tirto.id - Pelantikan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden tinggal menghitung hari, 20 Oktober 2019 nanti. Namun, meski sudah terpilih sebagai Wapres, Ma'ruf Amin diamanatkan tetap memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga 2020.
Keputusan ini disepakati dalam Rakernas V MUI yang digelar 11-13 Oktober 2019 kemarin di Kuta Mandalika, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Saadi mengatakan, alasan Rakernas V MUI mengamanatkan Ma'ruf Amin menuntaskan masa baktinya sebagai ketua umum karena untuk kepentingan dan kesinambungan organisasi, sekaligus menjaga tradisi alih kepemimpinan secara baik dan bijaksana.
“Untuk kemaslahatan bersama maka Rakernas meminta Ketua Umum MUI Periode 2015-2020 untuk menyelesaikan periode kepengurusan hingga dilaksanakannya Munas MUI pada 2020,” kata Zainut seperti dikutip Antara, Minggu (13/10/2019).
Berdasarkan pedoman Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ART) organisasi MUI, Ketua Umum tidak boleh merangkap jabatan politik di eksekutif, legislatif, dan pengurus harian partai politik.
Ma'ruf Amin juga pernah berjanji akan mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum MUI jika sudah ditetapkan sebagai Wakil Presiden RI.
Selain masih dipercaya sebagai Ketua Umum MUI, Ma'ruf juga masih tercatat sebagai Dewan Pengawas Syariah di sejumlah bank, seperti Bank BNI Syariah, Bank Mandiri Syariah, hingga Bank Muamalat.
Mundur dari Jabatan Lain
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menjelaskan memang tidak ada peraturan apa pun yang dilanggar oleh Wapres Ma'ruf Amin, sementara pada saat yang sama merangkap jabatan pada lembaga lain.
Meski demikian, Feri Amsari menyarankan sebagai negarawan, ketika telah menjadi wapres, sebaiknya Ma'ruf Amin mengundurkan diri dari jabatan lain.
Tujuannya, agar Ketua MUI non-aktif itu bisa fokus menjalankan tugas yang telah diamanatkan oleh rakyat Indonesia.
"Karena dia harus berkonsentrasi mengurus jabatan [Wapres]. Intinya sebagai wakil presiden, jadi tidak boleh lagi dia punya konsentrasi lain selain menjadi wakil presiden yang baik," ujarnya kepada reporter Tirto, Senin (14/10/2019).
Ia juga meminta kepada Ma'ruf Amin menepati janjinya untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua MUI ketika terpilih sebagai Wapres RI.
"Ya sekarang harus mundur. Apalagi sudah pasti [jadi Wapres]. Mestinya sebelum tanggal 20 Oktober [pelantikan Presiden dan Wapres], Ma'ruf harus mundur dari semua jabatannya, tidak boleh tidak," terangnya.
Rangkap jabatan Ma'ruf Amin ini memberi preseden buruk bagi pejabat negara lain. Dampak terbesarnya, pejabat negara lain dapat mencontoh jika wapres bisa merangkap lebih dari satu jabatan di lembaga lain.
Dalam aturannya, berdasarkan Undang-undang (UU) pasal 1 Nomor 28 tahun 1999, secara eksplisit disebutkan penyelenggara negara tidak boleh merangkap jabatan dengan lembaga lainnya. Rangkap jabatan penyelenggara negara rawan terjadi praktik Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN).
"Nanti ada proses gratifikasi, nah itu berbahaya. Jadi ke depan presiden dan wakil presiden terpilih tetap jadi komisaris, ketua organisasi, tertentu supaya organisasinya terlindungi oleh kekuasaannya itu tidak dibenarkan," tuturnya.
Menurut ahli hukum tata negara dari IPDN, Juanda, rangkap jabatan Ma'ruf Amin ini dilematis secara etika.
Meski tidak larangan secara tegas tentang rangkap jabatan untuk Wapres, tetapi yang diragukan adalah kemampuan untuk menjalankan tugas secara profesional dan proporsional.
"Persoalannya apakah efektif memegang jabatan rangkap tersebut menurut saya sulit. Dan secara etika, sebagusnya dilepas saja jabatan selain jabatan Wapres," kata dia kepada reporter Tirto, Senin (14/10/2019).
Jika Ma'ruf Amin sebagai wapres terpilih berani melepas jabatannya yang lain, kata Juanda, akan memberikan pembelajaran kepada anak bangsa agar tidak dianggap "rakus kekuasaan dan jabatan."
"Saya melihat sinyal dari Pak Ma'ruf Amin, beliau akan melepaskan baik jabatan sebagai Ketum MUI maupun sebagai Dewan Pengawas di bank syariah. Tinggal beliau menunggu waktu dan melalui mekanisme yang berlaku," terangnya.
Menurutnya, jika Ma'ruf Amin tetap merangkap jabatan, posisinya sebagai wapres tidak dapat dijalankan dengan efektif.
"Sebab beliau pasti akan fokus dengan jabatan wapres," pungkasnya.
Respons MUI
MUI, berdasarkan hasil rapim, masih memosisikan Ma'ruf Amin sebagai Ketua MUI non-aktif.
"Kiai Ma'ruf masih sebagai ketua MUI non-aktif yang nanti harus mempertanggungjawabkan ketika Munas 2020," kata Ketua MUI Bidang Informasi dan Komunikasi, Masduki Baidowi saat di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa (15/10/2019).
Lalu, kata dia, berdasarkan hasil rapim, memutuskan posisi ketua dialihkan dari Ma'ruf Amin kepada dua Wakil Ketua Umum MUI, yakni Yunahar Ilyas dan Zainut Tauhid. Kedua waketum itu kini berstatus sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua MUI.
Selama ini, kedua Waketum itulah yang membantu kinerja Ma'ruf sebagai Ketum MUI ketika tidak ada di kantor maupun bertugas di tempat lain.
"Dibagi dua tokoh ini bidang apa tugas apa, berjalan selama ini begitu. Dengan catatan agar juga Sekjen tetap yang semula, Doktor Anwar Abbas sebagai Sekjen," ucapnya.
Setelah ditetapkan sebagai Ketua MUI non-aktif, Baidowi mengatakan Ma'ruf Amin tidak lagi memiliki kewenangan dan telah diserahkan kepada Plt MUI.
Baidowi menuturkan itu merupakan jalan tengah yang diambil MUI. Kemudian juga permintaan dari mayoritas pengurus pusat maupun daerah yang masih menginginkan Ma'ruf memimpin MUI.
Lebih lanjut, meski bertentangan dengan AD/ART MUI, Baidowi tak mempermasalahkan hal tersebut. Sebab sekali lagi, itu sudah disepakati bersama oleh anggota MUI.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri