tirto.id - Keajaiban bisa datang kepada siapa saja. 11 Mei 2018 lalu keajaiban memilih mengamini janji Alessandro Lucarelli: Parma dipastikan promosi ke Serie A setelah mengalahkan tuan rumah Spezia dua gol tanpa balas.
Hasil pertandingan itu memastikan Parma finis di peringkat kedua Serie B musim 2017-2018 dengan perolehan 72 angka, hanya unggul head-to-head dari Frosinone yang berada di peringkat ketiga.
Stadion Alberto Picco, markas Spezia, pun menjadi saksi bisu sejarah besar yang baru pertama kali terjadi di sepakbola Italia: Parma menjadi satu-satunya tim yang berhasil promosi tiga kali secara berturut-berturut (dari Serie D, ke Serie B, lalu ke Serie A).
Setelah pertandingan berakhir, Alessandro Lucarelli, berlari secepat mungkin ke arah penggemar Parma yang memadati tribun selatan Stadion Alberto Picco. Senyumnya mengembang. Semangatnya masih meluap. Padahal dia baru saja bertanding selama 90 menit penuh.
Sesampainya di tribun itu, tempat penggemar Parma bersorak-sorai, Lucarelli langsung melompat ke pagar pembatas untuk berbagi kebahagiaan dengan penggemar Parma. Rekan-rekannya kemudian mengikuti di belakangnya.
Puas berbagi kebahagiaan dengan para penggemar Parma, Lucarelli lalu berjalan mendekat ke arah wartawan Sky Sport Italia yang sudah menunggunya. Ia memegang mikrofon dan mulai berkata-kata.“Saya pernah berjanji. Saya mengatakan akan membawa kembali Parma ke Serie A. Saya berhasil memenuhinya.”
Ia mulai terisak, air matanya berontak.
“Saya tidak percaya, dalam waktu tiga tahun kami (Parma) melakukan sesuatu yang luar biasa. Saya tidak membayangkan pertandingan akhir seperti ini: semuanya hilang, lalu suara penggemar kami mulai menggema.”
“Ini adalah puncak perjalanan yang dimulai tiga tahun lalu (2015), kami selalu berdiri. Ini hadiah luar biasa untuk penduduk Parma. Saya dan mereka tidak pernah menyerah...”
Lucarelli benar-benar membayar janjinya secara tuntas.
Parma Terjun Ke Jurang
Dalam bukunya yang berjudul The Death and Life of Great American Cities, mendiang Jane Jacobs menulis: “Kota-kota memiliki kemampuan menyediakan sesuatu untuk semua orang, hanya karena, dan hanya ketika, mereka diciptakan oleh semua orang.”
Parma, yang diperkirakan memiliki 194.417 penduduk pada 2016 lalu, menerjemahkan tulisan Jacobs tersebut dengan utuh: kuliner, seni, serta sepakbola di kota Parma terkenal karena penduduk membuatnya, menikmatinya -- pendeknya: menghidupinya.
Namun, saat Parma Ham, Keju Parmesan, Anggur Lambrusco masih menjadi sasaran para penikmat makanan dari penjuru dunia, juga Teater Reigo masih sering dikunjungi banyak orang karena nilai sejarahnya, Parma, klub kebanggaan warga Parma, ternyata memiliki nasib lain. Pada 2008 lalu, setelah sempat megap-megap di Serie A, Parma terdegradasi ke Serie B.
Sejak saat itu, pujian indah La Gazetta dello Sport untuk kota Parma, bahwa “sepakbola seperti batu berharga di tengah perhiasan yang sudah begitu indah: teater, standar hidup yang tinggi, gastronomi, menumen-monumen”, menjadi terdengar menyedihkan.
Parma bukan lagi bagian Il Sette magnifico seperti pada 90an. Parma juga bukan lagi tim yang mampu mendatangkan pemain-pemain bintang, yang pernah membuat Gianni Agnelli, bos Juventus sekaligus bos FIAT, merasa iri hingga mengatakan, ”Kini Anda bisa lebih kaya dengan menjual susu ketimbang menjual mobil (mengacu pada usaha sponsor Parma, Parmalat).
Maka saat Parma mendatangkan Alessandro Lucarelli pada Juli 2008 dari Genoa, itu menjadi sebuah berkah. Harga Lucarelli tidak begitu mahal, sekitar 1,2 juta euro. Usianya yang baru menginjak 31 tahun juga tidak kelewat tua.
Lucarelli memilih bergabung bersama Parma karena sejumlah alasan. Ia memang masih diminati oleh klub-klub Serie A, tetapi ia ingin bermain bersama saudaranya kandungnya, Cristiano Lucarelli, yang saat itu bermain untuk Parma.
Pada awalnya semuanya tampak baik-baik saja bagi Alessandro Lucarelli. Ia selalu menjadi andalan Parma, hingga berhasil mengantar kembali ke Serie A pada musim perdananya. Sejak saat itu, tidak hanya menjadi idola, ban kapten Parma juga melingkar di lengannya. Namun, setelah mengabdi bersama Parma selama tujuh musim, ia seperti berada di tempat yang salah.
Di sepanjang musim 2014-2015, Parma mempunyai hutang sebesar 220 juta euro. Karena hutang tersebut, masalah-masalah pelik lainnya kemudian menghantam Parma. Menurut Sam Borden, penulis New York Times, apa yang terjadi di Parma sangat “memalukan”.
Borden tak asal sebut. Ia mempunyai bukti: 1) Parma tak sanggup membayar gaji para pemainnya di sepanjang musim tersebut; 2) Petugas pengadilan muncul untuk menyita truk dan van milik Parma setelah klub tersebut melewati tenggat pembayaran hutang; 3) Peralatan latihan dan rehabilitasi tiba-tiba menghilang; dan 4) Para pemain harus mengeluarkan uangnya sendiri untuk mengobati cedera atau untuk membeli minum pada waktu latihan.
Masalah ini diperumit saat Giampietro Manenti, bos baru Parma sejak Februari 2015, dipenjara satu bulan setelah mengakusisi Parma karena pencucian uang. Pada musim itu, Parma sendiri sudah empat kali berganti pemilik klub. Dari Tommaso Ghirardi, Rezart Taci, Ermir Kodra, hingga Manenti, yang semuanya tak becus dalam mengurus klub. Dan menurut Lucarelli, biang dari segala prahara Parma tersebut, adalah Tommaso Ghirardi.
Dakwaan itu ia utarakan saat Football Italia bertanya kepadanya siapa yang menjadi sebab dari prahara tersebut.
“Ghirardi. Dia benar-benar mengatakan bawah ‘Anda harus mengucapkan terima kasih kepada saya karena menjual klub ini kepada Taci’. Ya, kami semua mengucapkan terima kasih kepadanya.“
Ghirardi memang patut disalahkan. Saat ia membeli Parma pada 2007, Parma memiliki utang sebesar 16,1 juta Euro. Tujuh tahun setelahnya, utang kotor Parma mencapai 197,4 juta euro. Tujuh tahun kepemimpinan Ghirardi ternyata seperti penyakit parah yang tak terlihat.
Tahu klubnya dalam keadaan mengenaskan seperti itu, Alessandro Lucarelli kemudian mencari solusi terbaik bagi klubnya dan rekan-rekannya. Pada 30 Februari 2015, jika Parma tak mempunyai biaya untuk melawat ke markas Genoa pada dalam lanjutan Serie A, ia dan rekan-rekannya akan berusaha datang ke Genoa dengan biaya sendiri, entah naik bus atau mobil pribadi. Alasannya saat itu jelas: sebagai klub, Parma harus tetap dihormati.
Selain itu, bersama beberapa pemain Parma lainnya, Lucarelli juga membuat kampanye di Twitter dengan hastag #SaveParma untuk menyelamatkan nasib timnya.
Sayangnya usaha itu sia-sia. Karena tak mampu membayar utang yang berada di kisaran 200 juta euro, Parma dinyatakan bangkrut pada Maret 2015. Setelah vonis tersebut, karena bantuan dari kontestan Serie A lainnya, Parma memang masih mampu melanjutkan kiprahnya di Serie A Italia. Namun setelah itu, mereka harus memulai hidup baru jika eksistensinya ingin tetap terjaga.
Parma Calcio kemudian lahir dan akan memulai petualangannya di Serie D.
Epik Lucarelli
Sebelum Parma bangkrut, setelah ia mengatakan bahwa Parma harus dihormati, Alessandro Lucarelli juga berujar, “Saya akan tampil bersama Parma di Serie D jika memang diperlukan.”
Pemain kelahiran Livorno tersebut kemudian menambahkan, “Setelah tujuh tahun, saya merasa bahwa seragam ini milik saya dan saya bersedia bermain untuk klub ini di level apa pun.”
Saat rekan-rekannya pergi, Lucarelli benar-benar membuktikan ucapannya: ia menjadi satu-satunya pemain Parma di Serie A musim 2014-2015 yang tetap berseragam Parma di Serie D musim 2015-2016. Setelah membuktikan ucapannya itu, ia juga mengucapkan janji lain bahwa ia akan membawa Parma kembali ke Serie A.
Lucarelli lalu memulai perjalanan barunya bersama Parma yang baru. Ia menikmati hari-harinya di Serie D, Serie C, hingga Serie B. Dan setelah tiga musim melakukan perjalanan, ia benar-benar berhasil membawa Parma kembali ke Serie A.
Menariknya, beberapa hari setelah berhasil mengangkat Parma dari puing-puing, Alessandro Lucarelli, yang hampir berusia 41 tahun, memilih untuk pamit. Baginya tampil bersama Parma dalam 333 pertandingan (menjadi pemain Parma dengan jumlah penampilan banyak) sudah lebih dari cukup.
Ia lalu menyusun ucapan selamat tinggal dengan mengatakan, “Percayalah, saat saya mengatakan ini saya mengatakannya dengan sepenuh hati: Saya sangat bangga menjadi bagian dari sejarah ini. Saya bangga menjadi kapten klub hebat ini, memakai ‘Maglia Crociata’ yang luar biasa ini. Saya bangga telah menjadi Alessandro Lucarelli: salah satu dari kalian.”
Saat Parma masih di Serie-A namun berada di ujung kebangkrutan, sekitar Februari 2015, Presiden Sampdoria Massimo Ferrero sempat menyerukan klub-klub Serie-A untuk membantu Parma. Ia bahkan menulis surat terbuka yang khusus dibuat untuk menyerukan bantuan.
Di akhir suratnya, setelah memeuji dedikasi para pemain Parma yang rela berkorban untuk terus bertanding membela Parma walau tak punya uang, ia menulis: "Saya berterimakasih kepada semua pemain dan seluruh orang yang bekerja di Parma. Saya menganggap mereka sebagai pahlawan."
Setelah tiga tahun lebih, menjadi jelas kalau ucapan terimakasih dan predikat pahlawan dari Ferrero sebagian terbesar sangat layak ditujukan untuk Alessandro Lucarelli. Saat sepakbola telah menjadi megaindustri, tentang uang dan uang dan laba dan laba, kisah seperti Lucarelli menjadi oase. Ia seperti antinomi dari gejala industrialisasi sepakbola.
Eduardo Galeano, dalam bukunya yang indah, Soccer in Sun and Shadow, memilih sebuah baris yang sepenuhnya bernada elegi sebagai kalimat pembuka: "Sejarah sepakbola ialah perjalanan yang perih dari keindahan menjadi kewajiban."
Galeano tidak selalu benar, itulah kenapa Lucarelli menjelma serenada: ia serenada yang dipersembahkan sepakbola kepada Parma -- atau malah sebaliknya: serenada yang dipersembahkan Parma untuk sepakbola.
Editor: Zen RS