Menuju konten utama

Anak Tumbuh Remaja, Cinta Monyet pun Bersemi

Suka tidak suka, orangtua akan menghadapi kondisi saat anak mengalami situasi yang sering disebut cinta monyet.

Anak Tumbuh Remaja, Cinta Monyet pun Bersemi
Ilustrasi anak jatuh cinta. Getty Images/istockphoto

tirto.id - Cinta monyet? Ucapan yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari dan disematkan pada anak-anak untuk menandai sebuah situasi dan rasa antara laki-laki dan perempuan yang mudah berubah (KBBI). Cinta monyet sering juga dianggap yang wajar bagi sebagian orangtua termasuk oleh Bunda Wijaya.

Bunda Wijaya punya putra yang masih duduk di bangku kelas 5 SD. Ia membagikan kisah anaknya soal pengalaman cinta monyet. Dengan bercampur senyum geli, Bunda Wijaya berujar soal anaknya mengucap nama seorang teman perempuan satu kelasnya dengan embel-embel kata suka. Bagi Bunda Wijaya, apa yang diucapkan oleh putranya, ihwal yang tak serius.

“Dia mungkin hanya kagum saja sih, anak sekecil dia saya rasa belum mengerti perasaan macam-macam, apalagi persoalan pacaran,” cerita Bu Wijaya kepada Tirto.

Namun, jawaban itu justru memunculkan pertanyaan mendasar, bagaimana seharusnya orangtua menyikapinya?

Baca juga: Alasan Cinta Pertama Abadi dalam Ingatan

Carver K. dalam National Estimates of Adolescent Romantic Relationships melalui penelitiannya pada 2003 menemukan bahwa sebagian besar anak usia 15 tahun telah memiliki hubungan romantis dengan lawan jenisnya. Dua belas tahun kemudian, penelitian tersebut dikembangkan lagi oleh Amanda Lenhart, Monica Anderson dan Aaron Smith dari Pew Research.

Mereka meneliti 1.060 anak berusia 13-17 tahun di Amerika, dan menanyakan pengalaman mereka terkait hubungan romantis dengan teman yang lain. Berdasarkan data yang dipublikasikan pada 2015 tersebut, ditemukan sejumlah 35 persen anak usia 13-17 tahun mengaku telah mempunyai hubungan romantis dan 64 persen mengaku belum pernah menjalani hubungan romantis.

Dari total anak yang mengaku tengah menjalin hubungan romantis tersebut, terdapat 14 persen anak yang mengaku telah menjalani hubungan serius, 5 persen pacaran namun tidak begitu serius, dan 16 persen mengaku belum pernah melakukan kencan atau jalan berdua.

Baca juga: Anak yang Doyan Jumpalitan adalah Anak Cerdas

Setiap anak memiliki usia ‘jatuh hati’ yang berbeda dan memang tidak ada standar baku yang mengatur dan menyarankan mereka untuk memiliki perasaan suka dengan lawan jenis pada masa tertentu. Pada dasarnya, perasaan cinta sendiri sudah dimiliki setiap anak semenjak bayi. Mulai dari ketergantungan mereka terhadap cinta ibu itulah, perasaan-perasaan sejenisnya berkembang dalam diri setiap anak.

"Saya pikir apa yang orangtua perlu pahami adalah tahapan anak memiliki kecenderungan menyukai lawan jenis merupakan perkembangan yang alami," kata terapis Kevin T. Navin, seorang pekerja sosial berlisensi klinis dengan Klinik Keluarga Walker di University of Arkansas untuk Ilmu Kesehatan.

Madeline R. Vann, seorang master lulusan Tulane University School of Public Health and Tropical Medicine in New Orleans, LA. sekaligus penulis kesehatan selama 15 tahun ini menyatakan bahwa anak yang memiliki hubungan berkualitas tinggi dengan keluarga, terutama orangtua akan cenderung membuat anak tidak buru-buru tertarik dalam menjalin hubungan romantis atau relasi intens dengan lawan jenis di usia dini.

Baca juga: Jangan Ajarkan Disiplin dengan Kekerasan

Infografik Ketika Anak Jatuh Cinta

Terlepas dari hal itu, yang perlu dipahami setiap orangtua terhadap anak-anak yang mengaku telah jatuh cinta adalah orangtua sejatinya tengah berhasil membesarkan seorang anak yang mempunyai kasih sayang yang besar terhadap orang lain. Perasaan dan emosi adalah dua hal yang turut berkembang dalam pertumbuhan setiap manusia. Sehingga merasa tertarik dengan lawan jenis merupakan hal yang wajar.

Namun, tidak jarang terdapat orangtua yang mempunyai tingkat kekhawatiran dan kecemasan tinggi atas salah satu proses perkembangan tersebut. Akibatnya, sejumlah orangtua akan secara terang-terangan melarang dan membatasi anak-anak mereka berinteraksi intens dengan lawan jenisnya. Di sisi lain, bisa jadi larangan-larangan tersebut adalah pemicu munculnya kebohongan dari anak untuk menyembunyikan perasaan dan keinginannya.

Sebenarnya, hal ini adalah kesempatan orangtua untuk menantang dirinya sendiri untuk belajar menjadi sahabat yang baik untuk anak-anaknya. Di titik ini, pengertian, pendekatan yang halus dan saling berbagi pengalaman adalah hal-hal yang dibutuhkan anak dari orangtuanya.

Bagi orangtua, ada beberapa hal yang sebaiknya dipelajari bersama di fase-fase awal seorang anak saat jatuh hati, alih-alih melarang mereka dan secara tidak sengaja membiarkan mereka menjadi pembohong.

Baca juga: Laki-Laki Tak Menangis Bukan karena Tak Sedih

Madeline R. Vann dalam tulisan Do Kids Fall in Love? Turut menjelaskan beberapa pendekatan yang bisa dilakukan orangtua dalam rangka menjaga kesehatan emosional anak yang tengah menjalani ‘cinta pertama’ mereka. Madeline menyatakan bahwa orangtua sebaiknya memberi contoh yang baik perihal hubungan romantis yang sehat. Hal ini bisa dicontohkan dengan menceritakan kehidupan pernikahan kita atau juga perihal bagaimana menghargai sebuah komitmen untuk mengajarkan mereka bagaimana mencintai dan merawat apa yang mereka cintai.

Selain itu, Kevin T. Navin juga menyampaikan perlunya orangtua soal pemahaman anak perihal keseimbangan dalam menjalani hubungan yang sehat: hubungan yang sehat tidak melulu berdasarkan perasaan semata, namun juga logika.

“Penting untuk mengerti mereka bahwa hubungan romantis tidak hanya menggunakan perasaan semata, namun juga memakai kepala. Itu penting untuk menjaga self-respect kita semua,” kata Navin.

George Scarlett, seorang asisten profesor psikologi di Eliot-Pearson Department of Child Development, Tufts University in Medford turut menyarankan bahwa orangtua perlu juga menceritakan pengalaman masa lalu mereka, agar anak mempunyai pemahaman bahwa hubungan romantis tidak selamanya bahagia.

"Bahkan rasa sakit karena hubungan romantis yang gagal pada akhirnya akan tumbuh menjadi benih kebijaksanaan yang membawa cinta lebih besar di setiap anak di kemudian hari," kata George Scarlett.

Madeline juga menjelaskan mengenai pentingnya diskusi bersama antara orangtua dan anak. Salah satunya dapat dilakukan ketika menonton televisi, yaitu dengan membuka bahasan diskusi perihal acara televisi yang terkait dengan hubungan romantis. Penting juga untuk menetapkan beberapa aturan dasar, terutama terkait rutinitas keluarga, sehingga hubungan romantis mereka tidak mengganggu agenda keluarga yang selama ini berjalan.

Selain itu, orangtua sebaiknya selalu menjadi pendengar yang baik untuk mereka. Namun begitu, Kevin T. Navin juga turut mengingatkan agar orangtua tetap menjaga jarak. Anak akan merasa tidak nyaman jika orangtua masuk terlalu dalam pada hubungan romantisnya.

"Yang saya lihat, masalah antara orangtua dan anak akan meningkat ketika orangtua terlalu terlibat dalam hubungan romantis anak mereka. Anda terlalu dini menjadi ‘mertua masa depan’ di cinta pertama anak-anak Anda,” kata Kevin.

Baca juga artikel terkait JATUH CINTA atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Yulaika Ramadhani
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Suhendra