Menuju konten utama

Alasan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Timur Masih Minus di Q1/2019

Bhima mengatakan, pemerintah perlu mengoptimalkan serapan produk komoditas wilayah tersebut di pasar domestik.

Alasan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Timur Masih Minus di Q1/2019
Kapal pengangkut peti kemas melakukan aktivitas bongkar muat di Terminal Peti kemas Bitung, Sulawesi Utara, Senin (10/10). ANTARA FOTO/Adwit B Pramono/pd/16.

tirto.id - Pertumbuhan ekonomi di beberapa wilayah masih tercatat negatif atau minus sepanjang kuartal pertama 2019. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto mengatakan, hal tersebut terjadi di beberapa provinsi yang kondisi perekonomiannya masih bergantung dengan pertambangan.

Pertumbuhan ekonomi di Kepulauan Maluku dan Papua, misalnya, tercatat minus 10,44 persen year on year (yoy) lantaran melemahnya aktivitas sektor pertambangan.

Di Papua, pertumbuhan ekonomi yang minus 20,13 persen disebabkan oleh turunnya produksi tembaga dan emas Freeport Indonesia masing-masing sebesar 53 persen dan 72 persen yoy.

Sementara di Papua Barat, pertumbuhan ekonomi minus 0,26 persen yoy lantaran turunnya produksi liquefied natural gas (LNG).

"Ke depan tentunya kita berharap provinsi-provinsi yang ada di Indonesia Timur memberikan kontribusi yang lebih banyak terhadap perekonomian di Indonesia," ujar Suhariyanto.

Ekonom Institute for Development Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai bahwa faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi minus adalah rendahnya harga komoditas perkebunan mulai dari karet, kopra, cokelat dan sawit.

"Rendahnya harga komoditas ini berdampak ke pendapatan dan konsumsi rumah tangga," ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (8/5/2019).

Di samping itu, keberadaan infrastruktur di Indonesia Timur yang tak disertai dengan pertumbuhan industri manufaktur juga menghasilkan pertumbuhan yang rendah.

"Kasus jalan trans Papua, misalnya, dibangun tapi industri di sekitar jalan belum support menyebabkan serapan produksi jadi kurang optimal. Keberpihakan industri masih berada di Jawa sehingga 59% PDB kuartal 1 terserap di Jawa," imbuhnya.

Menurut Bhima, pemerintah perlu mengoptimalkan serapan produk komoditas wilayah tersebut di pasar domestik. Kuncinya terletak pada hilirisasi industri sehingga ada nilai tambah yang muncul dari hasil sumber daya alam.

"CPO diserap menjadi B20. Kemudian cokelat jangan hanya ekspor biji mentah tapi sudah jadi produk cokelat. Karena itu perlu dorong investasi di manufaktur berbahan baku lokal," tuturnya.

Di samping itu, pemerintah juga perlu untuk segera menurunkan harga tiket pesawat agar Industri pariwisata yang jadi penopang perekonomian di Indonesia Timur dapat kembali bergeliat.

"Turunnya pariwisata karena harga tiket pesawat yang naik juga berdampak negatif bagi perekonomian daerah Indonesia Bagian Timur. Sektor perhotelan, restoran dan jasa pendukung parwisata ikut turun," ucap Bhima.

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Alexander Haryanto