tirto.id - India tidak ubahnya Indonesia: bangsa dengan banyak etnis dan agama. Dibandingkan Indonesia, bahkan India menghadapi persoalan yang lebih laten dan keras. Sampai-sampai, India dan Pakistan berpisah pertengahan abad lalu dengan cara yang berdarah-darah karena konflik agama.
Kendati banyak muslim yang migrasi ke Pakistan, namun warga muslim di India masih sangat banyak jumlahnya. Bahkan cukup banyak muslim di Ayodya, kota tua dan bersejarah bagi sejarah India dan orang-orang Hindu.
Di kota itulah berdiri sebuah masjid bersejarah. Hanya saja, masjid itu, walaupun bersejarah dan tidak berusia muda, tetap saja berdiri jauh setelah orang-orang Hindu tinggal di sana. Orang-orang Hindu mengklaim masjid tersebut berdiri di atas tanah yang dulunya menjadi tempat sebuah kuil suci yang sangat dihormati. Klaim sejarah inilah yang memicu konflik yang berakhir dengan pembakaran masjid.
Babur Sang Penakluk
Berabad-abad lalu, hiduplah seorang penyair sekaligus seorang jenderal bernama Babur. Konon, penyair ini lahir di hari yang diperingati sebagai hari kasih sayang (Valentine) yaitu 14 Februari 1483. Dia punya nama Islami Zhainuddin Muhammad. Sang jenderal ini rupanya keturunan kelima dari penakluk terkenal Timur Lenk.
Babur sejak berusia 12 tahun sudah menggantikan ayahnya, Umar Syaikh Mirza, sebagai penguasa Farghana, Asia Tengah. Di usianya yang ke-21, pada 1504, Babur berhasil menguasai kawasan sekitar Kabul dan Ghazni di Afganistan. Di sanalah ia kemudian mendirikan kerajaan.
Pada 1526, dua dekade setelah menguasai Afganistan, Babur mulai bergerak ke arah India. Mula-mula ia memasuki India Utara. Sultan Dehli Ibrahim Lodi dan panglima gabungan Raja Rajput Rana Sangram Singh berhasil dipecundanginya, begitu menurut buku Jejak-jejak Islam: Kamus Sejarah dan Peradaban Islam dari Masa ke Masa (2015) karya Ahmad Rofi Usmani.
Setelah mapan menancapkan pengaruh di India, Babur pun mendirikan dinasti Mughal. Ini sebutan untuk dinasti raja-raja Islam yang berkuasa di India bagian utara selama ratusan tahun.
Ketika mulai mapan berkuasa di India, pada 1527, Babur yang cinta Al-Qur'an, ilmu pengetahuan, dan sastra ini memerintahkan pembangunan masjid. Salah seorang panglima bawahan Babur, Mir Baqi, diserahi tanggung jawab pembangunan masjid. Masjid ini berhasil dibangun dengan cepat dan hasilnya pun memukau.
Masjid ini menjadi yang terbesar di Uttar Pradesh, India. Masjid tinggalan Babur yang meninggal pada 1530 tersebut memiliki tiga kubah besar. Arsitekturnya terpengaruh gaya Jaunpur yang menggunakan batu. Posisi langitnya dibangun tinggi agar ventilasi udara terjaga. Selain itu terdapat enam jendela utama.
Orang-orang mengenalnya juga sebagai Masjid Babri, julukan yang terkait dengan nama Babur. Sebelum 1940, masjid ini juga dikenal dengan nama I Janmasthan yang berarti "tempat kelahiran". Nama itu merujuk kepercayaan orang-orang setempat, khususnya umat Hindu, yang meyakini masjid itu dibangun di kawasan kuil tempat kelahiran Sri Rama, tokoh suci umat Hindu yang dipercaya sebagai titisan Dewa Wisnu.
Profesor Ram Sharan Sharma dalam buklet berjudul Communal History and Rama's Ayodhya menyebut Ayodhya dulunya adalah tempat ziarah Hindu kuno. Ram Sharan bersama Suraj Bhan, M. Athar Ali, dan Dwijendra Narayan membahas bahwa masyarakat, terutama orang-orang Hindu, punya pendapat kawasan masjid itu dulunya kuil Hindu yang dirusak ketika Babur berkuasa.
Orang-orang Hindu percaya bahwa Mir Baqi, panglima yang ditunjuk Babur memimpin proyek pembangunan mesjid, yang memimpin penghancuran kuil yang dibangun untuk memperingati kelahiran Rama, raja yang memerintah Ayodya.
Penghancuran Masjid Babri
Masjid Babri tidak hancur seketika. Proses merebut lokasi berdirinya masjid mulai menguat sejak India meraih kemerdekaan dari Inggris. Kelompok Hindu garis keras yang selama ini berada di bawah bayang-bayang Inggris mendapatkan momentum untuk memperkuat posisinya. Perseteruan dengan Pakistan, yang memisahkan kedua negara, juga memicu permasalahan ini.
Dalam hal sengketa Masjid Babri, pada 1949 potensi kekerasan sudah tampak. Dikabarkan sudah ada usaha memaksa meletakkan patung Sri Rama di dalam masjid. Setelah itu, mereka membangun isu bahwa patung Sri Rama muncul tiba-tiba di dalam masjid. Dan itu lantas dijadikan bukti bahwa Masjid Babri memang berdiri di atas lokasi kelahiran Sri Rama.
Pemerintah setempat dikabarkan tidak menyingkirkan patung tersebut dari dalam masjid. Namun, untuk meredam kemungkinan konflik fisik, pemerintah menjadikan kawasan tersebut sebagai tempat yang tertutup bagi umum. Ini berlaku untuk umat Islam maupun Hindu.
Namun tekanan dari kelompok Hindu terus menguat, salah satunya dimotivasi oleh keberadaan patung di dalam kawasan Masjid Babri. Letupan konflik terbuka dimulai setelah Partai Bharata Janatiya memenangi Pemilu di Provinsi Uttar Pradesh pada 1991.
Puluhan ribu orang Hindu yang dipimpin oleh banyak tokoh politik dan agama akhirnya menyerang masjid Babri pada 6 Desember 1992, tepat hari ini 28 tahun lalu. Mereka menghancurkan monumen berusia 460 tahun itu. Akibatnya, kerusuhan massa nasional terjadi, di mana lebih 2.000 orang meninggal.
Setelah masjid hancur, menurut buku Sisi Balik Senyap: Suara-suara Dari Pemisahan India (2002) karya Urvashi Butalia, orang-orang Islam menjadi sasaran penyerangan di Bombay, Ahmedabad, dan Surat. Serangan itu dilakukan secara terbuka dan didukung oleh partai-partai politik berhaluan kanan seperti Bharatiya Janata, Rashtriya Swayamsevak Sangh, Vishwa Hindu Parishad, dan Shiv Sena.
Orang-orang Hindu militan dimobilisasi dengan argumentasi bahwa orang Islam telah memerkosa dan membunuh perempuan Hindu. Propaganda disebarkan secara masif sehingga kebencian pun menjalar nyaris tanpa dapat dihentikan lagi.
Sudah menjadi suratan sejarah India bahwa Islam dan Hindu sangat sulit bersatu. Sulit berdampinganya dua agama itu setidaknya telah memecah India dengan Pakistan. Sebuah perpisahan yang penuh darah.
Meski orang-orang Islam kemudian bergabung dalam Pakistan, namun di India sendiri orang-orang Islam masih cukup banyak. Ketika kekacauan antara India-Pakistan berlangsung, Pemerintah Negara Bagian Uttar Pradesh mengambil alih Masjid Babri ini. Tak lupa, baik kubu Hindu maupun Islam, tidak diperkenankan memakai masjid yang sudah berusia ratusan tahun itu agar tidak menjadi sumbu persengketaan.
Menurut Ahmad Rofi Usmani, pada 1986, pengadilan setempat memperbolehkan orang Hindu beribadah di tempat itu. Setelahnya, orang Islam pun menggalang sebuah Komite Aksi Masjid Babri. Konflik yang pernah terjadi pada 1949 pun terjadi lagi. Sikap saling benci pun lahir. Sampai kemudian orang-orang Hindu yang diarahkan secara politis itu menyerbu masjid dan menghancurkannya.
Muslim di Ayodya tak berkutik karena secara jumlah memang menjadi minoritas. Di mana pun, minoritas selalu rentan. Mereka sering kali harus menabung banyak hal, dari kesabaran hingga daya tahan, agar bisa hidup dengan baik di tempat yang dikelilingi kelompok lain yang lebih banyak dan lebih berkuasa.
Dendam tentu tak terhindarkan. Namun, benarkah dendam adalah satu-satunya pilihan dan tiada pilihan lain?
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 6 Desember 2016 dengan judul "Amarah dan Kebencian yang Menghancurleburkan Masjid Babri". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Zen RS & Ivan Aulia Ahsan