tirto.id - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, mengakui selama delapan tahun mengabdi di lembaga antirasuah telah gagal memberantas praktik tindak pidana korupsi. Hal itu diakui Alex saat rapat bersama Komisi III DPR RI di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (1/7/2024).
"Saya harus mengakui secara pribadi 8 tahun, saya di KPK ditanya apakah Pak Alex berhasil? Saya tidak tidak akan sungkan juga [jawab] saya gagal memberantas korupsi," kata Alex.
Alex menuturkan alasan mengapa dirinya gagal dalam memberantas korupsi. Salah satunya ada sejumlah masalah di internal KPK. Sementara itu, dia menepis ada intervensi dalam penanganan perkara di KPK.
Lebih lanjut, dia menjelaskan dari sisi kelembagaan tidak seperti di negara-negara yang berhasil dalam pemberantasan korupsi, seperti Singapura atau Hong Kong. Pasalnya, negara tersebut memiliki satu lembaga untuk menangani perkara korupsi.
"Singapura CPIB, Hongkong ICAC," ucap Alex.
Sementara itu, dia mengatakan di Indonesia, lembaga yang menangani korupsi tidak hanya KPK, tetapi turut melibatkan Polri dan Kejaksaan. Apalagi, dalam Undang-Undang KPK baik yang lama maupun yang baru ada fungsi koordinasi dan supervisi.
"Apakah berjalan dengan baik? Harus saya sampaikan Bapak Ibu sekalian, tidak berjalan dengan baik," tutur Alex.
Alex menjelaskan, ego sektoral membuat penanganan korupsi Indonesia tidak berjalan efektif. Dia mencontohkan bila KPK menangkap jaksa, tiba-tiba dari pihak Kejaksaan menutup pintu koordinasi dan supervisi.
"Sulit. Mungkin juga dengan kepolisian demikian," kata Alex.
Alex mengatakan indeks persepsi korupsi (KPK) pada 2025, awal-awal dirinya bergabung berada di angka 34. Lalu, sempat naik menjadi angka 40.
"Sekarang kembali lagi di titik 34," tukas Alex.
Lebih lanjut, Alex berujar banyak aspek lain selain korupsi yang menjadi domainnya KPK untuk mengukur IPK. Dia menjelaskan kemudahan investasi, terkait penegakan hukum hingga kemudahan berbisnis.
"Ada 8 indeks di IPK itu dan tidak semua itu menjadi domain KPK," kata Alex.
Dari IPK tersebut, Alex menilai upaya-upaya untuk memberantas korupsi itu tidak dilakukan atau tidak diikuti oleh lembaga-lembaga yang lain. Lalu, Alex mengeklaim tidak ada perubahan cara berpikir kelembagaan maupun secara individual integritas terutama integritas lembaga dan pribadi.
"Ini problem kelembagaan, ada tiga lembaga dan koordinasi supervisi ini sampai sekarang boleh dikatakan tidak berjalan dengan baik," tutup Alex.
Di tengah pendalaman rapat, Anggota Komisi III DPR RI, Benny Kabur Harman, meminta pimpinan KPK menjelaskan secara terbuka kasus-kasus yang ditangani lembaga antirasuah itu.
"Jadi, saya mohon itu dibuka pak, saya tahu pimpinan KPK menunggu kami tanya. Kan, tidak mungkin kan biasa takut menyampaikan lebih dulu, ya, kan, maka kami tanya, dan tugas kami bertanya, pak, bertanya sedalam-dalamnya, setajam-tajamnya, dan tugas bapak menjawab selengkap-lengkapnya," kata Benny.
KPK Tak Perlu Takut
Benny lalu menyoroti tugas dan peran KPK dalam tugas melakukan supervisi koordinasi. Ia mengatakan DPR ingin tahu supervisi saat menangani kasus korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan dan kepolisian.
"Kasus ini ditangani oleh kejaksaan oleh kepolisian," tutur Benny.
Benny blak-blakan mengatakan KPK era sekarang tak efektif melakukan supervisi seperti di era Johan Budi. Dia meminta KPK tak perlu takut, karena dilindungi UU.
"KPK dilindungi UU, enggak usah takut. Enggak usah takut gak dipilih lagi, kalau masih mau maju lagi. Kita ingin tahu kasus apa yang disupervisi, di Kejaksaan kasus timah, disupervisi gak oleh KPK?" tanya Benny.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Intan Umbari Prihatin