanan, Mbappe bersama Pavard juga berhasil membatasi pergerakan Perisic dan Strinic. Dalam satu momen, untuk mempermudah kinerja Pavard, Mbappe bahkan melalukan track-back hingga ke dalam kotak penalti Perancis.
Dengan pendekatan itu, kedua tim tak sekali pun melakukan percobaan tembakan ke arah gawang pada 15 menit pertama. Satu-satunya yang menonjol saat itu hanyalah penguasaan Kroasia: 62,9% berbanding 37,1%.
Kante melawan Modric
Dalam salah satu analisisnya di Sport Illustrated, Paul Carr menjelaskan bahwa N’golo Kante dan Luca Modric mempunyai peranan penting dalam sistem permainan Perancis dan Kroasia. Kante adalah kunci pertahanan Perancis sedangkan Modric merupakan kunci serangan Kroasia. Karena posisi mereka bersinggungan, duel keduanya bisa sangat berpengaruh terhadap hasil akhir pertandingan.
Pada awal-awal laga, Kante memang berhasil menjauhkan Modric dari area sepertiga akhir. Hingga menit ke-17 lebih dari 50% sentuhan bola Modric dilakukan di daerah permainan Kroasia. Saat ia berhasil masuk ke daerah sepertiga akhir, Modric pun lebih sering menyentuh bola di sisi kanan daripada di area tengah.
Namun, setelah Perancis unggul terlebih dahulu pada menit ke-18 melalui gol bunuh diri Mario Mandzukic, Kroasia melakukan sedikit perubahan. Jika semula Racitic dan Rebic lebih sering berada di sisi lapangan, dua pemain sayap tersebut kemudian sering melakukan pergerakan diagonal ke area tengah lapangan. Perubahan taktik itu menguntungkan Kroasia. Dalam sebuah serangan balik, Kante melakukan pelanggaran terhadap Perisic yang membawa bola ke area tengah. Pemain Chelsea itu pun mendapatkan kartu kuning dari wasit.
Karena kartu kuning itu, Kante lebih berhati-hati dalam bertahan. Dampaknya, Modric semakin berani menguasai bola di area sepertiga akhir. Sementara ia hanya melakukan 6 sentuhan di daerah permainan Kroasia, sentuhan bola Modric di daerah sepertiga akhir meningkat menjadi 11 kali. Permainan Kroasia menjadi lebih hidup. Kroasia pun berhasil melakukan 5 kali percobaan tembakan ke arah gawang hingga turun minum. Padahal, sebelum Kante mendapatkan kartu mereka hanya dua kali melakukan percobaan tembakan ke arah gawang.
Selain meningkatnya pengaruh Modric terhadap permainan Kroasia, gol balasan Kroasia yang diciptakan oleh Ivan Perisic juga mampu menunjukkan kikuknya permainan Kante setelah mendapatkan kartu kuning: sebelum membidik gawang Lloris, pemain Inter Milan tersebut berhasil melewati Kante dengan mudah.
Menariknya, saat momentum Kroasia sedang bagus-bagusnya, mereka justru kembali ketinggalan dari Perancis. Pada menit ke-38 Ivan Perisic menyentuh bola dengan tangannya di dalam kotak penalti Kroasia, wasit meminta bantuan Video Assitant Referee [VAR] untuk mengambil keputusan, dan Griezmann berhasil mencetak gol kedua Perancis melalui titik 12 meter.
Babak pertama pun berakhir dengan satu catatan yang sangat menarik: Perancis berhasil mencetak dua gol hanya dengan satu kali percobaan tembakan ke arah gawang.
N’Zonzi (dan Pogba) Menyeimbangkan Perancis
Pada babak kedua, Deschamps mengambil keputusan yang cukup berani: pada menit ke-55, ia menarik keluar Kante dan memasukkan N’Zonzi. Selain itu, sadar bahwa Kroasia akan lebih sering menyerang dari sektor kiri pertahanan Perancis, Deschamps juga menginstruksikan Griezmann dan Giroud untuk bermain lebih ke dalam, berdekatan dengan N’Zonzi. Setidaknya Deschamps mempunyai dua tujuan: Griezmann dan Giroud bisa membantu bertahan sekaligus menjembatani lini tengah Perancis dalam melakukan serangan balik.
Pendekatan Deschamps tersebut menjadi sangat menguntungkan saat intensitas counter-pressing Kroasia ternyata menurun pada babak kedua. Menurunnya intensitas pressing pemain-pemain Kroasia setidaknya dapat dilihat dari pelanggaran yang dilakukan pemain-pemain Kroasia. Pada babak pertama Kroasia melakukan 7 pelanggaran, 5 di daerah pertahanan Perancis dan 2 di daerah mereka sendiri. Sedangkan pada babak kedua, 5 dari 7 pelanggaran yang dilakukan pemain-pemain Kroasia dilakukan di daerah pertahanannya sendiri.
Giroud dan Griezmann yang sering bergerak ke sisi kanan pertahanan Perancis kemudian membuat bek-bek Kroasia fokus terhadap mereka. Akibatnya, Mbappe hanya berhadapan dengan Strinic. Pogba, yang mulai sering mendapatkan kesempatan untuk memulai serangan balik Perancis karena menurunnya intensitas pressing pemain-pemain Kroasia, berhasil memanfaatkan situasi tersebut. Setidaknya, dia dua kali mengirimkan umpan terobosan terukur ke arah Mbappe. Jika umpannya yang pertama hanya menjadi peluang, umpannya menjadi awal dari gol ketiga Perancis. Menariknya, Pogba sendiri yang menjadi eksekutornya.
Selain karena Pogba dan Mbappe, gol ketiga Perancis tersebut berawal umpan-umpan kombinasi yang dilakukan Hernandez, N’Zonzi, Griezmann, dan Giroud di sektor kiri pertahanan Perancis. Hernandez memberikan umpan pendek ke arah Giroud. Penyerang Chelsea tersebut lalu mengirimkan umpan ke N’Zonzi yang diteruskan kepada Griezmann. Griezmann kemudian mengirim umpan ke arah Pogba yang langsung mengirimkan umpan terobosan ke arah Mbappe yang berada jauh di sisi kanan lini serang.
Setelah Perancis berhasil menambah keunggulan melalui Kylian Mbappe pada menit ke-65, perlawanan Kroasia dapat dikatakan berakhir. Melalui N’Zonzi, setidaknya hingga sebelum Mario Mandzukic memperkecil keunggulan Perancis karena kesalah Lloris, Perancis berhasil mengontrol jalannya pertandingan. Dalam kurun waktu tersebut Perancis berhasil unggul penguasaan bola, 70,6% berbanding 29,4%. Dan 7 dari 14 umpan sukses N'Zonzi di sepanjang pertandingan juga juga terjadi dalam kurun waktu tersebut.
Kroasia memang mampu kembali dominan setelah gol Mandzukic. Kramaric dan Pjaca, yang dimasukkan Dulic untuk menggantikan Rebic dan Strinic, membuat serangan lebih hidup. Namun, mereka gagal mencetak gol tambahan: Perancis 4, Kroasia 2. Karena kemampuannya dalam beradaptasi, Deschamps pun berhasil menyamai catatan Mario Zagallo dan Franz Beckenbauer: sebagai pemain dan pelatih, Deschamps pernah menjadi juara dunia.
Editor: Zen RS