tirto.id - Anak yang terlahir mungil karena mengikuti gen orangtuanya yang juga bertubuh mungil sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan, karena faktor genetik bukanlah penentu utama seorang anak bertubuh mungil.
Artinya, anak bisa tetap tumbuh tinggi meski kedua orangtuanya bertubuh mungil.
"Faktor makanan dan lingkungan lebih dominan dan dalam jangka panjang dapat memengaruhi genetik," kata Ketua Umum PERGIZI PANGAN Indonesia Prof. Hardinsyah seperti dilansir dari Antara, Rabu (3/6/2020).
Hardinsyah mengatakan, hanya sekitar 10-20 persen saja pengaruh genetik yang bisa menentukan tinggi seorang anak.
Dia kemudian mencontohkan tinggi orang-orang Jepang bertahun-tahun lalu ketika masa penjajahan di Indonesia yang rata-rata tinggi badan anak mudanya hanya mencapai 158 cm. Kini, rata-rata tinggi badan pria muda Jepang naik menjadi 172 cm.
Beberapa contoh makanan sehat seperti kacang-kacangan, ayam, almond, sayuran, ubi, telur, buah berry juga salmon serta susu bisa membuat badan seseorang menjadi tinggi.
"Susu bukan satu-satunya pangan sumber zat gizi, tetapi susu dapat melengkapi pemenuhan gizi yang berkualitas dalam mewujudkan gizi seimbang," ujarnya.
Bagi seorang remaja atau dewasa, kata dia, dalam segelas susu terkandung separuh kebutuhan kalsium dan vitamin D, memenuhi 20-30 persen kebutuhan protein, vitamin B6, B9, B12, E dan fosfor, serta 10-15 persen kebutuhan energi, lemak yang unik, vitamin B5, zink, selenium dan magnesium.
Karenanya menurut Hardinsyah, susu adalah salah satu sumber protein hewani yang juga zat gizi, baik makro maupun mikro, seperti vitamin dan mineral untuk membantu tubuh tumbuh sehat dan kuat.
"Semua zat gizi ini turut membantu pertumbuhan dan perkembangan anak, pertumbuhan dan kekuatan tulang dan gizi, serta kekuatan otot dan kemampuan berfikir,” lanjutnya.
Saat ini konsumsi susu penduduk Indonesia tergolong rendah, rata-rata 17 kg per kapita per tahun.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Kanpus Kementerian Pertanian Fini Murfiani mengatakan, tingkat konsumsi susu di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand yang sudah di atas 20 kg per kapita per tahun.
"Apalagi dibandingkan Eropa yang lebih dari 200 kg per kapita per tahun," kata Fini.
Penulis: Dhita Koesno
Editor: Agung DH