tirto.id - Pengalaman masa kecil yang paling berkesan bagi Nesia Aggelita (23) adalah saat kedua orang tuanya mengajak dia ke sawah. Dari kecil, ia telah diajari cara menanam dan memanen hasil tani dari sebidang sawah milik keluarganya, di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo. Dari situ mimpinya untuk menjadi petani bermula.
Mimpi tersebut sedikit demi sedikit mulai diwujudkan di usianya yang masih terbilang muda. Sembari berkuliah di Jurusan Agribisnis, Universitas Terbuka Yogyakarta, Nesia aktif menggarap sawah milik keluarganya. Selain itu, ia juga mulai merintis usaha pertanian terpadu dengan mengelola kolam lele dan budidaya kumbung jamur.
“Dengan bertani kita bisa berdaulat pangan. Mimpiku ingin mendirikan family farming, punya ternak, ikan, tanaman sendiri yang nantinya bisa menghidupi kita sendiri. Jadi, bisa menghasilkan makanan sehat untuk keluarga dan lingkungan dari apa yang kita produksi sendiri,” ceritanya kepada Tirto, Selasa (23/7/2024).
Berbeda dengan kisah Nesia, Michael Raffy Sujono (26), pemuda asal Sukabumi, Jawa Barat, tidak memiliki latar belakang petani. Namun, tujuh bulan setelah lulus dari jurusan Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada (UGM), pada awal tahun 2020 lalu, Dipa –panggilan akrabnya– memutuskan pulang ke kampung halamannya dan bertani.
Dipa mengaku keinginannya untuk menjadi petani bermula ketika ia aktif di gerakan sosial bernama Sekolah Tani Muda. Dari situ, perhatian dan kepeduliannya terhadap isu lingkungan semakin besar. Ia percaya, bahwa praktik pertanian yang baik bisa jadi salah satu upaya untuk membuat ekosistem lebih baik.
“Ketiga hal yang saling berkelindan antara passion, keresahan, juga cita-cita sosial itu yang mendasari saya jadi petani. Menurut saya dunia pertanian bisa jadi salah satu alat untuk membangun dunia yang lebih baik yang dalam anggapan saya,” ceritanya kepada Tirto, Selasa (23/7/2024).
Sektor Pertanian yang Kian Menua
Nesia dan Dipa merupakan contoh anak muda dari kalangan Gen Z yang memilih untuk menjadi petani. Sayangnya, saat ini, tak banyak anak muda yang memiliki minat untuk menjadi petani seperti mereka.
Survei Jakpat pada tahun 2022 menunjukkan, hanya enam dari 100 Gen Z yang berminat bekerja di bidang pertanian. Ironis, mengingat Indonesia dikenal sebagai negara agraris.
Dari survei terhadap 135 orang responden berusia antara 15-26 tahun tersebut, diperoleh alasan kenapa Gen Z enggan menggeluti bidang pertanian. Kebanyakan responden menjawab kalau keinginannya sebab bidang pertanian dianggap tidak memiliki perkembangan karir (36,3 persen), penuh risiko (33,3 persen), pendapatannya kecil (20 persen), tidak dihargai (14,8 persen), dan tidak menjanjikan (12,6 persen).
Survei tersebut juga menunjukkan bidang pekerjaan di sektor pendidikan, teknologi informasi, kesehatan, pertambangan, dan seni kreatif, lebih menarik minat mereka.
Sementara, data hasil Sensus Pertanian 2023, menggambarkan petani di Indonesia menjadi profesi yang menua. Berdasar data Sensus Pertanian 2023 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) petani yang berusia senja lebih dominan dibanding petani muda.
Dari sekitar 29 juta orang petani yang terdata, 70 persen di antaranya masuk pada golongan Generasi X (usia 43-58 tahun, 42,39 persen) dan Baby Boomer (usia 59-77 tahun, 27,61 persen).
Jumlah kelompok Gen Z (usia 11-26 tahun) hanya menyumbang 2,14 persen, atau sekitar 627 ribu, dari total jumlah petani di Indonesia. Angkanya bahkan lebih kecil dibanding kelompok tertua (dalam klasifikasi BPS), Pre-Boomer (berusia di atas 78 tahun) sebesar 2,24 persen.
Sensus tersebut juga menyoroti adanya peningkatan proporsi pengelola Usaha Tani Pribadi (UTP) yang berumur lebih dari 56 tahun, sementara proporsi petani yang berumur di bawah 45 tahun cenderung menurun.
Jika dibandingkan data tahun 2013, proporsi petani yang berusia 55-64 tahun mencapai 23,2 persen. Angka ini naik dibanding hasil Sensus Pertanian 2023 ketika proporsinya 20,01 persen. Tren yang sama juga terlihat pada petani berusia 65 tahun ke atas, yang proporsinya meningkat dari 12,75 persen pada tahun 2013, menjadi 16,15 persen pada tahun 2023.
Sebaliknya, di kelompok petani berusia 25-34 tahun dan petani berusia 35-44 tahun, proporsinya cenderung menurun dalam periode 10 tahun pada 2023.
Hasil survei secara umum menunjukkan, jumlah petani yang tersurvei pada tahun 2023 ada 29,3 juta, turun 7,42 persen dari 31,7 juta petani yang terdata tahun 2013.
Berdasar Survei Pertanian 2023 juga terekam, petani paling banyak berusia 45-54 tahun (27,09 persen), diikuti kelompok usia 55-64 tahun (23,2 persen) dan kelompok 35-44 tahun (22,08 persen). Kelompok usia 65 tahun ke atas masih menyumbang 16,15 persen.
Bagaimana dengan petani berusia muda? Kelompok petani usia 25-34 tahun menyumbang 10,24 persen, sedangkan yang berusia 15-24 tahun proporsinya lebih sedikit lagi, hanya 1,24 persen.
Masalah Gaji Kecil?
Minat generasi muda yang rendah terhadap pekerjaan bidang pertanian bisa jadi terkait dengan penghasilan yang cenderung kecil. Hal ini juga disinggung dalam survei Jakpat yang sama.
Merujuk data BPS, per Agustus 2023, rata-rata gaji bersih buruh/karyawan/pegawai di sektor pertanian tercatat sebesar Rp2,3 juta. Nilai ini hanya lebih besar dari jenis pekerjaan jasa lainnya pada klasifikasi BPS. Bidang pekerjaan seperti jasa pendidikan, industri pengolahan, properti, jasa keuangan, serta informasi dan komunikasi, menjanjikan rata-rata gaji yang lebih besar.
Belum lagi, adanya persepsi pekerjaan tani yang terkesan menguras fisik, serta "kalah gengsi" dibanding bidang pekerjaan lain.
Merujuk data dan serta stigma yang muncul di masyarakat terkait petani, tidak aneh kalau kemudian anak muda ragu untuk fokus ke sektor pertanian.
Di sisi lain, hal ini justru melecut munculnya startup pertanian dan peternakan. Salah satunya startup bernama Inofarm, yang berupaya mempopulerkan pekerjaan petani di kalangan anak muda.
"Dari kami berlima –tim Inofarm– itu semuanya sepakat kalau pertanian itu menjadi pilihan kesekian buat teman-teman zaman sekarang. Sementara Indonesia kan negara agraris, sehingga potensinya masih sangat besar," ujar CEO sekaligus salah seorang pendiri Inofarm, Mufti Dwito Agung, ketika berbincang dengan Tirto, Selasa (23/7/2024).
Mufti, bersama rekan-rekannya di Inofarm, adalah lulusan dari Jurusan Agribisnis dan Agroteknologi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2022 lalu. Mereka menjadi sebagian kecil mahasiswa pertanian yang mengambil jalur tetap menjadi petani. Menurut Mufti, jika melihat fakta di lapangan, hanya sedikit teman-temannya yang menjadi petani.
"Aku mungkin ambil dari scoop kecil saja, dari kelasku saja, dari 50 orang mahasiswa, yang bekerja di bidang pertanian cuman sekitar 10 persen, bahkan mungkin di bawah itu. Hanya sekitar lima orang," terangnya.
Soal anggapan banyaknya mahasiswa jurusan pertanian yang kemudian menyeberang ke dunia perbankan ataupun pekerjaan kantoran lainnya, Mufti juga tidak memungkiri.
Anggapan bahwa bertani adalah pekerjaan yang "cuman modal tenaga" dan tidak bergengsi juga kerap dia temukan, bahkan dari orang-orang terdekatnya. Padahal, menurut Mufti, menjadi petani modern juga mengedepankan inovasi dan kreativitas.
“Jadi kita mencoba menggeser mindset masyarakat juga mungkin mahasiswa, kalau petani itu walaupun terlihatnya kotor, tapi keren juga loh. Itu termasuk juga dalam segi bisnisnya, itu tidak kalah hebat juga,” tambahnya.
Inofarm yang dikelola Mufti dan teman-temannya memanfaatkan konsep urban farming. Di lahan yang terbatas, mereka bisa memproduksi sekitar 20 kilogram (kg) selada, 40 kg ikan, dan belasan ekor ayam per minggu. Mereka juga tengah mengembangkan budidaya melon di lahan terpisah dengan kapasitas tanam mencapai sekitar 800 buah melon.
Kendala Petani Muda: Akses Lahan, Modal, Hingga Stabilitas Harga
Meski bisa terbilang sukses dalam membangun lahan tani yang produktif, Mufti mengakui kalau konsep urban farming yang Inofarm terapkan masih terbatas. Lahan di wilayah perkotaan, tempat mereka memproduksi selada, ternak ayam dan budidaya ikan, kini lebih difokuskan untuk sarana edukasi bagi siapapun pihak yang ingin belajar bertani.
Mufti juga mengatakan keterbatasan lahan, terutama di wilayah perkotaan, menjadi salah satu masalah tumbuhnya petani muda dewasa ini.
Senada, Dipa, petani muda lain yang sempat berbincang dengan Tirto, juga mengeluhkan akses lahan pertanian yang terbatas bersama dengan modal awal yang besar sebagai kendala anak muda masuk dunia pertanian.
Kendala soal akses lahan juga diamini oleh Zaenal (25), petani muda asal Wonosobo, Jawa Tengah. Dia menjalankan pertanian hortikultura dengan komoditas cabai dan sawi putih. Sebagai keturunan petani, Zaenal mungkin lebih beruntung dibanding Dipa ataupun petani muda lainnya. Dia mewarisi lahan yang secara turun-temurun digarap keluarganya. Namun, sebagai keturunan keempat, lahan yang ia dapatkan nyatanya sangat terbatas.
“Setiap generasi itu kan ada pembagian lahan yang awalnya satu hektar dibagi ke dua orang. Jadi masing-masing setengah hektar. Kemudian turun lagi, dibagikan lagi. Sehingga sampai di generasi saya, itu luasannya bisa dikatakan kalau untuk satu putaran musim itu hanya cukup untuk makan sehari-hari,” cerita Zaenal kepada Tirto, Rabu (24/7/2024).
Ia menambahkan, masalah akses lahan yang dihadapi tidak bisa diatasi hanya dengan modal yang besar. Berdasarkan pengalaman di daerahnya, masih banyak lahan yang status kepemilikannya tidak jelas. Sehingga, orang yang ingin menyewa lahan pun mungkin tidak tahu harus menghubungi siapa.
Zaenal menyoroti minimnya informasi terkait lahan sebagai salah satu hal yang mempersulit anak muda sepertinya untuk dapat mulai bertani. Atas dasar hal tersebut, dia berharap pemerintah untuk aktif melakukan pendataan dan turun menyediakan atau setidaknya menjembatani ketersediaan lahan bagi anak muda yang ingin menjadi petani.
“Kita butuh akses, butuh informasi. ‘Ini lahan punya siapa? Bagaimana cara ambil atau sewanya?’. Pemerintah seharusnya melakukan pendataan (lahan) itu punya siapa, yang kemudian nanti secara regulasi bisa disambungkan dengan teman-teman yang memang punya keinginan untuk berkecimpung di dunia pertanian,” ujarnya.
Zaenal juga menyoroti permasalahan di proses distribusi dan tata niaga hasil pertanian, seperti panjangnya rantai pasok yang dianggap merugikan petani. Ia mencontohkan, petani hanya mendapatkan maksimal Rp70 ribu dari harga cabai di pasaran yang misalnya menembus angka Rp100 ribu per kg. Artinya ada selisih 30 persen atau lebih yang kemudian masuk entah ke mana.
“Kalau harganya masih tinggi seperti itu tidak apa-apa. Tapi kalau drop sampe Rp10 ribu, (apakah) kita (petani) cuma dapat Rp5 ribu-Rp7 ribu? Sebagai petani muda kita susah buat bangkit, lagi-lagi terkendala modal. Masalah itu (akses lahan dan tata niaga) kita gak bisa pecahkan sendiri, harus (ada andil) pemerintah,” tambah Zaenal.
Sementara itu, Siti Aisyah Novitri (25) petani muda asal Bandung, Jawa Barat, bercerita bahwa keterbatasan modal dan akses pengetahuan menjadi kendala bagi anak muda sepertinya dalam memulai usaha di bidang pertanian.
Aisyah, yang merupakan lulusan Sastra Inggris Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan tidak memiliki latar belakang studi pertanian, mengaku sering melakukan percobaan metode di lapangan saat merintis usaha di bidang pertanian.
“Dan itu lumayan kan cost-nya untuk trial and error di lapangan gitu,” cerita Aisyah kepada Tirto, Selasa (23/7/2024)
Selain modal dan akses pengetahuan, Aisyah, yang dalam beberapa tahun terakhir telah memulai usaha di bidang pertanian, mengeluhkan akses ke pasar. Perkara ini menjadi salah satu kendala utamanya dalam menjual produk usaha hasil pertaniannya. Ia bercerita sudah melakukan berbagai teknik marketing untuk menjual beragam produk pertaniannya seperti timun kyuri (timun jepang), paprika, dan selada.
Dia pernah menjual hasil taninya secara langsung ke pelanggan/business to consumer (B2C). Namun, upaya tersebut terkendala tingginya permintaan, yang tak sebanding dengan kapasitas produksi kebun garapannya.
Ia juga pernah mencoba menjual langsung produk pertaniannya secara business to business (B2B) ke supermarket dan restoran. Sayangnya, upaya tersebut juga tidak berjalan mulus. Muncul kendala di pembayaran dan sistem contract farming yang menuntut standar kriteria produk yang terlalu tinggi.
Sementara itu, ketika ia menjual ke tengkulak, harga yang ditawarkan terlalu rendah dan kadang bahkan tidak menutup modal produksi yang ia keluarkan. Terkait masalah ini, ia meminta pemerintah untuk bisa lebih menstabilkan harga pertanian.
"Mungkin yang bisa di-support dari pemerintah untuk petani Gen Z itu adanya kebijakan yang mendukung stablitias harga dan perlindungan harga untuk menjamin petani alih-alih anggaran subsidi pupuk dan saprotan," ujar Aisyah menyimpulkan.
Butuk Dukungan Pemerintah dan Kolaborasi untuk Mendukung Regenerasi Petani
Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, menjabarkan pentingnya regenerasi petani di Indonesia. Hal ini disebabkan, tanpa regenerasi petani muda, produktivitas pertanian Indonesia terancam menurun secara signifikan karena petani yang lebih tua cenderung kurang adaptif terhadap teknologi pertanian modern.
“Seperti sistem irigasi presisi, penggunaan drone untuk pemantauan tanaman, atau aplikasi pertanian berbasis AI (kecerdasan buatan). Akibatnya, potensi peningkatan hasil panen tidak dapat dimaksimalkan dan produksi terus menurun,” ujar Eliza kepada Tirto lewat keterangan tertulis, Kamis (25/7/2024).
Ia mengingatkan bahwa penurunan produktivitas pertanian dapat berdampak pada penurunan produksi bahan pangan dalam negeri yang menyebabkan Indonesia akan bergantung pada pangan impor.
“Meningkatnya ketergantungan pada impor pangan memiliki konsekuensi serius, seperti volatilitas harga pangan, kerawanan pangan, dan defisit neraca perdagangan pangan yang semakin dalam, yang berdampak negatif pada nilai tukar rupiah dan ekonomi makro secara keseluruhan,” tambah Eliza.
Di samping itu, menurut dia, tanpa regenerasi petani, akan ada lebih banyak lagi lahan pertanian yang dikonversi menjadi perumahan atau kawasan industri. Hal ini dapat berdampak hilangnya kearifan lokal di setiap daerah di Indonesia.
Menanggapi beragam permasalahan dan kendala yang dialami oleh petani muda tersebut, Eliza merekomendasikan sejumlah solusi kebijakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah.
Pertama, pada permasalahan keterbatasan lahan hal ini bisa diatasi jika pemerintah serius melakukan reforma agraria dan menyediakan basis data penyewaan lahan di Indonesia. Menurutnya, pemerintah seharusnya tak hanya gencar melakukan sertifikasi terhadap lahan namun harus meredistribusi lahan dari konsentrasi kepemilikan oleh segelintir pihak.
Ia mencontohkan reforma agraria yang dilakukan Jepang. Di sana, kelebihan penguasaan tanah dan tanah absentee, atau tanah yang letaknya diluar daerah tempat tinggal pemilik tanah, diambil alih oleh negara dalam bentuk surat negara (obligasi), dan didistribusikan kepada masyarakat yang akan memanfaatkan lahan tersebut.
“Membuat platform digital yang mempertemukan pemilik lahan dengan petani muda yang mencari lahan untuk digarap. Ini juga bisa sekaligus membangun kemitraan Korporasi-Petani Muda yang dapat mendorong perusahaan besar untuk mengalokasikan sebagian lahan mereka untuk digarap oleh petani muda melalui skema kemitraan,” tambahnya.
Oleh sebab itu, menurut Eliza, perlu pendekatan menyeluruh yang melibatkan para pemegang kepentingan. Setidaknya ada empat pihak yang bisa secara langsung terlibat dalam upaya regenerasi petani.
Mulai dari pemerintah, yang menurutnya harus melakukan penyesuaian kebijakan pertanian yang tidak hanya fokus pada peningkatan produksi, tetapi perlu meningkatkan kesejahteraan petani. Selain itu, perlu juga pendekatan kebijakan yang mendukung petani muda seperti subsidi untuk adopsi teknologi dan akses ke lahan.
“Pemerintah pun perlu melakukan pembenahan tata kelola pangan yang komprehensif sehingga mengurangi asimetris informasi pasar yang merugikan petani, efisiensi rantai pasok, serta adanya asuransi dampak perubahan iklim untuk menunjang keberlanjutan usaha tani,” ujar Eliza.
Kemudian dari sektor swasta juga bisa ambil bagian untuk mendukung regenerasi petani muda. Upaya investasi ke teknologi pertanian ataupun kemitraan dengan petani kecil untuk meningkatkan efisiensi dan akses pasar bisa dilakukan.
Akademisi mengambil peran pendukung untuk mengembangkan kurikulum pertanian presisi dan berkelanjutan serta melakukan penelitian yang relevan dengan kebutuhan lokal. Terakhir, lembaga keuangan dapat menyediakan produk pembiayaan yang disesuaikan dengan kebutuhan petani muda. Mereka dapat menyediakan produk yang punya fleksibilitas dalam hal pembayaran menyesuaikan karakteristik musiman dari sektor pertanian.
Kolaborasi antar-stakeholders ini krusial untuk menciptakan ekosistem yang kondusif dan mendorong penerapan inovasi untuk meningkatkan produksi. “Karena inovasi ini kunci pertanian kita lebih produktif dan efisien di tengah berbagai tantangan dampak perubahan iklim, terbatasnya daya dukung lingkungan, terbatasnya ketersediaan air dan perubahan pola konsumsi masyarakat,” tambahnya.
Sementara itu, menurut Pengamat Pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, secara umum, pemerintah perlu menjamin kesejahteraan petani. Dengan menjadikan petani sebagai pekerjaan yang penting dan memberikan imbalan yang memadai sesuai hasil produksinya, anak muda akan mulai melirik profesi petani.
Namun permasalahannya, saat ini kesejahteraan petani belum menjadi fokus pemerintah.
“Sekarang ini kalau ditanya, apakah ada kementerian lembaga yang secara khusus mengurusi kesejahteraan petani? Itu tidak ada. Kementerian Pertanian pun dalam tupoksinya itu tidak ada urusan dengan kesejahteraan petani, lebih ke hasil produksinya saja,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (24/7/2024).
Padahal menurut dia, perangkatnya sudah ada. Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dinilai sudah sangat memadai. Namun, implementasinya untuk petani masih minim.
Lebih lanjut, menangani kendala keluhan dari para petani muda, Khudori beranggapan pemerintah juga perlu hadir dalam memfasilitasi dan mempermudah akses ke lahan. "Salah satu yang harus dipastikan pemerintah jika ingin mendorong (munculnya) petani muda, akses lahan itu harus dimudahkan dan difasilitasi,” terang dia.
Sementara terkait permasalahan permodalan dan stabilitas harga, pemerintah tingkat daerah dapat mendukung terciptanya ekosistem hulu-hilir sektor pertanian. “Untuk pendanaan, jika ada ekosistem petani dan pedagang terbentuk, ada penyediaan agroinput, ada offtaker (pembeli hasil peternakan), itu perbankan pasti akan masuk dengan sendirinya. Membangun ekosistem ini yang tidak mudah," tambahnya.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty